Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Jaring yang Mengencang
Pagi menjelang di Jakarta, tetapi bagi Raka, Nadia, dan Pak Hasan, malam mereka belum berakhir. Setelah melarikan diri dari gedung tua di pelabuhan, mereka bersembunyi di sebuah rumah kecil yang berada di pinggiran kota. Rumah itu milik seorang kenalan lama Pak Hasan, seorang wartawan yang pernah menjadi rekan seperjuangan saat ia masih bertugas di kepolisian.
"Ini tempat aman untuk sementara," ujar Pak Hasan seraya menguncikan pintu utama. Ia memandang sekeliling ruangan yang penuh dengan tumpukan koran lama dan buku-buku berdebu. "Teman lama saya sudah meninggalkan kota ini, tapi rumah ini tetap bisa kita gunakan."
Nadia duduk di sofa usang yang sudah robek di beberapa bagian. Matanya memandang Viktor yang diikat di sudut ruangan, wajahnya penuh luka akibat perkelahian malam sebelumnya. "Dia tahu terlalu banyak. Kita tidak bisa membiarkannya di sini tanpa pengawasan."
Raka, yang sedang memeriksa dokumen yang mereka temukan, mengangguk setuju. “Kita butuh lebih dari sekadar dokumen ini. Kita perlu informasi langsung darinya, sesuatu yang bisa kita gunakan untuk menghancurkan jaringan mereka.”
Pak Hasan mendekati Viktor, menatapnya dengan sorot mata tajam. “Kamu punya dua pilihan, Viktor. Membantu kami dan mungkin kamu mendapat keringanan, atau tetap diam dan tenggelam bersama jaringan ini ketika kami mengungkap semuanya.”
Viktor tertawa kecil, meskipun darah masih mengering di sudut bibirnya. “Kalian pikir jaringan ini bisa dihancurkan hanya dengan dokumen itu? Mereka lebih besar dari apa yang kalian bayangkan. Kalau kalian menyentuh mereka, kalian tidak hanya melawan orang-orang di Jakarta. Kalian melawan sesuatu yang jauh lebih kuat, lebih berbahaya.”
Pak Hasan tidak bergeming. “Kami sudah tahu itu. Tapi setiap sistem, tidak peduli sekuat apa pun, punya titik lemah. Dan kamu adalah salah satu titik lemah itu.”
Viktor terdiam, matanya menyipit seolah menimbang-nimbang. Suasana di ruangan itu terasa mencekam, hanya diiringi oleh suara gemericik hujan di luar.
Nadia akhirnya membuka suara. “Kita tidak punya waktu. Kalau dia tidak mau bicara, kita cari cara lain.” Dia berdiri dan mendekati Raka, memandang dokumen-dokumen yang berserakan di meja kecil. "Ada beberapa nama di sini yang bisa kita telusuri. Salah satunya ini, 'Brahmana.' Siapa pun dia, tampaknya dia punya posisi penting.”
Raka mengangguk, menyadari nama itu tercantum di hampir setiap catatan transaksi besar. “Kalau kita bisa menemukan orang ini, mungkin kita bisa memahami struktur mereka lebih baik.”
Pak Hasan berbalik ke arah Viktor. “Siapa Brahmana?”
Viktor tersenyum sinis. “Dia adalah orang yang kalian tidak ingin temui. Tapi kalau kalian memang nekat, aku bisa memberi kalian petunjuk. Tapi ingat, ini seperti menggali lubang kuburan kalian sendiri.”
Nadia menatap Viktor dengan tatapan dingin. “Kami sudah melewati terlalu banyak untuk mundur sekarang. Katakan di mana kami bisa menemukannya.”
Viktor menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab. “Dia memiliki sebuah markas di pusat Jakarta, tersembunyi di balik kedok perusahaan legal. Tempat itu adalah inti dari operasi mereka. Tapi mendekatinya saja sudah hampir mustahil, apalagi masuk ke dalam.”
Raka menyimpan informasi itu di pikirannya. “Tidak ada yang mustahil. Kita hanya perlu rencana yang matang.”
Pak Hasan menambahkan, “Tapi kita juga harus hati-hati. Semakin dalam kita masuk, semakin besar risiko yang kita ambil. Mereka pasti tahu bahwa kita memiliki dokumen ini, dan mereka tidak akan tinggal diam.”
Di tengah diskusi mereka, sebuah pesan masuk ke ponsel Nadia. Pesan itu berasal dari seorang kontak yang sudah lama membantunya mencari informasi. Isinya singkat: _"Ada gerakan aneh di kawasan selatan. Polisi bayangan mulai bergerak. Hati-hati."_
“Sepertinya mereka sudah mulai mencari kita,” ujar Nadia dengan nada serius. “Kita harus segera bergerak. Tempat ini mungkin aman untuk sementara, tapi tidak untuk waktu yang lama.”
