Andai .... kata yang sering kali diucapkan di saat semua sudah berlalu. Di saat hal yang kita ingin gapain tersandung kenyataan dan takdir yang tidak bisa terelakan. Kadang aku berpikir andai saja waktu itu ibuku tidak meninggal, apakah aku masih bisa bersamanya? ataukah justru jika ibuku hidup kala itu aku bahkan tidak akan pernah dekat dengannya.
Ahhh ... mau bagaimana lagi, aku hanyalah sebuah wayang dari sang dalang maha kuasa. Mengikuti alur cerita tanpa tau akhirnya akan seperti apa.
Kini, aku hanya harus menikmati apa yang tertinggal dari masa-masa yang indah itu. Bukan berarti hari ini tidak indah, hanya saja hari akan terasa lebih cerah jika awan mendung itu sedikit saja pergi dari langitku yang tidak luas ini. Tapi setidaknya awan itu kadang melindungiku dari teriknya matahari yang mungkin saja membuatku terbakar. Hahaha lucu sekali. Aku bahkan kadang mencaci tapi selalu bersyukur atas apa yang aku caci dan aku sesali.
Hai, aku Ara. Mau tau kisahku seperti apa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamah Mput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maaf? untuk apa?
Setelah merapikan pecahan mangkuk, aku segera turun ke dapur untuk membuangnya. Sementara Alan tertidur.
Aku duduk merenung sambil mengaduk teh yang semula panas menjadi dingin. Memikirkan banyak hal yang saking terlalu banyaknya sampai aku sendiri bingung memikirkan apa.
Ucapan Alan, perlakuannya, perasaanku dan memikirkan orang tua bercampur menjadi satu. Gundah yang begitu bergejolak dalam dada.
Di atas sana aku mendengar Alan muntah. Tanpa ragu aku segera berlari menuju kamarnya. Benar saja, dia tidak ada di atas kasur. Aku melihat pintu kamar mandi terbuka. Dia ada di sana.
"Kak, kita ke dokter ya. Kita ke rumah sakit biar kakak dirawat." ucapku sambil memijat tengkuknya.
Alan menggelengkan kepala.
"Kalau begini terus takut tambah parah sakitnya. Ya, kak. Kita ke rumah sakit aja. Jangan bikin Ara takut."
"Telpon Yoo saja, Ra." ujarnya lirih.
"Kak, Yoon?" aku segera keluar dari kamar mandi, lalu mencari ponsel milik Alan. Kalau harus mengambil ponsel milikku, akan memakan waktu karena ada di bawah.
"Kak, sandinya apa?" tanyaku menanyakan sandi pasword layar ponselnya.
"Ulang tahun kamu."
"Oh, oke."
Setelah layar ponselnya terbuka, aku segera mencari nomor Yoon.
"Kak, tolong bisa ke rumah gak? Kakak di mana sekarang? Kak Alan sakit. Sepertinya maag nya kambuh lagi."
"Rumah? memangnya gak ada orang di sana?"
"Bukan rumah mama, tapi rumah kak Alan."
"Rumah kak Alan yang mana?"
"Loh, kakak gak tau. Duh, mana Ara juga gak tau ini di mana?"
"Bilang pada Yoon datang saja ke rumah kamu," ucap Alan lirih. Sepertinya dia begitu lemas.
"Kata kak Alan datang aja ke rumah kamu."
"CK! Ara. Kamu itu ya kamu, bukan Yoon."
"Oh, kata kak Alan datang aja ke rumah Ara."
"Oh rumah kamu. Ternyata kalian di sana. Oke, aku ke sana bawa dokter sekalian. Gak lama kok. Jagain Alan aja."
"Iya, Kak. Buruan ya, Kak."
Setelah menutup pembicaraan dengan Yoon, aku membantu Alan berjalan menuju tempat tidur. Setelah memastikan dia terbaring dengan nyaman, aku segera turun untuk mengambil air hangat.
"Minum dulu, Kak."
"Terimakasih."
Alan kembali tidur. Sementara aku pergi ke depan menunggu kedatangan Yoon yang tak kunjung datang.
Begitu kembali ke kamar, Alan rupanya sudah terlelap. Mungkin dia lelah setelah muntah. Biarkan saja, aku tidak ingin mengganggunya. Aku duduk di kursi tepat di samping tempat tidur.
Wajahnya terlihat begitu pucat, dan juga .... Ah, lagi-lagi dadaku berdegup tak karuan. Tapi, siapa yang bisa membantah bahwa dia memang sangat menawan.
Aku terhipnotis hingga tidak bisa berpaling dari wajahnya.
"Permisi."
Suara seseorang yang masuk membuatku akhirnya tersadar.
"Kak Yoon?"
Dia datang seraya tersenyum bersama seseorang.
"Bagaimana kondisi Alan, Ra?"
"Ya begitulah. Dia sedang tidur, Kak."
"Lama banget Lo datang. Gue sampai bingung mau ngapain diliatin terus dari tadi."
Hah! Apa? Jadi sejak tadi kak Alan gak tidur? Oh my Gosh, berarti dia tau dong dari tadi aku natap dia.
"Hahaha. Terpana sama ketampanan Lo kali."
Ini lagi, kenapa ikutan ledekin coba.
