NovelToon NovelToon
Kurebut Suami Kakak Tiriku

Kurebut Suami Kakak Tiriku

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cerai / Romansa / Balas dendam pengganti
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: lestari sipayung

Adara hidup dalam dendam di dalam keluarga tirinya. Ingatan masa lalu kelam terbayang di pikirannya ketika membayangkan ayahnya meninggalkan ibunya demi seorang wanita yang berprofesi sebagai model. Sayangnya kedua kakak laki-lakinya lebih memilih bersama ayah tiri dan ibu tirinya sedangkan dirinya mau tidak mau harus ikut karena ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Melihat itu dia berniat membalaskan dendamnya dengan merebut suami kakak tirinya yang selalu dibanggakan oleh keluarga tirinya dan kedua kakak lelakinya yang lebih menyayangi kakak tirinya. Banyak sekali dendam yang dia simpan dan akan segera dia balas dengan menjalin hubungan dengan suami kakak tirinya. Tetapi di dalam perjalanan pembalasan dendamnya ternyata ada sosok misterius yang diam-diam mengamati dan ternyata berpihak kepadanya. Bagaimanakah perjalanan pembalasan dendamnya dan akhir dari hubungannya dengan suami kakak tirinya dan sosok misterius itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ANTARA ARGA DAN ADARA

Angin malam berhembus sedikit kencang, menyentuh kulit para manusia yang berlalu lalang. Adara melambaikan tangan kepada teman-temannya saat mereka berpisah setelah lama berkumpul. Satu per satu melangkah menuju tujuan masing-masing, meninggalkan tempat itu untuk kembali ke kediaman mereka.

Mereka masih berdiri di depan kampus, setelah menghabiskan waktu berbincang hingga langit gelap. Saat teman-temannya mulai beranjak, Adara bersiap melangkah menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana. Namun, baru saja ia hendak bergerak, langkahnya terhenti. Sebuah suara lantang menyerukan namanya, membuatnya tersentak dan menoleh dengan cepat.

"Adara!"

Refleks, Adara menoleh ke arah sumber suara. Matanya menyipit, mencoba menembus gelapnya malam untuk mengenali sosok yang memanggilnya. Siluet seseorang berdiri tak jauh darinya, langkahnya seolah ragu namun tetap mendekat perlahan.

"Dia?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Rasa terkejut menyusup dalam benaknya. Tumben sekali pria itu mau menghampirinya seperti ini, apalagi di saat teman-temannya sudah bubar. Bukan orang lain—seseorang yang namanya cukup akrab di telinganya.

Siapa dia? Arga.

Pintu mobil terbuka, dan Arga turun dengan langkah gontai, tubuhnya tampak sedikit goyah hingga sopirnya turun tangan untuk membantunya berdiri tegak. Wajahnya pucat, sorot matanya redup, dan gerak-geriknya mencerminkan kelemahan yang tak bisa disembunyikan. Jelas sekali, kondisinya sedang tidak baik.

Perlahan, Arga melangkah mendekati Adara, yang masih berdiri di tempatnya tanpa bergerak, seakan menunggu dengan tenang apa yang ingin disampaikan pria itu.

"Adara!" panggil Arga lagi, kali ini lebih dekat, suaranya terdengar lirih namun cukup tegas saat akhirnya ia berdiri tepat di hadapan Adara.

Adara mengerutkan keningnya, lalu berdehem pelan. Tatapannya tetap sama—dingin dan acuh, seperti biasanya setiap kali berhadapan dengan pria itu.

Melihat sikap putrinya yang tak berubah, Arga hanya bisa menghela napas berat. Ada kelelahan dalam sorot matanya, seolah telah lama terbiasa dengan jarak yang memisahkan mereka.

"Bisakah kita berbicara, Nak?" tanyanya dengan suara lembut, hampir seperti bisikan.

Adara melipat tangannya, diam sejenak sembari memperhatikan sosok di hadapannya. Ia tahu kesehatan Arga semakin memburuk, tapi melihatnya dari dekat seperti ini, keadaannya tampak jauh lebih buruk dari yang ia bayangkan. Wajahnya begitu pucat, tubuhnya makin kurus, dan langkahnya tak lagi sekuat dulu.

Ada sedikit rasa tidak tega dalam hati Adara, namun ia tetap berdiri tegak, menatap pria yang dulu begitu ia hormati dengan tatapan sulit ditebak.

"Di mana?" tanya Adara singkat.

Arga tersenyum tipis, bukan hanya karena pertanyaan itu, tetapi juga karena Adara akhirnya mau menuruti keinginannya, meskipun tanpa banyak bicara. Mungkin, ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama putrinya bersedia berbincang dengannya, hanya mereka berdua, tanpa ada orang lain di antara mereka.

Tak lama, keduanya sudah duduk di sebuah kafe terdekat, memilih tempat yang cukup tenang agar bisa berbicara tanpa gangguan. Mereka duduk berhadapan, hanya ada dua cangkir teh di meja, mengepulkan uap hangat di udara malam.

