Zefanya Alessandra merupakan salah satu mahasiswi di Kota Malang. Setiap harinya ia selalu bermimpi buruk dalam tidurnya. Menangisi seseorang yang tak pernah ia temui. Biantara Wisam dosen tampan pengganti yang berada dalam mimpinya. Mimpi mereka seperti terkoneksi satu sama lain. Keduanya memiliki mimpi yang saling berkaitan. Obat penenang adalah satu-satunya cara agar mereka mampu tidur dengan tenang. Anehnya, setiap kali mereka berinteraksi mimpi buruk itu bak hilang ditelan malam.
Hingga sampai saat masa mengabdinya usai, Bian harus kembali ke luar negeri untuk menyelesaikan studinya dan juga merintis bisnis. Saat keberangkatan, pesawat yang diduga ditumpangi Bian kecelakaan hingga menyebabkan semua awak tewas. Semenjak hari itu Zefanya selalu bergantung pada obat penenang untuk bisa hidup normal. Mimpi kecelakaan pesawat itu selalu hadir dalam tidurnya.
Akankah harapan Zefanya untuk tetap bertemu Bian akan terwujud? Ataukah semua harapannya hanya sebatas mimpi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Harti R3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa yang Terjadi?
“Pak Bian, lihatlah ternyata kelas kita ada mahasiswi tak kalah cantik,” Ucap Pak Mike memasuki pintu.
Bian menatap Zizi yang mulai tak nyaman.
“Zizi punya pacar gak?”
“Oh iya, Pak tugasnya tolong dicek dulu.” Zizi mengalihkan pembicaraan.
“Kok buru-buru sih?”
“Masih ada acara, Pak. Saya permisi dulu, Pak.”
“Makasih ya Zizi, lain kali ngobrol lagi sama saya.”
Good girl. Monolog Bian dalam hati.
Zizi meninggalkan ruang dosen. Rasanya ia ingin mengumpat di depan Pak Mike yang terlalu humble itu. Sesampainya di kost, ia baru teringat dengan jaket ditangannya.
“Gara-gara dosen sinting, jaketnya malah lupa.” Zizi berdecak kesal.
Ia mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan kepada Bian.
[Pak Bian, jaketnya saya bawa dulu.]
Hapus.
[Pak Bian, kapan ada waktu saya mau ngembaliin jaket.]
Hapus.
[Maaf, tadi lupa ngembaliin jaket.]
Hapus.
“Gimana cara ngomongnya?”
Zizi mendekap jaket dipelukannya. Aroma mint memenuhi indera penciumannya. Aroma yang membuatnya membayangkan sedang memeluk tubuh Bian.
“Kenapa aromanya Pak Bian banget sih, gimana rasanya... Aish! Gue pasti udah gila.” Merutuki dirinya sendiri
.
Ting!
[Tolong rawat dulu jaketnya. Saya mungkin cuti beberapa hari.]
[Dimengerti, Bapak.]
“Cuti? Kenapa?” Zizi penasaran.
[Apa ada masalah?]
Terkirim.
“Gak, gak, gue terlalu kepo. Hapus ajalah.”
Hapus. Zizi menghapus pesan yang baru saja ia kirimkan kepada Bian.
Sore ini ia berjanji pergi ke kost Felicia. Ia berangkat pukul 15.10 sore. Jalanan cukup ramai lancar. Saat di lampu merah, ada seseorang berkendara dengan mobil sport hitam membuka kaca jendela.
“Zizi, bisa menepi sebentar di depan?”
“Oh, Pak Bian.” Ia mengangguk karena lampu sudah berwarna hijau.
Ia tepikan motor di bahu jalan yang terlihat masih sepi. Bian mengikutinya menepikan mobil, namun ia tak langsung keluar. Zizi pun menghampirinya ke mobil dan mengetuk kaca mobil.
“Wait a minute!”
Zizi mengangguk. Bian tampak serius berbicara dengan seseorang via telpon. Juga, matanya terlihat sembab dan merah.
Apa yang terjadi? Dia menangis? Tanyanya dalam hati.
Zizi sibuk melihat-lihat di taman kecil yang sering dipakai untuk nongkrong anak-anak muda. Sesekali ia memotretnya.
“Aku akan terbang nanti jam 6.”
Bian tampak mengusap air mata yang beberapa kali jatuh di pipinya. Mencoba menetralisir perasaannya, kemudian keluar dari mobil.
“Sorry, membuatmu menunggu.”
Zizi sontak membalikkan badannya. Ia melihat Bian begitu kusut. Matanya sembab dan memerah. Ia tampak menahan rasa sedih.
“What happened?”
Bian menggelengkan kepala mencoba tegar dan menyembunyikan rasa sedihnya. Ia mengalihkan pandangan dan menghela napas panjang agar air matanya tak lagi terurai.
“Apa semua baik-baik saja?”
Kali ini Zizi memegang lengan Bian dan mencoba menelusuri wajah Bian. Rasa sedih yang tak mampu terbendung membuat Bian memeluk tubuh mungil Zizi secara tiba-tiba. Tak peduli itu dimuka umum. Zizi pun tampak terkejut dengan sikap Bian.
