Gracella Eirene, gadis pendiam yang lebih suka bersembunyi di dunia imajinasi, Ia sering berfantasi tentang kehidupan baru, tentang cinta dan persahabatan yang tak pernah ia rasakan. Suatu hari, ia terpesona oleh novel berjudul 'Perjalanan cinta Laura si gadis polos', khususnya setelah menemukan tokoh bernama Gracella Eirene Valdore. Namun, tanpa ia sadari, sebuah kecelakaan mengubah hidupnya selamanya. Ia terbangun dalam dunia novel tersebut, di mana mimpinya untuk bertransmigrasi menjadi kenyataan.
Di dunia baru ini, Gracella Eirene Valdore bertemu dengan Genta, saudara kembarnya yang merupakan tokoh antagonis utama dalam cerita. Genta adalah musuh tokoh utama, penjahat yang ditakdirkan untuk berakhir tragis. Gracella menyadari bahwa ia telah mengambil alih tubuh Grace Valdore, gadis yang ditakdirkan untuk mengalami nasib yang mengerikan.
- Bisakah Gracella Eirene Valdore mengubah takdirnya dan menghindari nasib tragis yang menanti Grace Valdore?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afizah C_Rmd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 27
"Lo kejam, dia adik lo! Harusnya lo gak boleh melempar bola dengan sengaja ke arah Laura. Lo harus bertanggung jawab atas perbuatan lo!" Dewa berteriak lagi, lalu berbalik dan berlari mengikuti Shankara yang membawa Laura ke rumah sakit.
Rasya, menghampiri Grace dengan wajah khawatir. "Grace, lo gak papakan?"
Nara, sahabat Grace memeluk Grace erat. "Iya, Grace lo tenang aja. Gue percaya sama lo, gue yakin lo pasti gak sengaja." Nara berusaha menenangkan Grace, suaranya lembut.
"Grace, gue akan selalu ada di samping lo. Lo gak perlu khawatir," lanjutnya.
Rene, masih mengendalikan tubuh Grace, menunduk, berusaha mengendalikan emosi yang bergelora. Ini semua baginya tak seberapa. Tujuannya hanya satu: mengubah takdirnya dan membalaskan dendam dari kehidupan sebelumnya. Itulah satu-satunya yang ia inginkan.
“Rene, kamu tidak apa-apa?” Suara Grace memecah lamunan Rene.
“Aku… tidak apa-apa,” jawab Rene lirih, suaranya terdengar oleh Nara dan Rasya.
“Benar, kamu tidak apa-apa, Grace. Tenang saja, kami yakin kamu pasti tidak sengaja,” ujar Nara, suaranya lembut, menenangkan.
Rene mengangkat kepala, memiringkan sedikit, sebuah pertanyaan muncul di bibirnya, “Bagaimana jika aku memang sengaja?”
Nara tersenyum kecil, “Kalau kamu sengaja pun, aku percaya kok. Aku mengenalmu bukan hanya sebentar, tapi sejak kecil. Sengaja atau tidak, aku yakin pasti ada alasannya. Jadi, tenang saja.”
Rasya menambahkan, suaranya tenang dan penuh pengertian, “Meskipun kita baru kenal, aku punya firasat bahwa apapun yang kamu lakukan pasti ada alasannya, dan aku yakin itu bukan untuk hal yang jahat.”
‘Kok, aku merasa Rasya ini familiar ya? Sikapnya mengingatkan aku pada temanku Rasya di kehidupan sebelumnya,’ batin Grace dalam pikiran Rene.
Rene, mendengar pikiran Grace, terdiam sejenak, mencoba menebak sesuatu, tetapi memilih untuk diam. Belum saatnya untuk mengatakan sesuatu yang belum pasti.
“Rasya, terima kasih sudah percaya padaku,” ucap Rene tulus.
“Sama-sama, itu tugasku sebagai teman,” jawab Rasya.
"Perhatian, semuanya! Karena insiden yang terjadi tadi, baik disengaja maupun tidak, Grace dikeluarkan dari tim dan mendapat nilai nol untuk pertandingan kali ini. Keputusan ini sudah final. Sisa anggota tim, silakan lanjutkan permainan!" Suara Pak Joshua bergema, tegas dan tanpa ruang tawar menawar.
Ia melirik sekilas ke arah Grace yang berdiri di bawah rindangnya pohon mangga di pinggir lapangan, sebelum kembali fokus pada pertandingan yang tertunda. Bisikan-bisikan kecewa dan bercampur simpati masih memenuhi udara.
Nara dan Rasya, yang berdiri di samping Grace, saling bertukar pandang. Kejutan bercampur amarah memenuhi wajah mereka. Bukan hanya Grace yang diperlakukan tidak adil, tetapi mereka juga merasa keputusan Pak Joshua terlalu gegabah dan tidak bijaksana. Mereka telah menyaksikan sendiri bagaimana Grace tidak mengendalikan tubuhnya saat itu.
"Kita gak bisa biarin ini begitu aja," bisik Nara, suaranya bergetar menahan amarah. "Kita harus melakukan sesuatu."
Rasya mengangguk setuju. "Aku setuju. Kita mundur dari pertandingan ini."