Sopir yang tadi menemani Arga telah diperintahkan untuk menunggu di mobil, sehingga kini benar-benar hanya mereka berdua. Sunyi sesaat, tak ada yang langsung membuka suara. Hanya tatapan yang saling bertemu, menyiratkan banyak hal yang belum terungkap.

"Nak..." panggil Arga lagi, suaranya lembut, hampir seperti bisikan yang takut menghilangkan momen ini.

Adara mengalihkan tatapannya, menatap pria di hadapannya dengan ekspresi datar, seolah bertanya tanpa kata: Apa yang ingin Papa bicarakan?

Arga menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. Senyum lebar terukir di wajahnya, mencerminkan kebahagiaan yang tulus. "Papa senang sekali kau mau berbicara dengan Papa seperti ini," ucapnya penuh rasa syukur. "Sudah berapa lama kita tidak duduk seperti ini, Adara?"

Nada suaranya terdengar lirih, hampir seperti orang yang sedang bernostalgia. Ia masih sulit percaya bahwa saat ini, ia benar-benar duduk berhadapan dengan putrinya, tanpa perdebatan, tanpa sikap dingin yang terlalu kentara. Hatinya menghangat hanya dengan melihat Adara di depannya, bahkan meskipun gadis itu tetap bersikap tenang tanpa menunjukkan banyak emosi.

Jujur saja, Arga benar-benar sangat senang. Apa ini nyata? Bukan sekadar mimpi, bukan sekadar harapan yang terus-menerus ia pendam dalam diam. Ini adalah kenyataan—momen langka yang selama ini ia rindukan. Ia sedang duduk berdua dengan putrinya, putri kandungnya sendiri, yang selama ini terasa begitu jauh dari jangkauannya.

Mereka yang selalu bertengkar di rumah, kini duduk berdua di sebuah kafe? Suasana yang seharusnya terasa hangat malah dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata.

Adara akhirnya membuka suara, nadanya tetap dingin seperti es yang tak kunjung mencair. "Sebenarnya, apa yang ingin kau bicarakan?" Suaranya datar, tanpa emosi, seolah ia hanya ingin segera menyelesaikan percakapan ini.

Dia tidak ingin menghabiskan terlalu banyak waktu bersama Arga. Dia tidak ingin terjebak dalam obrolan panjang yang bisa membuatnya luluh. Tidak, dia masih membenci pria itu. Kebencian yang telah ia simpan bertahun-tahun tidak akan begitu saja menghilang hanya karena satu pertemuan seperti ini.

Arga menghela napas pelan, menyembunyikan sedikit kekecewaannya. Adara tidak menunjukkan sedikit pun tanda ingin berada di sini lebih lama. Ia bisa merasakan tembok tinggi yang masih berdiri kokoh di antara mereka.

Namun, Arga tidak akan menyerah. Tidak kali ini. Tidak setelah akhirnya mendapat kesempatan untuk berbicara langsung dengan putrinya.

Ia akan mencoba mendekati Adara lagi, dengan cara apa pun yang bisa ia lakukan. Ia ingin tahu alasan di balik sikap dingin putrinya. Apa yang membuat Adara terus bersikap seperti ini kepadanya? Apa yang selama ini ia lewatkan sebagai seorang ayah?

"Nak, kau tidak ingat masa kecilmu? Saat Papa menggendongmu hanya untuk makan bersama? Papa tidak mengajak kedua kakakmu karena saat itu Papa hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Kau tidak ingat?"

Arga kembali mencoba membuka percakapan, berharap bisa menarik Adara untuk berbicara lebih lama. Ia ingin waktu mengalir tanpa terburu-buru, tanpa Adara cepat-cepat pergi meninggalkannya.

Namun, Adara hanya membuang muka, jelas menyadari niat pria itu. Ia tahu Arga sedang berusaha mengulur waktu agar bisa bersamanya lebih lama. Tapi, dia tidak akan mudah terjebak dalam nostalgia manis yang sedang Arga ciptakan.

"Ingat," jawab Adara akhirnya, suaranya terdengar datar. Lalu, dengan sengaja, ia menambahkan, "Mama juga tidak diajak, kan?"

Tatapannya tajam saat menyoroti sosok di hadapannya. Jika Arga ingin membahas masa lalu, baiklah. Dia akan mengikuti alurnya, tapi dengan caranya sendiri—dengan kata-kata yang mampu mengguncang ketenangan pria itu. Jika Arga ingin membawanya ke kenangan lama, maka ia juga akan menarik pria itu ke bagian yang paling sulit dihindari. Ia ingin melihat, apakah Arga masih bisa tetap tenang setelah ini?

Arga terdiam begitu saja saat Adara menyeret nama mantan istrinya ke dalam percakapan. Ada jeda sejenak, seolah pikirannya tertarik kembali ke masa lalu yang mungkin lebih baik dibiarkan terkubur.

Bagaimana kabarnya sekarang? Sudah begitu lama sejak terakhir kali ia melihatnya—sejak ia meninggalkannya di pusat rehabilitasi dan memilih menikah dengan Clarissa. Sejak saat itu, ia tak pernah benar-benar mencari tahu keadaannya lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!