Banyak wanita muda yang menghilang secara misterius. Ditambah lagi, sudah tiga mayat ditemukan dengan kondisi mengenaskan.
Selidik punya selidik, ternyata semuanya bermula dari sebuah aplikasi kencan.
Parahnya, aparat penegak hukum menutup mata. Seolah melindungi tersangka.
Bella, detektif yang dimutasi dan pindah tugas ke kota tersebut sebagai kapten, segera menyelidiki kasus tersebut.
Dengan tim baru nya, Bella bertekad akan meringkus pelaku.
Dapatkah Bella dan anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DYD27
Puluhan tahun silam.
"Bellaaaa, main yooook ...!"
Seorang bocah tampan dengan kulit seputih susu, tampak bersandar di dinding sembari mengetuk-ngetuk pintu kayu jati ukir minimalis. Gigi kelinci miliknya berbaris rapi ketika hatinya senang saat pintu sudah dibuka dari dalam.
Anak perempuan yang baru saja membuka pintu, menelisik sang teman dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kedua tangannya menyilang di depan dada, wajahnya sebal luar biasa. Bella rupanya tengah mengajari anak dari sahabat sang ayah yang kurang paham matematika.
"Mau ngapain kamu ke sini, Tom?" Bella menaikan satu alisnya.
"Edwin, panggil aku Edwin. Aku ndak mau di panggil Tommy," tolak Edwin dengan bibir manyun.
Bocah itu memang lebih menyukai nama pemberian dari sang ibu, yakni Edwin. Sedangkan Tommy merupakan nama yang diberikan sang ayah.
"Iyo-iyo ...!" Bella mencebik. Gadis kecil itu terkadang serba salah. Memanggil Tommy, temannya ogah. Memanggil dengan Edwin pun berujung dia akan dimarahi ayah sang teman, Dirham.
"Mau ngapain?" lanjutnya.
Bella melirik mainan karton yang digenggam Edwin. Mainan yang sangat laris di zaman itu, ular tangga. Bola mata bulat hitam pekat itu mengedip-ngedip lucu, ia tampak tertarik dengan benda yang dibawa Edwin.
"Main yuk, bosen aku nungguin Ayah. Makanya aku lari ke sini," balas Edwin penuh harap.
Bocah berparas tampan itu memang kerap melarikan diri dari rumah sakit milik sang kakek, yakni Tommy Mangkujiwo. Dirham memang acap kali menjemput Edwin pulang sekolah dan segera membawa putranya itu ke ruang kerjanya. Namun, Edwin memang tak pernah betah menunggu sang ayah selesai bekerja. Ia selalu memilih kabur ke rumah Bella yang berjarak hanya satu kilometer saja dari rumah sakit.
"Ular tangga lagi, ular tangga lagi. Bosen aku," bocah cantik itu sedang berlagak jual mahal. Padahal, ia juga sudah tak sabar ingin bermain.
"Kamu bosen?" Edwin tampak berpikir. "Gimana kalau kita main ke atas bukit?"
"Halaaah, capek aku. Kita main ular tangga aja," jawab Bella cepat.
Edwin langsung terkekeh dan tersenyum senang. Ia buru-buru mengikuti langkah Bella yang masuk ke dalam rumah. Bola mata Edwin membulat saat melihat anak lelaki sepantarannya tengah mencoret-coret selembar kertas.
"Ngapain kamu, Ram?" tanya Edwin.
"Ya belajar," jawab Abirama cepat.
"Bukan, maksud ku, ngapain kamu bawa kompeng?" Edwin menatap remeh kompeng yang sudah di jadikan kalung oleh sang teman. "Lakik kok ngompeng!"
"Kenapa emang?" Abirama menggenggam erat kompeng bawaannya sejak bayi, yang entah sudah berapa ribu kali dicuci.
"Ntar kalau udah gede, bakalan jadi cowok cumin," ledek Edwin.
"Cemen." Bella membenarkan kalimat yang diucapkan Edwin.
"Halah, ngomong mu aja belepotan!" balas Abirama kesal.
Bella menatap datar keduanya, ia sudah cukup muak melihat adegan yang hampir terjadi setiap keduanya bertemu muka.
Dengan wajah masam, gadis cilik itu meninggalkan keduanya dan menuju ke dapur. Di ambilnya gagang sapu, lalu ia diam sejenak. Dalam diam, ia menguping perdebatan yang tak ada habisnya.
Dengan langkah lebar dan wajah gusar, ia kembali menuju ruang tengah dan menatap nyalang keduanya. "JADI MAIN ORAAAA?!"
Abirama mengerjap, Edwin mematung, keduanya serentak mengangguk dengan wajah pucat.
.
.
.
Lima jam kemudian.
Bella menyodorkan sepiring es potong kepada Edwin yang tengah asyik mengunyah kacang pilus favoritnya.
Kedua sudut bibir Edwin mengembang sempurna. Tangannya secepat kilat, menyambar dua potong es berwarna-warni tersebut. Satu potong es, ia buka kantongnya dan disodorkannya pada Bella.
Bella meletakkan piring es di atas meja dan lekas menyambar sepotong es siap makan yang diberikan Edwin. Gadis berkuncir dua itu duduk di sisi Edwin sambil melahap es dengan nikmat. Sedangkan Edwin, bola matanya fokus memperhatikan bibir mungil Bella sembari meneguk ludah.
"Enak yo, Bell," ucap Edwin.
"Yo enak, buatan Ayah ku," balas Bella santai.
"Bukan es, tapi, ituuuuu ...." Bibir Edwin mengerucut seolah menunjuk bibir Bella.