Tanpa ragu, Nara dan Rasya berjalan menuju Pak Joshua. Mereka menjelaskan keputusan mereka dengan tenang namun tegas. Kekecewaan mereka terhadap keputusan Pak Joshua yang terkesan terburu-buru dan tidak mempertimbangkan fakta yang ada, jelas terpancar dari raut wajah mereka.
Mereka juga menjelaskan bahwa mereka tidak rela bermain tanpa Grace, sahabat mereka yang telah diperlakukan tidak adil.
Kejutan terlihat jelas di wajah Pak Joshua. Ia tidak menyangka Nara dan Rasya akan mengambil tindakan seperti itu. Namun, setelah beberapa saat berpikir, ia mengangguk setuju. Ia mengerti bahwa semangat tim telah runtuh dan memaksa mereka untuk melanjutkan pertandingan hanya akan sia-sia.
"Baiklah," kata Pak Joshua, suaranya terdengar sedikit lebih lunak. "Jika kalian berdua dan anggota tim lainnya memilih untuk mengundurkan diri, aku izinkan. Tim selanjutnya, siap-siap!"
Keputusan Nara dan Rasya disambut dengan berbagai reaksi. Beberapa siswa berbisik kagum atas keberanian mereka, sementara yang lain tampak ragu dan kecewa. Namun, keputusan mereka telah dibuat.
Mereka berdiri teguh di samping Grace, menunjukkan solidaritas dan persahabatan yang kuat. Grace, yang semula merasa terpuruk, kini merasa sedikit lebih tenang. Ia dikelilingi oleh teman-teman yang setia dan mendukungnya.
Grace menerimanya, menenggak air dingin itu perlahan. Ia merasakan kesejukan air itu menenangkan sedikit rasa panas di dadanya. Ia melirik ke arah lapangan, melihat pertandingan berlanjut tanpa dirinya. Rasa sesal semakin menghimpit hatinya.
Disisi lain, Alzar sedari tadi memperhatikan Grace tersenyum miring tanpa di sadari siapapun. Dia merasa ini sangat menarik, menantikan hal selanjutnya yang akan terjadi. Merasa sudah waktunya, ia menghampiri Grace yang mana menjadi pusat perhatian para penonton kembali dan bergosip apa hubungan Alzar dan Grace.
Alzar melangkah mendekati Grace, langkahnya tenang, tapi cukup keras untuk menarik perhatian. Bisikan-bisikan siswa semakin ramai.
Alzar berhenti di dekat Grace. Ia tak perlu banyak kata.
"Kau tidak apa apa kan Grace?," ujar Alzar tersenyum manis, suaranya rendah dan lembut tapi terdengar jelas di tengah hiruk-pikuk.
Grace tersenyum tipis, ia baik baik saja hanya tidak tau harus bersikap bagaimana, jadi ia bersikap tenang seolah olah tidak ada yang terjadi "It's okey gue baik"
"Kau terlihat tenang sekali," Alzar melanjutkan, tatapannya mengamati ekspresi Grace dengan saksama.
Ia melihat sedikit ketegangan di balik ketenangan itu, sebuah kedalaman emosi yang hanya bisa ia tangkap. "Padahal, semua orang di sini sedang membicarakanmu." Senyum ramahnya yang terkenal itu mengembang sedikit, menambah daya tariknya yang sudah dikenal seantero sekolah.
Grace tersenyum kecut. "Membicarakan? Lebih tepatnya bergosip, Alzar." Ia melirik ke arah kerumunan siswa yang masih berbisik-bisik, tatapannya datar, tanpa emosi. "Aku sudah terbiasa."
Nara dan Rasya, yang berdiri di samping Grace, saling bertukar pandang, terkejut—tapi kali ini lebih karena ketampanan Alzar yang mendekati mereka. Alzar, kapten tim basket yang terkenal karena ketampanan, tubuh atletis, dan senyum ramahnya yang menawan, sedang berada di dekat mereka.
Bisikan-bisikan di sekitar mereka seakan berhenti sejenak, semua mata tertuju pada Alzar. Seorang siswa bahkan berbisik, "Wah, Alzar deketin Grace? Ada apa ini? Ganteng banget sih Alzar!"
Alzar mengangguk pelan, mengerti maksud Grace. "Tapi, aku tidak suka melihatmu seperti ini. Diperlakukan tidak adil." Senyumnya sedikit memudar, diganti dengan ekspresi yang lebih serius.
"Ini bukan pertama kalinya," Grace berkata, suaranya pelan, hampir tak terdengar. Ia menghela napas panjang, mencoba untuk meredakan ketegangan yang mulai terasa. "Aku sudah terbiasa dengan ketidakadilan."
Rasya berbisik pelan kepada Nara, "Gak nyangka Alzar bakal ikut campur. Mereka… dekat, ya? Dan ganteng banget, sumpah!" Nara hanya mengangguk setuju, matanya masih terpaku pada Alzar dan Grace.
"Tapi, aku tidak," Alzar menatap Grace dengan intens, senyum ramahnya kembali mengembang, tapi kali ini lebih lembut, lebih tulus. "Aku tidak suka melihat ketidakadilan, terutama jika itu menimpa seseorang yang kukenal." Ia mengulurkan tangannya, menawarkan bantuan tanpa kata-kata.
Grace menatap tangan Alzar sejenak, kemudian meraihnya. Sentuhan Alzar terasa hangat dan menenangkan. "Terima kasih, Alzar," bisiknya.