Novel Ketiga
Berdasarkan survei, sedia tisu sebelum membaca😌
--------
Mencintai, lalu melepaskan. Terkadang cinta itu menyakiti, namun membawa kebahagiaan lain di satu sisi. Takdir membawa Diandra Selena melalui semuanya. Merelakan, kemudian meninggalkan.
Namun, senyum menyakitkan selalu berusaha disembunyikan ketika gadis kecil yang menjadi kekuatannya bertahan bertanya," Mama ... apa papa mencintaiku?"
"Tentu saja, tapi papa sudah bahagia."
Diandra terpaksa membawa kedua anaknya demi kebahagiaan lainnya, memisahkan mereka dari sosok papa yang bahkan tidak mengetahui keberadaan mereka.
Ketika keegoisan dan ego ikut andil di dalamnya, melibatkan kedua makhluk kecil tak berdosa. Mampukah takdir memilih kembali dan menyatukan apa yang telah terpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Akhir, tapi Baru Dimulai
"Aku tidak tahu mana Dian yang dulu dan yang sekarang."
Dian yang sudah membuka pintu mobilnya terhenti. Ia tahu betul siapa yang berbicara kali ini. Kemarahan nya sedikit melunak diganti dengan kerinduan yang amat sangat. Dian mengatur dirinya. Sudah tujuh tahun berlalu, banyak hal yang berubah.
"Aku juga tidak tahu Dian mana yang kau maksud." Berbalik seraya menutup kembali pintu mobilnya. Menampilkan wajah arogan yang biasa orang lain lihat.
Lihatlah dia. Begitu pandai menyembunyikan perasaannya. Nico tahu ada kesedihan di mata wanita ini, tapi mencoba bersikap kuat. Orang-orang menilai Dian buruk, tapi bagi Nico dia tetap Dian nya yang penuh kehangatan.
"Kau bersandiwara. Apa kau suka dibenci banyak orang?"
Dian tersenyum. "Aku tidak suka bersandiwara. Berpura-pura, hanya orang munafik yang bisa melakukannya. Jadi, biar ku ingatkan. Menghindar adalah pilihan terbaik jika bertemu denganku."
"Ini bukan dirimu." Nico menatap dalam mata jernih itu.
"Kau hanya belum mengenalku. Menjauhlah atau kau hanya menerima kekecewaan." Dian berbalik, hendak membuka pintu kembali.
"Dimana mereka?"
Deg!
"Siapa?" Mencoba setenang mungkin.
"Aku tahu kau tidak pergi sendirian saat itu. Kau membawa harta paling berharga bersamamu."
Nico tahu? Atau ia salah paham?
"Kau ingin aku mengembalikan semua uangmu?" Berbalik lagi, Dian mendekatkan wajah mereka begitu dekat.
"Munafik," ujar Nico membuat senyum Dian menghilang. "Kau berpura-pura sekarang," lanjut Nico lagi.
"Apa maksudmu?" Nada Dian berubah datar.
"Kebohongan mu begitu tulus. Mudah bagimu menerima orang lain, tapi sebenarnya kau begitu tak menyukainya."
"Sama seperti saat mama dan Melly menindasmu. Kau bisa saja melawan, tapi kau hanya diam saja. Munafik! Kau mencoba bersahabat denganku. Pada akhirnya kau biarkan hatimu menanam banyak kebencian."
Dian tersenyum tipis dan pada akhirnya terkekeh. "Jangan berbicara seolah kau mengenalku. Percayalah, aku tak sebaik yang pernah kau lihat. Kau benar, aku juga munafik. Kau bahkan tidak bisa menebak apa yang akan aku lakukan selanjutnya."
Tangan Nico mengepal. Ia tak ingin menyerah untuk kembali melunakkan wanita ini. Tapi ada satu hal yang ia takutkan dari perubahan wanita ini.
"Dimana mereka?" Anak-anaknya. Dian masih mempertahankan mereka, kan?
"Aku tak mengerti maksudmu."
"Masih berpura-pura?" Nico menatap tajam wanita itu sambil tangannya mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya.