"Oalah, guanjeeen!" Bella melesakkan es potong bekas nya ke dalam mulut Edwin. "Pipiss mu aja belum lurus!"
Edwin mengulum es dalam mulutnya dengan wajah mesem-mesem. Sesekali bola matanya melirik wajah ketus Bella. Bibir bocah itu mulai tersenyum usil.
"Aku suka kamu, Bell ...," ucap Edwin dengan raut serius. Lagaknya sudah seperti pria dewasa.
"Aku ndak suka cowok pendek, wlee!" Bella menjulurkan lidahnya.
Edwin terkekeh-kekeh, "lihat saja ... nanti aku akan jauh lebih tinggi dari kamu ...."
"Ngimpi tokkk!" sahut Bella cepat.
Edwin kembali tertawa, rautnya amat ceria. Namun, sedetik kemudian, keceriaan itu hilang dari wajah polosnya ketika melihat sang ayah sudah tiba di halaman rumah Bella.
"Aku pulang dulu ya, Bell," pamit Edwin buru-buru. Ia tak mau sang ayah menghampiri temannya hanya untuk sekedar melampiaskan amarah.
"Mainan mu, Ed ... Tom ...!" Nyaris Bella salah menyebutkan nama panggilan Edwin jika sedang berhadapan dengan Dirham.
"Simpan aja, nanti kan aku balik lagi ...," sahut Edwin dari kejauhan, tanpa tau bahwa hari itu merupakan hari terakhirnya ia berkunjung ke rumah Bella.
Gadis cilik jelita itu menatap punggung Edwin yang nyaris hilang dilahap senja, wajahnya tampak murung. Sepeninggalan Edwin, ia kembali tinggal sendirian karena Abirama juga sudah di jemput kedua orang tuanya lebih awal.
Bella menatap jam yang berdenting di dinding, sudah pukul 6 sore. Jika tidak lembur, sang ayah akan pulang bekerja dua jam lagi. Gadis yang sudah lama piatu itu mulai menyalakan segala pendar di dalam rumah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Besok, kamu dan ibumu akan pindah ke ibu kota." Ucap Dirham pada Edwin sembari melahap potongan steak di atas pinggan antik.
"Tapi, Yah---"
Dirham mengangkat sebelah tangannya, protes sang anak pun jadi tertunda.
"Kamu kira, Ayah mengatakan ini untuk mendengar bantahan serta penolakan mu, Tom? Ini perintah! Titah yang harus kau laksanakan!" Lengkingan Dirham membuat kepala sang putra tertunduk.
"Ayah akan mendaftarkan mu ke sekolah terbaik! Di sana kau akan bergaul bersama orang-orang yang derajatnya setara dengan keluarga kita. Tidak seperti di sini, teman-teman mu itu tidak bermutu, alias tidak berkualitas!" hardiknya lagi.
"Bella juara satu di kelasnya, Yah!" geram Edwin.
BUGH!
Botol lada berbahan kaca di atas meja melesat dan menghantam kening Edwin, darah segar pun sontak mengalir.
"Berani kau melawan ku?!" Bola mata Dirham mendelik, amat mengerikan.
"Maaaas! Tidak perlu pakai kekerasan!" sentak Ratih yang tak terima putra satu-satunya diperlakukan seperti itu.
"Kenapa? Ingin membela lagi? Tidak terima? Kalau tidak terima, harusnya kamu yang becus didik anak!" Dirham menggebrak meja seraya melayangkan tatapan sinis.
Setelah berkata demikian, Dirham beranjak dari kursinya lalu melangkah menuju lemari di sudut ruangan. Pria itu masuk ke dalam lemari, tentunya bukan sembarang lemari. Lemari tersebut merupakan akses untuk menuju ruang kerjanya yang berada di bawah tanah.
Sepeninggalan Dirham, Ratih lekas mengobati kening sang putra yang terluka. Sedangkan Edwin, bola matanya terus-terusan menatap ke arah lemari tempat ayahnya masuk dan menghilang.
Ratih yang mengamati sang putra, mengelus lembut pucuk kepala Edwin. "Jangan masuk ke sana ya, Ayah tidak suka. Nanti Ayah bisa marah, kamu tidak mau kan kalau Ayah sampai marah?"
Edwin mengalihkan pandangannya pada Ratih, menatap manik sang ibu yang begitu indah. "Ibu pernah masuk ke dalam sana?"
Ratih menggeleng jujur. "Ayah mu melarang, dia tidak suka orang lain mengusik ruang kerjanya."
Edwin manggut-manggut seraya menahan senyuman jahil. Jika memang ia terpaksa harus pindah oleh titah sang ayah, setidaknya ia akan meninggalkan jejak cinta di ruang kerja ayahnya.
Benar saja, setelah ditinggal tidur oleh Ratih, anak jahil itu kini sudah berdiri di depan ruang kerja Dirham. Ia menguping di balik pintu berwarna hitam pekat. Hati-hati ia mengintip dari sebalik kaca transparan di ruangan tersebut.
Sedetik kemudian, tubuh anak kecil itu membeku. Kedua tangan mungilnya melesat cepat membekap mulutnya yang menganga lebar. Nyaris saja ia berteriak.
Di dalam sana, Dirham Mangkujiwo tengah memindahkan jantung seseorang ke dalam wadah.
'A-ayah, apa yang sedang dilakukan ayah?'
*
*
*
Tok Tok Tok! Jangan lupa ketok-ketok permintaan updatenya 🤸🤸🤸
semangat Thor! 👍
Amit-amit banget ma lakik modelan seperti dia, udah kebanyakan teori, eh sekarang mau mendapatkan Bella dengan cara kotor🤢
Bisa-bisanya oon bener🤣