--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 27
Malam hari yang sangat ditunggu Xavier akhirnya tiba.
Episode terakhir dari proses penyembuhan kutukannya, pemurnian puncak, sekaligus pemberian hadiah yang dijanjikan Xavier pada Aegle atas kerja kerasnya yang membawa hasil sempurna.
Tidak peduli kelakuan plin-plan wanita itu, Xavier sudah seharusnya berterima kasih secara penuh, tidak hanya di lisan, tapi juga imbalan yang sangat banyak.
“Apakah dia akan datang kembali?”
Merujuk pertanyaan itu, penyembuhan terakhir kali jelas adalah hal memalukan bagi Aegle, saat itu wajahnya semerah kepiting masak. Rasa malu yang tak terukur seberapa jumlah.
Dan saat ini Xavier jadi meresah. Jika wanita ahli sihir itu benar-benar tak menunjukkan diri lagi hanya karena perasaan malu, mungkin selesai sudah. Dua bilah betisnya tidak dibelai kesembuhan sesempurna anggota tubuh lain yang sudah bening. Kecuali Xavier mau memaksa dengan cara beda, dan itu sudah pasti akan dia lakukan jika Aegle benar-benar mangkir.
Xavier tidak mempermasalahkan kenakalan tangan Aegle saat penyembuhan lalu, dia menerima dengan hati terbuka. Meskipun itu terdengar tak benar, dia sungguh menyikapi dirinya tanpa rasa bersalah.
Terkesan bajingan karena statusnya seorang pria beristri.
Jauh di hati, di sisi lain dia mengakui, “Aku mulai memiliki perasaan aneh pada Ashiana. Entah itu bisa disebut cinta atau hanya empati. Yang jelas, aku tak ingin dia terluka dan tersakiti. Sakit jiwanya ... aku bahkan tak peduli itu, mau sepanjang apa dia mempertahankan itu, aku ... suaminya.”
Dari Ashiana, slide kepalanya beralih memikirkan Aegle, seketika semua menjadi lain. Otaknya mungkin dalam posisi pergeseran. Sepasang mata Aegle yang hidup walau dibingkai topeng, membuatnya seakan tak bisa lari, seperti ada magnet yang menarik kuat dan membuatnya tolol.
Jadi Ashiana ini ada di bagian mana hatinya?
“Setiap sentuhan telapak tangannya saat proses itu, seperti mengalirkan aura positif yang aku pun tak bisa mendeskripsikan bagaimana bentuk rasanya.”
Ditambah, sebuah kenyataan dari kecurigaan yang digalinya berhari-hari ini membuktikan sesuatu yang sangat besar. Tanda biru menarik di lengan bawah Aegle, benar-benar adalah milik 'wanita itu', wanita yang dia kenal.
Xavier sudah menguji jelas kebenarannya, semua sudah terkait.
“Aku sungguh terkejut, tak menyangka kalau Aegle ... sungguh adalah dia. Dewa begitu gila mempermainkanku, sekaligus begitu baik, aku diuji dengan cara yang seperti ini.” Lalu tersenyum kecut.
“Karena itu aku jadi tak bisa menahan diri pada wanita itu."
Sentuhan vulgar Aegle yang agak lain beberapa hari lalu itu mulai menyapa lagi isi kepalanya yang sudah kotor. Menjalar membentuk sebuah harapan besar yang tak pernah dirasakannya sepanjang dia tumbuh dewasa.
Dalam tatapan nyalang ke buku terbuka halaman yang ada di hadapannya, dia bergumam, “Jikapun dia menginginkannya sekarang, aku sungguh akan mengabulkannya kali ini. Aku tak akan canggung karena tubuhku tak lagi berbau busuk.
Tapi yang busuk saat ini justru isi pikirnya.
Bagaimana tidak segila itu, rabaan halus telapak tangan Aegle di pusaka-nya terus mengganggu sampai terbawa mimpi.
Tapi lagi-lagi ... “Aku tidak akan seperti ini jika itu bukanlah dia.”
Xavier merasakan dirinya sudah sedewasa ini.
Usia 26 terasa memalukan bagi kaum seperti Xavier yang notabene dari kalangan bangsawan, jika belum pernah sama sekali berada dalam konteks dewasa 21 plus, dia termasuk yang paling konyol. Ada pelatihan kedewasaan oleh guru yang ahli di bidang yang sensitif itu, termasuk Xavier yang juga menikmati pelajarannya saat kuliah. Begitulah keluarga bangsawan.
Setiap edukasi, dia memerhatikan sampai tidak menyela. Mendalami meski merasa mustahil akan bisa mengalami hal yang seperti itu karena kutukan sialan yang menjadikannya menghindari jauh makhluk-makhluk bernama wanita, meskipun dia sangat penasaran pada beberapa wajah yang pernah menguasai pandangan.
Keelan De Jongh yang masih 23 tahun saja sudah berganti-ganti dan mencoba semua rasa, mulai dari yang sempit hingga bekas berkali-kali. Meski agak berlebihan, anak itu punya kelebihan dalam menggoda.
“Tapi aku bukan seorang cabulLseperti anak kecil itu!” Maksudnya Keelan, dia menampik.
“Argh, sial!"
Seorang Xavier si iblis perang jadi frustrasi gara-gara hal kotor yang memuakkan. Semua terasa menghambat dan mengacau kejernihan dalam kepala.
Masalahnya selama ini hidupnya hanya dipenuhi perang dan pekerjaan, jadi saat hal sensitif tiba-tiba menyela semua alur, dia jadi kelabakan sendiri.
Saat alam pikirnya bergelut dengan kekonyolan serupa, pintu berderit terbuka tanpa ketukan di awal-awal.
Perhatian Xavier sontak terhela cepat ke arah itu. Binar bahagia merona di wajahnya yang jujur saja, ini pertama kali sepanjang dirinya jadi dewasa.
Yang ditunggu akhirnya muncul mengobati segala resah dan kegalauan.
Aegle. Tidak ada jubah malam yang biasa dia gunakan, rambutnya yang biasa diikat satu, kini membulat dengan bentuk bun menampilkan leher jenjang yang putih tanpa kerah tinggi. Selain pakaian dan topeng yang tetap sama, dia terlihat sangat berbeda.
Mungkin lupa berdandan dan buru-buru, pikir Xavier.
Tak apa! Itu justru baik untuk hatinya. Aegle terlihat cantik walaupun wajahnya tertutup topeng.
Sebuah privasi yang Xavier tak ingin usik dan tak pernah dia tanyakan apa alasannya secara langsung pada Aegle.
Karena Xavier tahu semua tanpa harus bertanya.
Dia sudah tahu siapa di balik wajah penopeng itu.
Dia selalu bisa membayangkan betapa indahnya anugerah dewa yang selalu disembunyikan.
“Kau datang?”
😍😍😍
😘😘😘🔞🔞🔞