Pak Hasan setuju. “Kalau begitu, kita buat langkah berikutnya. Kita cari Brahmana dan bongkar operasinya. Tapi sebelum itu, kita harus memastikan bahwa dokumen ini tersimpan di tempat yang aman. Kalau kita gagal, setidaknya bukti ini bisa tetap digunakan.”
Mereka memutuskan untuk membagi tugas. Raka dan Nadia akan menuju pusat Jakarta untuk mencari petunjuk lebih lanjut tentang Brahmana, sementara Pak Hasan akan membawa dokumen itu ke seorang kontaknya di luar kota untuk diamankan.
Sebelum berpisah, Pak Hasan menatap mereka dengan tatapan penuh kekhawatiran. “Kalian harus hati-hati. Jaringan ini tidak hanya berbahaya, tapi juga licik. Jangan pernah lengah, bahkan untuk sedetik.”
Raka tersenyum tipis. “Kami sudah tahu risikonya, Pak. Dan kami siap.”
Nadia menambahkan, “Apa pun yang terjadi, kita tidak akan berhenti. Kebenaran ini terlalu penting untuk dibiarkan hilang.”
Mereka bertiga saling berjabat tangan sebelum berpisah. Hujan yang mulai reda seolah memberi jeda singkat di tengah kekacauan yang sedang mereka hadapi. Namun, di balik keheningan itu, bahaya sudah mengintai dari setiap sudut kota.
Langkah mereka semakin dalam menuju inti dari kekacauan ini. Di balik kilauan Jakarta yang gemerlap, ada bayang-bayang gelap yang terus bergerak, mencoba menghentikan mereka. Tapi Raka, Nadia, dan Pak Hasan tahu bahwa mereka tidak bisa mundur lagi. Dengan setiap langkah yang mereka ambil, mereka mendekat pada kebenaran yang berbahaya—kebenaran yang bisa mengubah segalanya.
Namun, apa yang menunggu di depan sana? Mereka tidak tahu pasti. Satu hal yang mereka yakini: perjuangan ini belum selesai.
Dalam keheningan malam, Nadia melirik ke arah Raka. “Kalau kita berhasil keluar dari semua ini, apa yang akan kamu lakukan?”
Raka tersenyum kecil, meski lelah tergambar jelas di wajahnya. “Aku belum memikirkan itu. Tapi mungkin… akhirnya hidup tanpa rasa takut.”
Pak Hasan, yang mendengar percakapan itu dari sudut ruangan, menambahkan, “Hidup tanpa rasa takut adalah sesuatu yang mahal di kota ini. Tapi kalau kalian berhasil, kalian bisa membuat orang lain punya kesempatan untuk merasakannya.”
Suasana menjadi sunyi sesaat. Hanya suara rintik hujan yang masih terdengar di luar, seolah menjadi saksi atas janji yang terucap dalam diam.
Raka merapikan dokumen di tangannya, pandangan matanya tajam. “Kita harus memastikan semua ini sampai ke tempat yang tepat. Kalau kita jatuh, setidaknya kita tidak akan jatuh sia-sia.”
Nadia mengangguk, meski kegelisahan tampak di wajahnya. “Aku tahu ini belum selesai. Tapi malam ini, rasanya kita semakin dekat dengan sesuatu yang nyata. Viktor bisa menjadi kunci, dan kalau dia jujur, mungkin kita bisa mulai mengurai semua ini.”
Pak Hasan melangkah mendekati keduanya, meletakkan tangan di bahu mereka. “Kalian sudah sejauh ini. Jangan pernah lupa apa yang kita perjuangkan. Tidak peduli seberapa besar musuh kita, kita tetap punya satu senjata yang tidak mereka miliki: keberanian untuk melawan.”
Malam itu, di bawah langit Jakarta yang mulai cerah, mereka menyusun langkah berikutnya dengan hati-hati. Harapan mereka kecil, tapi cukup untuk membuat mereka terus melangkah. Karena di balik semua kegelapan yang menyelimuti kota ini, mereka percaya ada cahaya—sekecil apa pun itu—yang menunggu di ujung jalan.
Dan ketika pagi menjelang, mereka tahu, perjuangan ini akan membawa mereka lebih jauh ke dalam bahaya. Namun, bersama-sama, mereka akan melawan. Hingga keadilan menemukan tempatnya. Hingga mereka bisa memastikan bahwa kebenaran tidak akan pernah terkubur lagi.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)