Ia mengangkat benda itu tepat di depan wajah Dian. Sontak senyum Dian kembali menghilang, diganti dengan tatapan tajam yang menusuk. Itu gambar USG miliknya dulu. Bagaimana bisa ada bersama Nico? Ia tidak bisa mengelak lagi. Jelas nama yang tertera disana adalah namanya yang sedang mengandung bayi kembar.
"Mengaku?"
"Apa yang kau harapkan dari sebuah gambar lama?" Dian menaikkan salah satu alisnya, tersenyum remeh. Melihat itu, Nico tak ingin berpikir lain. Dian tak mungkin melakukan hal keji.
"Dian– jangan buat aku berpikir macam-macam." Nico mengetatkan rahangnya.
"Kau tahu, seseorang akan bahagia jika mau menerima kenyataan," ujar Dian.
"DIANN!!" bentaknya. Mata Nico sudah memerah marah.
"Kau mencariku untuk mereka? Tapi maaf, semua hanya sia-sia. Kau dengar perkataan wanita tadi? Tidak mungkin orang sepertiku mengurus anak," tekan Dian tersenyum sinis.
"Tidak– tidak mungkin. Kau tidak mungkin setega itu, kan?!" Mencengkram pundak wanita itu.
"Percayalah, mereka sangat bahagia. Aku melakukan sebisaku untuk membuat mereka bahagia."
"DENGAN MEMBUNUH BEGITU?!" Dian sedikit tersentak, tapi dengan mudah mengembalikan keadaan.
"Ah ... kau salah paham. Aku tidak membunuh, tapi mengembalikan pada sang pencipta."
"Tidak tidak tidak! Anakku– mereka baik-baik saja. Kau pasti berbohong." Nico menggeleng histeris.
"Aku hanya memenuhi keinginan dua wanita kesayanganmu. Mereka benar. Benihmu tak pantas berada di rahim wanita sepertiku."
"Sudah cukup, Dian. Aku sudah sangat menderita. Jangan mengatakan kebohongan lagi." Nico jatuh berlutut dengan kedua tangan mencengkeram lengan Dian. Wajahnya sudah lusuh karena putus asa.
Bayinya, buah hatinya. Jiwa Nico seakan hendak ditarik. Dunianya serasa runtuh.
"Tuan!" Roby berusaha menahan Nico yang sudah lemah. Ia sendiri tak mempercayai Dian bisa berubah begitu kejamnya.
"Bagaimana bisa anda sekejam itu, Nona! Mereka tidak berdosa."
Dian tidak menjawab. Wanita itu menatap Nico yang begitu terpukul. Ia tak ingin mengatakan ini, tapi bibirnya seolah mengendalikannya.
"Kalian hanya akan menerima kekecewaan jika bertemu denganku," katanya, hendak pergi. Ia tak sanggup melihat pria itu terluka. Tapi keputusan ini juga tidak buruk agar Nico tak mengharapkan apapun.
"Coba pergi jika kau berani," ucap Nico dingin tiba-tiba. Pria itu menatap sosok cantik di depannya dengan amarah.
"Siapkan mobil!" perintahnya pada Roby. Dengan gerakan cepat Nico meraih Dian dalam gendongannya. Wanita itu terpekik kaget dan mencoba memberontak, tapi Nico menahannya dengan begitu kuat.
"Lepaskan aku!"
Nico tak mendengarkan. Roby sudah siap membuka pintu penumpang dan menjalankannya setelah tuannya masuk. Tak lupa Roby mengunci pintu mobil agar Dian yang ditahan Nico tidak bisa kabur.
"Kau benar. Menerima kenyataan akan membuat seseorang bahagia. Jadi kau juga harus menerima kenyataan bahwa benihku akan kembali mengisi rahimmu!" desis Nico penuh kebencian. Mata Dian membulat tak percaya. Nico terlihat berbeda.
Tuan berubah kejam sejak kepergian mu, nona. Seseorang takkan percaya jika melihatnya menangis. Bahkan nona Melly pernah hampir mati dibuatnya jika tuan Ricardo tak menahan.
...****...
..."Takdir bukan tidak membiarkan kisah mereka berlanjut, tapi bagaimana kisah mereka akan kembali dirangkai. Titik perjalanan belum berakhir, namun baru saja dimulai."...
...[Ketika Takdir Kembali Memilih]...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...