"Udah buruan bangun, periksa dulu bentar. Ampun banget dah, cari perhatian sampai segininya."
Plak! Alan memukul lengan sahabatnya.
"Kak, aku minum apa? Ara siapin ya di bawah."
"Yang dingin-dingin aja, Ra."
"Iya, Kak."
Aku kembali turun menuju dapur untuk menyiapkan minuman dan camilan. Begitu semuanya siap di meja. Mereka pun turun. Termasuk Alan.
"Loh, kok kakak ikut turun. Kenapa gak istirahat aja di kamar."
"Kalau gak ditemenin kamu, ya gak bakalan mau lah dia molor sendiri."
"Kak, Yoon! Apaan coba. orang kita tidur sendiri-sendiri kok."
"Ya gak usah marah gitu Ara, kenapa? Kamu mau bobo barengan sama dia?"
"Nggak gitu maksudnya. Ara marah bukan Karena gak tidur bareng, tapi --"
"Dek, tolong nanti obatnya dikasih ya suruh diminum. Serta pola makannya dijaga jangan sampai telat."
"Iya, dok. Terimakasih ya dokter."
Dokter itu berpamitan pada Alan dan Yoon, setelah itu dia pun pergi. Kami duduk di ruang keluarga sambil nonton televisi.
Aku duduk di sofa single kecil berbentuk bulat, sementara kak Yoon duduk di sofa yang satunya. Alan sendiri berbaring di sofa yang paling panjang.
"Ara, kamu gak takut tinggal berdua di sini bareng Alan?"
"Nggak, kenapa gitu?"
"Takutnya dia berubah jadi singa, tar tiba-tiba nerkam gimana?"
"Kan Ara bukan domba, ngapain Ara diterkam."
"Kamu bukan domba Ara, tapi kamu lebih menggemaskan dari itu."
Bugh! Sebuah bantal kursi melayang tepat di wajah Yoon. Dia tertawa sementara Alan kembali berbaring.
"Ra, ada makanan apa di dapur? Aku lapar."
Sekali lagi Alan melempar bantal ke arah Yoon, tapi kali ini berhasil ditangkisnya.
"Lo udah gak berguna di ini, balik!"
"Ogah. Udah, Lo tidur aja. Gue sama Ara mau ke dapur. Mau masak. Yuk, Ra."
Tanpa mengerti apapun aku manut pada apa yang dikatakan Yoon. Aku bangun dari kursi lalu mengikuti Yoon dari belakang menuju dapur.
"Ara, kembali!"
Aku menoleh dan mendapati Alan sedang menatapku tajam.
"Sini kamu."
Dengen mengerutkan kening, aku berjalan menghampiri Alan. Dia menarik tanganku, dan duduk di sofa. Setelahnya Alan tidur di atas pangkuanku.
"Kak, aku mau masak."
"Buat Yoon? Jangan harap!"
"Bukan, aku juga laper. Kan dari pagi belum sempat makan ngurusin kakak."
Alan nampak terkejut. Lalu dia mengambil ponsel untuk memesan beberapa makanan.
"Lain kali jangan sibuk ngurusin orang. Urus diri kamu sendiri."
"Ya gimana aku mau makan, orang tadi kakak narik aku buat--, opsss!" aku segera membungkam mulutku sendiri agar tidak mengatakan hal yang lainnya.
"Maaf, ya."
"Buat apa?"
"Karena membuat kamu harus nahan laper."
"Itu saja?"
"Memangnya untuk apa lagi."
"Untuk--".
Ah, kenapa aku terus saja terjebak sama kak Alan, sih.
"Untuk hal selain itu, aku tidak akan pernah minta maaf karena aku tidak melakukan kesalahan apapun lagi."
Sebenarnya aku ingin bertanya tentang apa yang dia lakukan. Sadarkah dia melakukan itu? Apa menurutnya itu bukan suatu kesalahan sehingga dia tidak ingin mengatakan maaf? Tapi jika diperjelas sekarang pun tidak mungkin karena ada Yoon di sini.
"Ara, sorry bikin dapur berantakan. Aku tadi habis masak mie."
"Iya, Kak. Gak apa-apa nanti Ara bersin. Maaf ya, kakak cuma makan mie."
"Aku ngerti kok. Kalau gitu aku permisi ya, Ra. Kalau ada apa-apa kabarin aja."
"Buruan balik ah, cerewet banget."
"Dasar tidak tahu terima kasih, udah baik gue datang ke sini. Udah lah, gue pergi. Hati-hati ya, Ara."
"Iya, Kak. Kaka juga hati-hati di jalan."
Hening.
Suasana canggung mulai menguasai isi rumah ini. Aku berusaha mengendalikan detak jantungku agar tidak diketahui oleh Alan yang masih tidur di pangkuanku.
Beberapa menit berlalu, Alan masih saja tertidur. Entah tidur sungguhan atau hanya sedang diam menikmati keadaan, keadaan di mana aku gugup setengah mati.
Dia tiba-tiba saja bangun, duduk di sampingku, lalu menatap.
"Ada apa?" tanyaku merasa risih karena dia terus saja menatap tanpa bicara sepatah katapun. Aku sedikit menjauh saat dia mendekat.
"Kakak mau ngapain?" tanyaku.
"Menurut kamu?" ujarnya datar.
Dan ya ....