Tomo adalah seorang anak yang penuh dengan imajinasi liar dan semangat tinggi. Setiap hari baginya adalah petualangan yang seru, dari sekadar menjalankan tugas sederhana seperti membeli susu hingga bersaing dalam lomba makan yang konyol bersama teman-temannya di sekolah. Tomo sering kali terjebak dalam situasi yang penuh komedi, namun dari setiap kekacauan yang ia alami, selalu ada pelajaran kehidupan yang berharga. Di sekolah, Tomo bersama teman-temannya seperti Sari, Arif, dan Lina, terlibat dalam berbagai aktivitas yang mengundang tawa. Mulai dari pelajaran matematika yang membosankan hingga pelajaran seni yang penuh warna, mereka selalu berhasil membuat suasana kelas menjadi hidup dengan kekonyolan dan kreativitas yang absurd. Meski sering kali terlihat ceroboh dan kekanak-kanakan, Tomo dan teman-temannya selalu menunjukkan bagaimana persahabatan dan kebahagiaan kecil bisa membuat hidup lebih berwarna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan Ulang Tahun Lina
Persiapan yang Kacau
Pagi itu, suasana sekolah SD Harapan Jaya begitu cerah. Langit biru tanpa awan, dan matahari yang hangat membuat daun-daun di pepohonan tampak berkilauan. Di halaman sekolah, Tomo berlari-lari kecil sambil menutupi mulutnya dengan tangan, seolah-olah dia adalah agen rahasia yang sedang menjalankan misi besar. Di belakangnya, Sari, Arif, dan Doni berusaha mengikutinya dengan langkah yang lebih cepat.
"Ssst, jangan berisik!" Tomo menoleh ke belakang, memandang mereka dengan tatapan penuh kepanikan. "Kita nggak bisa gagal, oke? Kalau Lina tahu kita bikin pesta kejutan, semua usahaku buat sewa topi badut bakal sia-sia!"
Arif berhenti sejenak, napasnya tersengal. "Tunggu… topi badut? Tomo, nggak ada yang sewa topi badut buat pesta kejutan!"
Tomo memutar matanya dengan ekspresi dramatis. "Itu karena kamu nggak ngerti pentingnya estetika! Topi badut itu simbol kebahagiaan, Arif!"
Doni yang lebih pendiam hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Ya, ya, tapi masalahnya, kita baru punya kue kecil dan setengah lilin. Kita beneran butuh topi badut, atau mungkin sesuatu yang lebih penting?"
Sari, yang memegang daftar persiapan pesta, mendesah berat. "Kita harus fokus, guys! Ulang tahun Lina cuma sekali setahun, dan kita harus bikin ini sempurna. Lilin, balon, permen... dan mungkin musik!"
"Musik!" Tomo teriak sedikit lebih keras dari yang dia maksudkan, hingga anak-anak lain di sekitar mereka melihat dengan heran. "Kita butuh DJ! Tapi aku nggak kenal DJ... Arif, kamu kenal DJ?"
Arif menatap Tomo dengan ekspresi bingung. "DJ? Tomo, ini pesta anak SD, bukan konser rave."
"Oh iya, ya," Tomo merenung sebentar, lalu tiba-tiba bersemangat lagi. "Tapi kita tetap bisa pakai speaker, kan? Aku punya playlist keren, cuma… masalahnya, itu sebagian besar soundtrack kartun superhero."
Sari menghela napas, jelas kehabisan ide. "Oke, kita lakukan apa yang bisa kita lakukan. Kalau Lina suka superhero, kenapa nggak? Sekarang fokus dulu, kita punya waktu sedikit sebelum istirahat untuk menyiapkan segalanya di ruang kelas."
Mereka berempat dengan cepat berjalan ke kantin sekolah, tempat mereka akan menyusun rencana lebih lanjut. Sepanjang perjalanan, Tomo terus-menerus berbicara tentang berbagai ide gila yang muncul di kepalanya—mulai dari kembang api mini hingga membungkus kue dengan saus sambal. Setiap ide Tomo, tentu saja, langsung ditolak oleh teman-temannya.
Setelah mencapai kantin, mereka duduk di meja sudut, mengeluarkan peralatan sederhana untuk pesta.
