Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Cemburu
Aylin terbelalak, buru-buru membuang muka dan mengibaskan tangannya. "Apaan sih! Aku nggak cemburu! Aku cuma… kesal aja karena kamu suka ngomong seenaknya!"
"Uh-huh, yakin?" Akay semakin mendekat dengan tatapan menggoda.
Aylin mundur selangkah, lalu buru-buru mengambil handuk dan menuju kamar mandi. "Aku nggak mau dengar ocehanmu lagi!"
Akay hanya terkekeh puas melihat istrinya yang melarikan diri. "Hati-hati, Ayang, jangan sampai jatuh di kamar mandi karena terlalu cemburu!"
Terdengar suara teriakan Aylin dari dalam kamar mandi. "AKAY, DASAR NYEBELIN!!!"
Begitu masuk ke kamar mandi, Aylin buru-buru menutup pintu dengan kasar. "Huh! Nyebelin banget!" gerutunya, masih kesal dengan Akay.
Namun, saat ia melangkah dengan terburu-buru, kakinya menginjak lantai yang sedikit basah.
Sreeet— BRUK!
"Aduh!" Aylin terpeleset dan jatuh terduduk di lantai kamar mandi. Rasa nyeri langsung menjalar dari pantatnya yang menghantam lantai.
Dari luar, suara tawa Akay langsung terdengar. "Kamu beneran jatuh, Lin?" tanyanya dengan nada penuh tawa.
Aylin yang masih meringis langsung mendelik ke arah pintu, meskipun Akay jelas tidak bisa melihatnya. "Nggak! Aku cuma… uhm… stretching!" serunya cepat, mencoba menyelamatkan harga dirinya.
Akay makin tertawa keras. "Stretching sampai jatuh gitu? Waduh, kasian amat istriku ini."
Aylin menggeram, lalu buru-buru bangkit berdiri. "Udah sana pergi! Aku mau mandi!"
"Jangan lama-lama, nanti aku masuk, lho."
"AKAY, DASAR MESUM!"
Terdengar suara langkah kaki Akay yang menjauh, tapi tawanya masih menggema di luar. Sementara itu, Aylin berdiri di depan cermin, menatap wajahnya sendiri yang merah padam.
"Kenapa sih aku selalu kalah sama dia?!"
***
Aylin keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Matanya langsung tertuju pada Akay yang sedang mengenakan kemeja putih, berbicara santai melalui earphone Bluetooth di telinganya. Rambut pria itu masih setengah basah, meneteskan air di pelipisnya. Sejenak, Aylin hanya diam memerhatikan, sampai pikirannya tersentak oleh sesuatu.
Akay habis mandi.
Di kamar mandi luar.
Bukan di sini.
Aylin mengerjapkan mata. "Jangan bilang dia keluar tanpa baju?!" batinnya.
Mata Aylin membulat. Ia tahu betul bagaimana Akay, pria itu terlalu santai dengan tubuhnya sendiri. Bagaimana jika tadi dia keluar dari kamar mandi dengan dada terbuka dan perut berototnya terpampang jelas? Dan lebih buruknya, bagaimana jika Tumirah melihatnya?
Tiba-tiba saja suasana hatinya memburuk.
Ia mengernyit. "Kenapa aku kesal? Memangnya kenapa kalau Tumirah lihat?"
Namun, bayangan Tumirah dengan mata berbinar menatap dada bidang Akay, atau mungkin malah sengaja mencari alasan untuk mendekat, membuat tangan Aylin mengepal tanpa sadar.
Akay, yang baru selesai mengancingkan kemejanya, akhirnya menyadari tatapan istrinya. Sambil tetap mendengarkan lawan bicaranya di telepon, pria itu melirik Aylin dengan sudut matanya, lalu menaikkan satu alis.
“Ada apa?” tanyanya, suaranya tetap santai meskipun matanya berkilat jail.
Aylin tersadar dari lamunannya. “A—apa?”
“Kamu ngelihatin aku kayak mau ngegigit.” Akay tersenyum miring. “Cemburu, ya?”
Aylin tersentak. “Hah?! Cemburu? Nggak mungkin!”
Akay tertawa kecil, melepas earphone dari telinganya lalu berjalan mendekat, sengaja mempersempit jarak di antara mereka. “Oh, gitu? Berarti kalau tadi aku keluar cuma pakai handuk, kamu nggak masalah, dong?”
“AKAY!!” Aylin langsung mendorong dada suaminya, wajahnya sudah merah padam.
Akay tergelak, tangannya terangkat untuk menangkis pukulan pelan dari istrinya. “Santai, Ayang. Aku nggak separah itu, kok. Aku pakai baju sebelum keluar.”
Aylin mengerjap, lalu menyadari sesuatu. “Tunggu… Jadi kamu sengaja nge-test aku?!”
Akay mencondongkan tubuhnya sedikit, bibirnya melengkung nakal. “Dan kamu lulus dengan nilai sempurna, Istri Manis.”
Aylin benar-benar ingin melempar handuknya ke wajah Akay saat itu juga.
***
Pagi itu, di meja makan keluarga.
Aylin duduk dengan ekspresi datar, menyendok sarapannya tanpa banyak bicara. Namun, ketenangannya terusik oleh suara lembut penuh manja dari seseorang yang belakangan ini selalu membuatnya naik darah.
“Tuan Akay tadi pagi habis mandi di kamar mandi dapur, ya?”
Aylin nyaris tersedak. Apa?!
