Lintang Ayu Sasmita merasa terguncang saat dokter mengatakan bahwa kandungannya kering dan akan sulit memiliki anak. Kejadian sepuluh tahun silam kembali menghantui, menghukum dan menghakimi. Sampai hati retak, hancur tak berbentuk, dan bahkan berserak.
Lintang kembali didekap erat oleh keputusasaan. Luka lama yang dipendam, detik itu meledak ibarat gunung yang memuntahkan lavanya.
Mulut-mulut keji lagi-lagi mencaci. Hanya sang suami, Pandu Bimantara, yang setia menjadi pendengar tanpa tapi. Namun, Lintang justru memilih pergi. Sebingkai kisah indah ia semat rapi dalam bilik hati, sampai mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengembalikan Nyawa
"Lintang, sadarlah! Semua orang melihat kita, berhenti bicara sembarangan."
Dengan suara lirih, Ningrum mencoba menenangkan Lintang. Karena ia sadar, semua mata telah tertuju pada mereka. Ningrum tak mau jika para tamu itu memandang buruk dirinya atau keluarganya karena terpengaruh dengan ucapan Lintang.
Namun, emosi yang telanjur menguasai hati Lintang tak bisa lagi dibendung atau dikendalikan. Ucapan Ningrum justru ditanggapi dengan senyum dan tatapan sinis.
"Aku nggak bicara sembarangan, Bu. Yang kukatakan adalah fakta. Fakta yang nggak pernah Ibu tahu karena sudah buta oleh ucapan Mbak Tari dan Mas Albi!" Lintang kembali membentak di akhir ucapannya.
"Lin—"
"Ibu ingat, selama ini selalu mengatakan bahwa aku yang menjadi alasan Ibu dan Bapak pindah ke sini. Katanya Ibu malu karena aku sudah membuat aib di Sidoarjo sana. Tapi, sebenarnya bukan itu kan, Bu, alasannya? Ibu dan Bapak menjual rumah di sana dan pindah ke sini, membeli rumah yang lebih kecil karena sebagian uangnya untuk membiayai Mbak Tari kuliah di Jakarta. Tapi, kemudian Ibu sering mengungkit dan membanding-bandingkan aku dengan Mbak Tari dan Mas Albi. Ya, aku memang beda dengan mereka, Bu! Aku nggak bisa kerja mapan dengan gaji yang tinggi, karena aku nggak kuliah kayak mereka! SMA saja aku nggak sempat karena kelicikan mereka! Ibu paham itu nggak?" potong Lintang dengan kembali berapi-api.
Albi dan Utari tampak gusar. Keduanya saling pandang dan seolah saling mengatakan sesuatu lewat tatapan itu. Sialnya, gelagat mereka tak luput dari pantauan Rayana, hingga wanita itu berpikir bahwa yang dikatakan Lintang adalah benar. Namun, ia belum berani mengatakan apa-apa. Cukup didengar dan direkam dalam ingatan.
"Ibu tahu nggak bagaimana aku melewati hari-hari setelah Ibu memaksaku minum obat aborsi? Aku nggak bisa tidur, Bu. Sedetik pun aku nggak bisa tidur karena trauma itu terus menghantui! Tapi, apa Ibu pernah mengerti itu? Nggak sama sekali! Karena Ibu nggak pernah peduli dengan keadaanku! Ibu tahu ke mana habisnya gajiku sewaktu kerja di tokonya Bu Desi? Habis untuk beli obat tidur, Bu! Karena hanya itu yang bisa membantuku melupakan semua trauma yang pernah kualami! Tapi, Ibu lebih percaya pada Mbak Tari dan Mas Albi kan, yang mengatakan kalau gajiku habis untuk beli baju dan kosmetik. Padahal, apa pernah sekali saja Ibu melihatku memakai baju baru? Pernah Ibu melihatku memakai bedak atau lipstik? Kalau Ibu memang peduli padaku, seharusnya Ibu tahu sehancur apa aku sejak hari itu."
Tubuh Ningrum bergetar. Sedikit banyak sekarang dia bisa mengingat masa-masa dulu. Jika dipikir-pikir, memang benar apa yang dikatakan Lintang. Dulu dia tak pernah melihat secara langsung anaknya itu memakai baju baru atau berdandan. Yang dia tahu, setiap kali tanggal gajian, uang Lintang selalu habis. Lantas, dirinya percaya saja ketika Albi dan Utari mengatakan bahwa Lintang mungkin suka menghambur-hamburkan uang, makanya gaji selalu habis.