“Biarkan seperti ini, sebentar saja.” Ucapnya dengan nada sendu.
Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa melihatnya seperti ini membuat hatiku hancur? Tuhan, aku memang ingin memeluk tubuh ini, tapi bukan seperti ini. Juga, apa tafsir semua ini?
Setelah berperang dengan hatinya, Zizi seolah merasakan atmosfer kesedihan yang dirasakan Bian. Ia memberanikan diri menepuk lembut punggung Bian.
“Menangislah. Menangislah agar sedihmu berkurang.”
Bian semakin mengeratkan pelukannya dan menenggelamkan wajahnya di leher Zizi. Tak terasa air matanya mengalir deras hingga membasahi pundak Zizi.
“Teruslah menangis, ada aku tempatmu bersandar.”
Tuhan, apa ini? Atmosfer apa ini? Siapa aku? Siapa aku baginya? Kenapa, ia menumpahkan kesedihannya dipelukanku?
Setelah beberapa saat Bian melepas pelukannya, menyisakan tangan dikedua pundak Zizi. Ia tampak menetralisir rasa sedihnya. Entah apa yang terpikirkan, tangan Zizi meraih pipi Bian dan mengusap air mata yang tersisa di kedua pipinya.
“Sorry.”
“Mari duduk. Tenangkan dirimu.”
Zizi mengajak duduk Bian di salah satu kursi yang tersedia di taman. Ia menatap sendu seorang Bian di hadapannya. Dosen tampan yang ia lihat selalu ceria di kampus, ternyata memiliki hati yang lembut hingga mampu mengeluarkan air mata kesedihan.
“Kubelikan minuman dulu.”
Saat hendak melangkah tangannya ditahan oleh Bian.
“Cukup kamu di sini.”
Akhirnya Zizi duduk kembali. Ponselnya berdering, ada panggilan dari Felicia.
--- Zi, loe udah berangkat? ---
--- Kenapa? Ada masalah? ---
--- Tiba-tiba Angga sampe kost gue, ngajak keluar. Batal gapapa? ---
--- Oke deh, gapapa. Gue udah di jalan sih, tapi ada hal penting yang gak bisa gue tinggal. Syukur deh kalo ada angga. ---
Mereka lalu mengakhiri obrolan. Zizi menyimpan kembali ponselnya dan kembali fokus pada Bian.
“Sorry, gara-gara aku acaramu batal.”
“Gak masalah, lagian acaranya memang batal.”
Mereka berdua terdiam sesaat sebelum akhirnya Bian membuka suara
.
“Orang tuaku, menjadi korban tabrak lari. Sekarang mereka di rumah sakit di Singapore.”
Zizi yang terkejut mencoba bersikap baik-baik saja. “Bagaimana keadaannya?”
“Mamaku hanya luka ringan.”
“How about Papa?”
“Kritis. Sekarang di ICU, dinyatakan koma.”
Zizi menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia pun tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Hanya mampu menepuk lembut punggung Bian. Bian jam dipergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul 16.00. Ia tersadar harus pergi sekarang.
“Aku akan take off jam 6 dan mungkin cuti beberapa hari ke depan.”
“Everything's gonna be okay.”
“Sorry, aku bahkan gak tau harus bercerita ke siapa.”
“Cepatlah berangkat, kerabatmu di sana mungkin menunggu.”
Bian menghela napas panjang dan bangkit dari duduknya. Berjalan ke mobil diikuti Zizi menatap punggungnya dari belakang. Bian menghentikan langkahnya, berbalik dan lagi, memeluk Zizi.
“Thank you.”
Entah perasaan apa yang kumiliki. Namun, rasanya sangatlah aman mendekapnya di pelukan. Tuhan, bolehkah dia kuperjuangkan? Aku rasa, aku menaruh separuh hidupku dijiwanya.
“Hmm, safe flight.”
Bian mengangguk dan segera memacu mobilnya untuk ke bandara. Sedangkan Zizi masih saja mematung di bahu jalan. Entah apa yang sedang bergemuruh di dalam hatinya. Ia menatap kepergian mobil Bian di jalan raya.
Why? Kenapa kamu bersikap seolah-olah aku separuh hidupmu? Bukankah kamu bilang, pacaran hanya membuang-buang waktu? Lalu, mengapa kamu memberiku harapan untuk menaruh rasa? Benarkah, cinta juga bersemayam di hatimu?
Saat hendak berjalan, tiba-tiba.
Plakkk!!
Tamparan keras mendarat dipipi Zizi hingga membuatnya hampir tersungkur. Ia mencoba melihat siapa pemilik tangan itu. Atmosfer kesedihan yang turut menyelimutinya, membuat air mata seketika saja terjatuh. Catherine.
“Apa yang loe lakukan?”
“Akhir-akhir ini loe bertindak lancang.”
“Maksud loe?”
“Gue udah bilang kan, Bian itu tunangan gue. Beraninya loe jalan bahkan meluk dia?”
“Lihatlah siapa gadis ini? Gadis yang gak tau malu...”
Plakkk! Tamparan mendarat dia kali hingga sudut bibir Zizi berdarah.
“Gue peringatin loe sekali lagi, jangan pernah lagi deketin Bian atau loe bakal tau akibatnya.”