Ia menoleh dengan cepat, mendapati Tumirah—si asisten rumah tangga yang jelas-jelas lebih sibuk menggoda suaminya daripada bekerja—tersenyum penuh arti ke arah Akay.
“Tadi saya sempat lihat,” lanjut Mira, tatapannya berbinar. “Rambut Tuan Akay masih basah, kelihatan segar banget.” Ia tertawa kecil, lalu menambahkan dengan nada menggoda, “Tapi sayang banget, Tuan pakai bathrobe rapat-rapat. Saya sempat berharap bisa ngintip dikit…”
Sendok di tangan Aylin terhenti.
"Astaga! Perempuan ini keterlaluan! Kegatelan! Dasar janda genit!"
Ia mencengkeram gagang sendoknya lebih erat, menoleh ke arah Akay dengan mata menyipit. "Jangan-jangan dia memang sengaja biar digoda?!"
Sementara itu, Akay yang sedang menyeruput kopinya hanya melirik Tumirah dengan ekspresi santai. “Oh ya?” katanya datar. “Sayang sekali, ya? Mungkin lain kali aku harus pakai jas sekalian habis mandi.”
Aylin melotot. Ingin sekali meneriaki suaminya. "Harusnya bilang ‘jangan ganggu saya’, bukan malah bercanda kayak gitu, Akay!"
Tumirah tertawa genit, mengibaskan tangannya. “Ah, Tuan bisa aja! Tapi serius, Tuan kelihatan keren banget tadi.”
Di saat yang sama, Mbok Inem—ART senior di rumah itu—menyela dengan nada tajam, “Tumirah! Kamu ini kerja atau godain majikan?!”
Mira tersentak, langsung merapatkan bibirnya.
"Kamu mau Tuan Akay keluar dari kamar mandi nggak pakai baju? Bertelanjang dada? Hah? Dasar genit!" gerutu Mbok Inem sambil melotot. "Kalau Tuan sampai masuk angin, siapa yang repot? Mbok juga yang harus bikinin jahe hangat!"
Ia mengibaskan lap di tangannya, menatap penuh teguran. "Udah sana, bersihin dapur! Jangan kayak kucing kelaparan ngejar ikan asin!"
Aylin hampir meledak tertawa mendengar omelan Mbok Inem. Tapi ia buru-buru menyamarkan ekspresinya dengan batuk kecil, sementara Akay hanya terkekeh sambil mengaduk kopinya.
Mira mendengus kesal, tapi tak berani membalas. Dengan wajah cemberut, ia melangkah ke dapur yang menyatu dengan ruang makan, lalu mulai mengelap kompor dengan kasar.
"Huh, pelit banget, sih. Cuma mau cuci mata doang, emangnya kenapa? Lagian kalau Tuan Akay masuk angin, tinggal minum jahe hangat, beres!" gerutunya pelan, memastikan Mbok Inem tak mendengar. "Dasar nenek cerewet!"
Namun, sesaat kemudian, senyum licik terbit di bibirnya. "Kalau sampai masuk angin, aku sih, rela ngerokin. Sekalian mijit juga boleh," gumamnya dengan nada menggoda. Matanya berbinar membayangkan sesuatu. "Tuan Akay itu tubuhnya tegap, dadanya bidang... Hmm, gimana ya, kalau dia nggak pakai baju?"
Otak janda genit bin gatal itu pun mulai traveling, berkelana ke dunia imajinasinya yang penuh fantasi tentang tubuh sang majikan.
Sementara itu, Aylin menyandarkan punggungnya, merasa puas. Tapi di sisi lain, ada hal yang mengganggunya.
Akay sama sekali tidak menanggapi godaan Tumirah dengan serius, bahkan sepertinya tak peduli. Namun entah kenapa, Aylin tetap merasa tidak suka.
Usai sarapan, suasana dapur masih sibuk.
Aylin sedang merapikan piringnya ketika tiba-tiba suara Akay terdengar dari belakangnya.
"Ayang," panggilnya santai, nada suaranya seperti biasa, ringan dan tak terbebani.
Aylin menoleh sekilas, sudah terbiasa dengan panggilan itu, tapi tetap saja ada sesuatu yang menggelitik di hatinya saat Akay mengatakannya di depan orang lain.
Namun, bukan Aylin yang terkejut kali ini—melainkan Mira.
Di sudut dapur, Mira yang sedang mengelap meja langsung membeku. Tangannya yang memegang lap berhenti bergerak, matanya melebar seperti baru melihat hantu.
“A-Ayang?” gumamnya pelan, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Seketika tangannya yang menggenggam lap menegang, hampir meremasnya hingga berkerut.
Mbok Inem yang tengah merapikan rak bumbu menoleh sekilas, lalu menatap Akay dengan ekspresi geli bercampur kagum. "Walah, walah… romantis tenan, Tuan Akay," gumamnya pelan, sambil tersenyum penuh arti.
Akay tak memedulikan reaksi mereka dan langsung melanjutkan, "Hari ini aku ada pekerjaan di luar kota. Kalau belum selesai, kemungkinan aku bakal menginap di sana."
Aylin, yang awalnya santai, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang sedikit mengganggu dalam hatinya.
Menginap? Di luar kota?
...🌟...
...Kebersamaan kita perlahan membawa kehangatan, laksana mentari pagi yang menyinari bumi....
...Kau tak pernah ada dalam rencana masa depanku, namun perlahan menjadi alasan bahagiaku....
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
ada ketidak sukaan yang Akay rasakan..secara terang²an si Jordi suka sm Aylin