Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 : Justice Lens vs Jus Jambu
Setelah beberapa menit penuh perdebatan nama yang semakin absurd, mulai dari "Manda Kriminality" sampai "Fakta di Tanganmu," akhirnya Manda bersandar ke kursinya, menatap Reza yang sudah menyerah sambil mengaduk-aduk es teh.
"Gue punya nama baru," kata Manda tiba-tiba, matanya berbinar seperti detektif yang baru menemukan bukti penting.
Reza mendongak lesu. "Apa lagi? Asal bukan 'Lens of Crime,' gue setuju."
Manda mengacungkan jarinya seperti guru sedang memberikan kuliah. "Justice Lens. Singkat, padat, keren, bermakna."
Reza mengernyit, lalu perlahan senyumnya merekah. "Hmm. 'Justice Lens.' Lumayan. Keren sih. Nggak norak, nggak terlalu puitis juga. Pas. Gokil, Mbak!"
Manda menyeringai bangga. "Tuh kan, gue emang jago. Nama ini bakal jadi brand besar, Za. Channel gue bakal viral! Orang bakal pakai 'Justice Lens' buat nyari keadilan!"
Reza mengangguk-angguk sambil mengelap mulutnya dengan tisu. "Bener juga. Gue jadi bisa sombong kalau channel lo sukses. 'Oh, itu Justice Lens? Gue yang syuting semua video awalnya,' gitu."
Manda tertawa sambil memukul lengannya. "Lo keterlaluan, Za. Tapi oke, deal. Justice Lens jadi nama channel kita."
Reza mendadak serius, menatap Manda dengan tatapan penuh semangat. "Channel kita? Tunggu sebentar. Mbak, ini ide lo kan? Gue cuma kameramen!"
Manda menepuk bahunya dengan dramatis. "Za, perjalanan ini nggak akan mudah. Gue butuh tim solid, dan lo adalah bagian penting. Bersiaplah, Justice Lens akan jadi rumah kita untuk melawan ketidakadilan!"
Reza mendesah panjang, lalu tersenyum kecil. "Oke deh, Mbak. Justice Lens, here we go. Tapi nanti kalau sukses, honor gue jangan pelit ya."
"Lo pikir gue siapa? Andika?!"
Dan sekali lagi, warteg itu penuh dengan tawa. Di tengah ketidakpastian hidup, Justice Lens lahir—nama yang sederhana namun menyimpan harapan besar.
...****************...
Reza menatap Manda dengan pandangan penuh curiga, seolah-olah ada yang mengganjal di benaknya. Manda yang sempat sibuk dengan ponselnya, menyadari tatapan itu dan melirik balik dengan senyum tipis.
"Lo mikir apa, Za?" tanya Manda, sambil memiringkan kepala, mencoba terlihat tidak terlalu mencurigakan.
Reza mengernyit, menahan napas sejenak. "Jangan bilang... lo nggak cuman mau bikin channel Youtube, tapi juga ngajak gue resign dari kerjaan kan?"
Manda mengangkat alisnya, pura-pura kaget. "Hah? Ya jelas lah. Masa lo tega biarin gue sendirian."
Reza langsung tertawa sinis, "Tuh kan bener kan, gue udah tau. Lo mau gue bantuin jadi kameramen full-time di channel lo itu, terus kita dua-duaan keliling kasus kriminal, kalau kita nggak punya pemasukan tetap, gimana? Cari duit dari mana?"
Manda melipat tangan di depan dada, tampak berpikir sejenak. "Tunggu dulu. Ini kan bukan soal duit, Za. Gue pengen lo juga punya hidup yang lebih menyenangkan. Lo nggak akan selamanya jadi kameramen di tempat yang kayak gini, kan? Gue yakin banget, dengan Justice Lens, kita bisa dapetin sponsor dari brand-brand besar."
Reza mendelik sedikit. "Sponsor? Mand, kita ngomongin keadilan, bukan makeup atau smartphone murah. Kalau tiba-tiba Justice Lens collab sama pasta gigi, gue bisa mimpi buruk seumur hidup."
Manda tertawa terbahak, hampir menjatuhkan garpu yang dia pegang. "Gue sih lebih takut kalau kita collab sama diet mayo, itu bisa bikin kita berdua habis."
Reza mengangguk-angguk, mulai bisa melihat sisi lucu dari ide gila ini. "Oke, Mand. Gue masih nggak ngerti, gue siap bantu jadi kameramen lo. Cuma... kalau gue harus resign, kayaknya...."
