Lizda adalah gadis muda yang polos. Bertemu dengan Daniel saat merantau dan terbuai jerat cinta nya hingga memutuskan untuk menikah. Satu per satu masalah mulai muncul. Masalah yang di anggap sepele justru menjadi bencana besar, hingga dirinya memergoki sang suami berselingkuh dengan wanita lain saat hamil.
Lalu Lizda memutuskan untuk bercerai dan menikah lagi.
Apakah semua permasalahan rumah tangga adalah murni kesalahan sang laki-laki atau justru ada kesalahan perempuan yang tidak di sadari? Konflik rumah tangga dari kebanyakan orang ternyata bukan lah bualan semata.
Terima kasih untuk semua support kalian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
Nafasnya berat saat keluar dari rumah itu, seakan hidupnya hancur berkali-kali. Saat ini tidak ada tujuan pulang lainnya selain ke rumah mewah Marco Syailendra. Ayahnya.
"Lizzz..." terdengar seseorang memanggilnya dari dalam rumah. Lizda menghentikan langkahnya, berbalik badan dan melihat ke arah suara itu.
Hendra memanggilnya, terlihat dari kejauhan wajah laki-laki tua yang sudah memiliki banyak kerutan itu muram. Matanya memerah seolah menahan agar air mata itu tidak jatuh.
"Papa akan antar kamu pulang ke rumah orang tuamu dan papa siap menerima makian dari keluargamu. Tapi satu hal yang ingin papa tanyakan. Apakah kamu akan mengajukan gugatan cerai ke Daniel?" langkah Hendra semakin mendekat ke arah Lizda.
"Aku hanya butuh maaf nya, sebetulnya aku tidak ingin anakku merasakan broken home sama sepertiku, Pa. Aku berusaha terus mempertahakankan rumah tanggaku, tapi jika memang suatu saat aku menyerah jangan membenciku." tegas Lizda meskipun air matanya sudah menetes di pipi. Sesak di dadanya sudah tidak tertahan lagi.
"Baiklah, izinkan papa mengantarmu pulang," ungkap Hendra.
Dengan membawa mobil baru Lizda, mereka berangkat menuju kediaman Marco. Perlahan selama perjalanan Hendra menanyakan perihal masalah mereka, tanpa bermaksud ikut campur. Lizda pun menjelaskan semuanya kepada Hendra, tak lupa dia menunjukan bukti yang baru saja dia temukan.
"Papa malu punya anak brengs*k seperti dia!" pekik Hendra.
*
*
Kediaman Marco Syailendra, Brighton Residence
Pagar besi yang sangat tinggi dan terlihat kokoh itu terbuka saat para penjaga mengetahui kedatangan Lizda. Mereka memberikan salam hormat nya begitu Lizda dan Hendra turun dari mobil.
Di sambut dengan bi Inah dan menuntun mereka bertemu dengan Marco yang sedang bersantai di ruang hijau sembari meminum teh nya.
"Kakek..." dengan suara nya yang menggemaskan Aska berlari menuju Marco.
Marco tersenyum menyambut cucu nya yang kini sudah besar, entah mengapa Aska langsung mengenali kakeknya tanpa rasa takut. Namun. saat Marco menoleh ke belakang dia sempat mengerutkan alis dan bertanya-tanya di dalam hatinya.
Lizda mendekat dan menekuk lututnya di hadapan Marco yang sedang memangku Aska. Tangisnya pecah sejadi-jadinya, kepala Lizda bersandar di lutut Marco seraya meminta maaf berkali-kali.
"Silahkan duduk, Pak Hendra." Marco menghiraukan Lizda sesaat untuk mempersilahkan Hendra yang sedari tadi berdiri.
Hendra duduk lalu menjelaskan maksud dari kedatangannya. "Maaf, Pak Marco saya mengganggu waktunya. Lebih daripada itu, saya memohon maaf sebesar-besarnya atas apa yang sedang terjadi di rumah tangga anak kita. Rumah tangga Lizda dan Daniel sedang dilanda masalah yang mana akhirnya Daniel menyuruh Lizda untuk kembali ke rumah ini. Saya bertanggung jawab untuk memulangkan Lizda."
Marco hanya mengangguk mengerti, di usapnya kepala sang anak yang sudah di nantinya pulang sejak lama.
"Jadi, kamu akan bercerai dengan Daniel?" tanya Marco pada Lizda.
Lizda menengadahkan kepala, menatap Marco yang terlihat pucat tidak seperti biasanya. Matanya terlihat sayu seperti sedang sakit. Namun, jawaban Lizda hanya menggelengkan kepala dan memberitahukan tentang kehamilannya.