"Kita udah punya balon," kata Sari sambil mengeluarkan satu kantong balon berwarna cerah dari tasnya. "Siapa yang bisa tiup balon?"
Arif mengangkat tangan dengan penuh percaya diri. "Aku! Aku jago tiup balon!" Tapi begitu dia mulai meniup, balon itu tidak mengembang, malah terdengar seperti suara angin bocor. Wajahnya memerah saat dia mencoba lagi, kali ini lebih keras, namun balon itu tetap saja keras kepala.
Tomo tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Arif, kamu lebih mirip peniup peluit daripada peniup balon! Mau aku ajarin?"
Arif mendesah dan menyerahkan balon itu pada Tomo. "Yaudah, coba kamu, Tomo."
Dengan semangat, Tomo mengambil balon itu dan mulai meniup. Tapi setelah beberapa kali tiupan, wajahnya mulai memerah, dan matanya hampir melotot. Balon itu akhirnya mengembang… lalu langsung meletus dengan suara yang cukup keras.
Doni yang sejak tadi diam-diam hanya memperhatikan, akhirnya berkata dengan tenang, "Kita beli balon yang udah ditiup aja, gimana?"
Kekacauan di Kelas
Setelah urusan balon yang gagal, mereka semua kembali ke kelas dengan tergesa-gesa, membawa kue, beberapa balon yang akhirnya berhasil ditiup (oleh ibu kantin, bukan Tomo), dan sejumlah permen.
Ruang kelas tampak lebih terang dari biasanya, dengan jendela besar yang terbuka lebar, membiarkan angin sepoi-sepoi masuk. Di sudut, ada papan tulis besar yang dipenuhi dengan catatan pelajaran matematika yang bahkan Tomo tak bisa mengerti, meskipun ia berusaha keras melihatnya dari segala sudut.
“Kita punya waktu lima belas menit sebelum bel istirahat bunyi,” kata Sari sambil memandang jam tangan birunya yang sudah sedikit rusak. “Ayo kita cepat!”
Tomo dan Arif bergegas menggantungkan balon di sudut-sudut kelas, meski beberapa balon terbang liar ketika tali yang mereka gunakan terlalu longgar. Doni, yang biasanya lebih tenang dan teratur, mencoba membantu dengan menggantungkan poster sederhana yang mereka buat kemarin, bertuliskan "SELAMAT ULANG TAHUN, LINA!" dalam huruf besar yang terlihat sedikit miring.
"Ini harusnya lurus!" Doni mengeluh sambil berusaha memperbaiki poster yang terus terlipat di salah satu ujungnya. “Kalau Lina lihat ini, dia bakal mikir kita nggak niat.”
"Tenang aja, Don! Lina nggak bakal lihat itu pertama kali," jawab Tomo. "Dia bakal langsung lihat kuenya! Oh, ngomong-ngomong, mana lilinnya?"
Sari mengeluarkan setengah lilin ulang tahun yang sudah dipotong dari tasnya. “Ini. Sayangnya cuma satu, dan itu pun patah.”
Tomo melihat lilin itu dengan alis terangkat. "Satu lilin? Ini bukan ulang tahun pertama Lina, kan? Apa kita taruh lilin ini di tengah-tengah kue aja biar nggak kelihatan aneh?"
Arif mengangguk sambil memegang lilin dengan serius. “Aku tahu triknya. Kalau kita tiup dengan keras, siapa yang tahu kalau itu cuma setengah lilin?”
Mereka semua tertawa kecil, meski jelas kegelisahan mulai merayapi mereka. Waktu terus berjalan, dan persiapan mereka jauh dari kata sempurna. Tapi semangat mereka tetap tinggi.
Saat-saat Menegangkan
Beberapa menit sebelum bel istirahat berbunyi, kelas sudah hampir siap. Kue sederhana diletakkan di meja depan, dikelilingi oleh beberapa permen dan balon. Poster yang miring akhirnya terpasang lebih baik, meskipun tetap terlihat sedikit kocak dengan huruf yang bergoyang.