Manda tertawa terbahak, hampir tersedak karena candaan yang keluar dari mulutnya sendiri. "Gue cuma bercanda, Za! Lo pikir gue segila itu suruh lo resign?" ujarnya, menepuk-nepuk meja dengan tangan penuh semangat. "Gue tahu jadi YouTuber nggak gampang. Pemasukannya susah banget, apalagi pas awal-awal. Jangan harap bisa makan steak tiap hari!"
Reza yang sejak tadi menatapnya dengan raut wajah serius, akhirnya menghela napas panjang. "Manda, lo nggak ngerti," katanya pelan, membuat Manda berhenti tertawa. "Gue udah nggak mau kerja lagi di sini. Gue udah ajukan resign, waktu lo dipecat kemarin."
Manda diam, tatapannya berubah kosong seiring kata-kata itu meluncur dari mulut Reza. Seolah-olah dunia berhenti sejenak, dan suara bising warteg yang penuh dengan orang makan siang, mendadak lenyap.
Reza melanjutkan, "Gue nggak bisa ngerjain sesuatu yang nggak gue percaya. Dan gue percaya sama lo, Manda. Gue percaya kalau lo bisa bikin Justice Lens ini sukses. Jadi gue mau bantuin lo, bukan cuma jadi kameramen, tapi juga ikut ngurus semuanya."
Manda menatap Reza dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tanpa sadar, air matanya mulai menetes. "Kenapa sih lo bego banget, Za? Ngapain lo resign segala?" katanya dengan suara tercekat. "Lo kan harus nanggung pengobatan nyokap lo. Kalau lo resign gimana sama nyokap lo nanti?"
"Ini kan bukan cuma soal kita berdua! Lo resign dari pekerjaan lo, cuma buat bantuin gue? Lo pikir gue nggak tahu gimana beratnya hidup lo sekarang?"
Reza menunduk, wajahnya tampak seakan menyesal, tapi ada tekad yang lebih kuat. "Gue tahu, Manda. Tapi gue yakin kalau gue bantu lo, kita bisa jalani ini bareng-bareng. Gue nggak akan ninggalin lo sekarang. Gue cuma nggak bisa lihat lo berjuang sendirian. Dan stop bilang gue bego, sebelum gue menyesali keputusan gue buat resign"
Manda menarik napas panjang dan mengusap wajahnya. "Ya ampun, Za... Lo jangan kayak gitu. Nggak usah jadi pahlawan buat gue. Gue nggak mau lo tambah susah."
Reza tersenyum, meski sedikit ragu. "Gue tahu apa yang gue lakuin, Manda. Ini keputusan gue. Dan kalau lo mau sukses, gue pasti ada di samping lo. Bahkan kalau kita harus makan mie instan tiap hari selama setahun."
Manda menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang semakin sulit dia kendalikan. "Lo memang gila, Za... tapi gue... gue berterima kasih banget."
Dan meskipun di tengah keputusasaan dan kesulitan, ada sedikit tawa yang terdengar saat Manda menambahkan, "Tapi gue nggak mau makan mie instan !"
Reza tertawa pelan. "Deal. Tapi gue cuma bisa masak mie, nggak bisa masak steak, lo tahu kan?"
Dan di tengah tawa yang terasa ringan itu, mereka berdua tahu satu hal: perjuangan mereka baru saja dimulai.
...****************...
SATU TAHUN KEMUDIAN
Satu tahun setelah kejadian itu, Arga berada di tengah teriknya matahari Jakarta, berdiri dengan setengah hati di pinggir jalan raya, memeriksa kelengkapan kendaraan pengendara. Bajunya sudah kusut, wajahnya kelihatan lelah, dan kulitnya mulai menghitam terbakar matahari. Tak ada senyum di wajahnya, hanya ekspresi datar khas polisi yang sudah setahun bekerja di divisi lalu lintas, jauh dari dunia penyelidikan kriminal yang dulu dia impikan.
"Berhenti! Tolong serahkan SIM dan STNK-nya," teriak Arga, suaranya agak mirip dengan suara robot yang sudah diprogram untuk melakukan hal yang sama berulang-ulang setiap hari.