"Aku sudah sangat hancur, Bu. Bertahun-tahun aku tersiksa batin, sendirian. Tapi, itu masih belum memuaskan Ibu ya? Buktinya, sampai sekarang Ibu selalu semangat mengataiku mandul. Istri tidak berguna, tidak berharga. Sampai Ibu tega menyuruh Mas Pandu untuk menceraikanku dan menikah lagi. Di mana hati nurani Ibu?" Suara Lintang tidak lagi meninggi, tetapi masih sangat tegas dan penuh penekanan.
"Jika Ibu ingin tahu bagaimana keadaan rahimku, ya, rahimku memang kering dan memang sulit punya anak. Tapi, apa Ibu tahu kenapa aku sampai seperti itu? Semua karena obat-obatan yang pernah kukonsumsi. Obat aborsi, obat tidur. Siapa yang memaksaku minum obat aborsi? Ibu. Yang membuatku ketergantungan dengan obat tidur? Kalian semua!" lanjut Lintang dengan setengah berteriak.
"Lintang, Ibu—"
"Ibu tahu berapa kali aku berjuang melawan perasaanku sendiri agar tidak bunuh diri? Berulang kali, Bu. Dan Ibu tahu kapan perasaan itu datang? Setelah aku mendengar ucapan Ibu, ucapan Mbak Tari, ucapan Mas Albi, yang selalu menyudutkanku, mencaciku, dan menghakimiku. Apa Ibu tahu kalau sekarang aku sampai ditangani psikiater? Mentalku hancur, Bu! Hancur karena kalian semua!"
Tangan Rayana mengepal erat. Sedikit banyak dia bisa merasakan apa yang dirasakan Lintang.
"Aku selalu bertanya-tanya, kenapa Ibu nggak membunuhku saja sewaktu kecil, daripada dibiarkan hidup dan disiksa batin seperti ini." Lintang kembali mendekati Ningrum, yang kini sudah tersudut di antara tamu undangan. "Tapi, membunuh sekarang juga belum terlambat, Bu. Bunuh saja aku. Aku rela jika itu bisa menebus kesalahanku, mungkin lahirnya aku adalah sebuah kesalahan bagi Ibu," lanjutnya.
"Lintang, tidak seperti itu."
"Semua yang di sini bisa menjadi saksi kalau ini keinginanku, jadi Ibu nggak akan dijerat hukum. Perlu kuambilkan pisaunya sekarang, Bu? Atau kapak? Gergaji? Ibu mau yang mana, biar kuambilkan. Atau Ibu mau membunuhku dengan racun? Seperti dulu saat Ibu mencekokiku dengan obat aborsi? Katakan saja, Bu. Nanti biar Mas Pandu yang membelikannya."
"Sayang, jangan begini! Tidak ada seorang pun yang boleh membunuhmu." Pandu mulai angkat bicara karena Lintang mulai tidak terkendali. Bukan amarah lagi yang kini menguasainya.
Terbukti, Lintang dengan mudahnya mengabaikan ucapan Pandu. Bahkan, dia juga dengan cepat menepis tangan Pandu yang hendak merangkulnya. Lintang terus melangkah hingga hampir tak ada jarak di antara dirinya dengan Ningrum.
"Atau Ibu ingin aku bunuh diri saja? Di hadapan Ibu. Jika itu keinginan Ibu, akan kulakukan. Akan kukembalikan nyawa yang pernah Ibu berikan padaku," ucap Lintang.
Suaranya sangat tenang. Namun, membuat bulu kuduk meremang.
Sehancur itu Lintang. Sayangnya, sampai detik ini tidak ada yang benar-benar memahaminya. Bahkan, pemahaman Pandu pun belum sejauh itu. Lintang terlalu rapat menutup diri, hingga tak ada yang tahu apa yang benar-benar ia simpan.
Bersambung...
semoga aja ada orang yang merekam dan melaporkan ke pihak kepolisian dan mengusut tuntas kebenaran nya itu dan orang2 yang terlibat ditangkap serta dihukum
Konspirasi apa lg tuh antara Alby dan Utari , Rayana sekarang kamu tahu siapa suami dan bapak mu