"Kamu hamil lagi?" teriak Vonny yang ternyata sudah ada di belakang Marco entah sejak kapan.
"Sudah tahu suamimu seperti itu, kamu memilih hamil lagi," kata-kata Vonny selalu menusuk, bahkan tanpa ragu dia mengucapkannya di depan Hendra.
Tak ingin banyak bicara Vonny mengangkat Aska dan mengajaknya bermain di luar, agar mereka bertiga bisa bicara lebih leluasa.
Lizda masih menutup rapat soal perselingkuhan Daniel karena dia masih berusaha mempertahankan pernikahan itu. Selain itu, dia takut papa nya murka lalu membuat Daniel celaka.
Setelah berbincang cukup lama, Hendra pun berpamitan untuk pulang. Lizda di terima kembali di rumah Marco sembari menunggu itikad baik suaminya untuk datang menjemput.
Karena terlihat lelah Marco menyuruh Lizda untuk menjaga kesehatannya.
*
*
Pagi yang sangat cerah, serta harum ruangan rumah yang selama ini tak pernah di ciumnya kembali terasa. Rumah besar nan hangat yang selau menjadi tujuan terakhir Lizda, sehangat dia melihat Aska yang begitu gembira bermain bersama kakeknya di halaman depan. Walau hanya sekedar memberi makan burung-burung peliharaan.
"Kamu betah tinggal di sini?" tanya Marco menatap cucunya yang terlihat sangat senang.
Meskipun usianya belum genap 2 tahun Aska sudah hampir lancar berbicara. "Suka banyak burung."
"Kalau begitu tinggal di sini saja ya, tidak usah pulang ke rumah yang lama," ucap Marco yang di angguki oleh bocah menggemaskan itu.
Lagi-lagi kedatangan Vonny selalu mengagetkan, dia sudah berada di belakang Lizda yang sedang memandang anak dan papanya dari balik pintu.
"Kesehatan papamu sering menurun belakangan ini, jangan lah kamu menambah beban kami. Apa kamu tidak kasihan dengan papamu? Bagaimana jika umurnya tidak lama lagi, adikmu masih sekolah kasihan dia. Jangan selalu ingin di mengerti, Lizda!" terang Vonny dengan nada ketus.
Tak ada tempat lain selain di rumah Marco, tidak mungkin dia tinggal bersama ibu kandungnya yang sudah terbang ke Kalimantan beberapa bulan lalu untuk tinggal bersama suami barunya di sana. Dia tidak ingin rumah tangganya hancur, dia ingin anak-anaknya kelak memiliki keluarga yang utuh. Tapi jalan yang harus di lalui terbilang sulit.
Seminggu berlalu...
Lizda yang akan memasuki mobil yang berada di parkiran showroom nya terlihat sedang menelpon seseorang.
Sari : Besok aku akan mengantarnya datang ke showroom-mu, Liz.
Lizda : Baiklah, sampai bertemu besok sahabatku tercinta.
"Ternyata tidak ada aku hidupmu tetap bahagia ya," ucap Daniel yang tiba-tiba muncul di hadapan Lizda.
"Kakimu sudah sembuh? Cepat sekali, apa karena obat mahal keluargamu?" pekiknya lagi.
Melihat sosok Daniel, badan Lizda seketika lemas. Mulutnya ingin berteriak memanggil security tetapi dia justru mematung menatap suaminya itu. Daniel melangkah semakin mendekat ke Lizda, langkahnya memutar di sekeliling Lizda sambil menatapnya tajam.
"Mau apalagi kamu menemuiku? Belum puas kamu menghajarku habis-habisan," pekik Lizda.
Daniel menyeringai lalu menunjuk perut Lizda dengan jarinya. "Di situ ada anakku! Aku masih berhak melakukan apapun padamu sebelum surat cerai itu ada."
Lizda tak menanggapi dan memilih masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin mobil dengan cepat. Tak lupa dia kunci seluruh pintu mobil. Daniel memukul-mukul kaca mobil Lizda dari luar, dengan sigap Lizda menancapkan gas keluar dari showroom.
"Suruh dia keluar! Jangan biarkan dia masuk lagi ke dalam showroom ini!" teriak Lizda kepada security dari dalam mobil. Dengan melihat dari kaca spion, beberapa security segera menghampiri Daniel dan menyeretnya keluar paksa.
"Bangs*t! Beraninya dia meremehkanku," teriak Daniel. Dia melajukan mobilnya menuju Orlit, tempat kerjanya.