“Semua orang siap?” tanya Tomo, sedikit berkeringat karena berlari ke sana kemari. "Lina nggak bakal tahu apa yang akan datang. Pasti dia kaget!"
“Harusnya kita pakai topi badut beneran tadi…” gumam Arif, masih terlihat sedikit kecewa.
Tiba-tiba, pintu kelas terbuka, dan mereka semua menoleh. Itu bukan Lina, melainkan Pak Budi, guru kelas mereka, yang masuk dengan wajah serius. Dia berhenti di depan kelas, memandang ke arah dekorasi yang kocak dan tidak rapi, lalu menatap anak-anak dengan tatapan yang sulit dibaca.
“Ini... pesta apa?” tanyanya sambil mengerutkan alis.
Tomo yang paling cepat bereaksi. Dia melompat ke depan dengan senyum lebar dan melambaikan tangannya. “Pak Budi, ini pesta kejutan buat Lina! Tapi jangan bilang Lina, ya. Kejutan!”
Pak Budi menatap Tomo dengan tatapan skeptis, lalu melirik ke arah balon yang hampir jatuh dari langit-langit. "Tomo, kamu tahu kan, jam pelajaran belum selesai? Kalian seharusnya belajar, bukan bikin pesta."
Sari yang biasanya tenang langsung maju dengan alasan yang cepat. "Pak, ini sebenarnya juga bagian dari pelajaran… pelajaran tentang... perencanaan dan eksekusi. Kami belajar bagaimana membuat kejutan dengan baik!"
Pak Budi mengangkat sebelah alis, lalu mendesah panjang. "Baiklah, tapi pastikan tidak mengganggu kelas lain. Jangan sampai ada balon yang meledak, mengerti?"
Tomo mengangguk cepat. "Siap, Pak! Kami janji, nggak ada balon meledak lagi… Eh, maksudnya, nggak ada ledakan sama sekali!"
Pak Budi tersenyum tipis dan keluar dari kelas, meninggalkan mereka semua dalam kelegaan besar.
Kejutan yang Hampir Gagal
Bel istirahat akhirnya berbunyi. Mereka semua bersembunyi di balik meja-meja, menunggu Lina masuk. Tomo yang paling bersemangat malah tak bisa berhenti bergerak, membuat balon yang digantungkan di atasnya sedikit bergoyang.
“Tenang, Tomo!” bisik Sari. "Kalau kamu terus bergerak gitu, Lina bakal curiga sebelum masuk."
Tomo mengangguk, mencoba diam, tapi kegembiraannya jelas tak bisa ditahan.
Beberapa detik kemudian, terdengar langkah kaki mendekat ke pintu kelas. Semua orang langsung menahan napas, dan ketika pintu terbuka, Lina masuk dengan wajah bingung. Dia melihat ke sekeliling, lalu berteriak, "Eh? Apa ini?"
"SEKEJUUUUUUUT!" seru Tomo dan teman-teman serempak, melompat keluar dari persembunyian mereka.
Lina terlonjak kaget, tapi kemudian tertawa terbahak-bahak. "Kalian… seriusan bikin ini semua?"
Sari dengan cepat menarik Lina ke depan, menunjuk kue kecil yang di atasnya ada setengah lilin. “Selamat ulang tahun, Lina! Ini mungkin bukan pesta terbesar, tapi kita semua ingin kamu tahu bahwa kita sayang sama kamu.”
Lina menatap mereka semua dengan mata berbinar, terlihat terharu. “Aduh, makasih banyak, semuanya! Aku nggak nyangka kalian bakal bikin ini!”
Tomo, yang berdiri di sebelah kue dengan penuh kebanggaan, berkata, “Tentu aja, Lina! Kita selalu siap bikin kejutan, bahkan kalau itu cuma pakai setengah lilin!”
Semua tertawa, dan meskipun pesta mereka sederhana, suasana hangat dan penuh canda tawa. Balon-balon, kue yang kecil, dan lilin yang tidak sempurna semuanya terlupakan saat mereka menikmati momen kebersamaan itu.
Di akhir hari, mereka semua sepakat bahwa meskipun ada banyak kekacauan, pesta kejutan itu adalah salah satu hari terbaik yang pernah mereka lalui.