Namun, entah kenapa, hari itu, Arga merasa sedikit berbeda. Mungkin karena cuaca yang panas, atau mungkin juga karena tekanan mental akibat dipindahkan ke divisi ini. Dia merasa seperti sedang bekerja di dunia yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan semangatnya dulu. Tapi, apa boleh buat, pekerjaan adalah pekerjaan.
Tiba-tiba, seorang pengemudi berhenti tepat di hadapannya. Pengemudi itu terlihat gugup, tangannya terlihat bergerak-gerak seperti sedang mencari sesuatu di bawah jok motor. "Pak, saya... saya nggak bawa STNK-nya," katanya dengan suara parau. "Tapi... ini aja deh, buat kemudahan."
Pengemudi itu menyodorkan uang seratus ribu di balik SIM C yang sudah expired. Arga melihatnya, dan sejenak matanya membelalak. Dia terdiam, seperti baru saja melihat harta karun yang tergeletak di depan matanya. Tapi, hanya sekejap—Arga langsung melotot tajam ke arah pengemudi itu.
"Kamu pikir saya siapa? Polisi pemula yang baru main-main di dunia razia?" Arga berkata dengan suara rendah, namun penuh penekanan. "Gaji saya masih cukup buat beli mie ayam tiap hari, tanpa perlu duit haram kayak gini."
Pengemudi itu terkejut, dengan cepat menarik kembali uang itu dan terlihat keringat dingin mulai mengalir di dahinya. Arga melangkah mendekat, tangannya memegang teguh SIM pengendara itu. "Sudah nggak bawa STNK, SIM expired, masih mau nyogok lagi."
Dengan penuh keyakinan, Arga mengembalikan SIM yang sudah expired itu tanpa menerima uang sepersen pun. Pengemudi itu hanya bisa menunduk dan pergi dengan malu, seolah-olah baru saja bertemu dengan polisi yang sedang menjalani misi penyucian diri.
Tanpa banyak bicara, Arga segera menulis tilang di buku register dengan tangan yang mantap. Tangannya yang sebelumnya ragu, kini terasa sangat tegas. Di tengah panasnya Jakarta, dengan keringat yang menetes, dia tetap mengangkat kepala dan menunjukkan kewibawaan sebagai polisi meskipun hatinya terasa seperti terjebak dalam rutinitas yang tak pernah berakhir.
"Pak, tolonglah, lepasin saya kali ini. Saya sudah sering kena tilang" kata pengemudi itu, sambil mengusap keringat di dahinya, berusaha mencari celah.
Namun Arga hanya diam, matanya sudah fokus di buku tilang, jari-jarinya menulis seperti seorang ahli. Tiba-tiba, pengemudi itu berkata dengan sedikit cemas, "Ngomong-ngomong, saya punya saudara polisi juga, lho. Mungkin bapak kenal"
Arga langsung berhenti menulis, lalu menatap pengemudi itu dengan pandangan yang bisa membuat siapa saja merinding. "Saudara polisi, ya?" ucapnya dengan nada datar yang begitu penuh penekanan, "Yaudah, saya juga punya saudara yang jualan cilok di depan gang. Kalau masalahnya saudara, kita bisa sampe situ juga."
Pengemudi itu terdiam, terbata-bata, mencoba berpikir keras untuk menemukan jalan keluar dari situasi yang semakin menyesakkan.
Arga menatapnya tanpa ampun. "Mau saudara polisi, saudara presiden, atau saudara raja—kalau salah ya tetep kena tilang! Salah sendiri kenapa surat-surat nggak lengkap" Arga mendesis, seraya mengarahkan pena ke buku tilang. "Saya nggak peduli kalau saudara kamu itu Superman, semua harus taat aturan! Kalau nggak, ya siap-siap bayar denda."
Dengan tatapan yang tajam, Arga menyelesaikan tulisannya. Pengemudi itu akhirnya menyerah, dan tak bisa berbuat banyak selain menerima tilangnya dengan tangan gemetar.
"Next time, kalau mau ngomong soal saudara-saudaraan sama polisi, lebih baik bawa SIM dan STNK-nya, ya," kata Arga sambil mengangkat alis, melepaskan sedikit senyum sinis.
Ketika pengemudi itu mengendarai motornya pergi dengan langkah terpaksa, Arga hanya menghela napas panjang, merasa sedikit lega. Tapi tetap, hari itu, dia tahu satu hal: aturan tetap aturan, tidak peduli seberapa banyak saudara yang kita punya.
...****************...