John Roki, Seorang siswa SMA yang dingin, Cerdas, dan suka memecahkan misteri menjadi logis (Bisa diterima otak)
Kehidupan SMA nya diawali dengan kode rahasia yang tanpa disadari, membawanya ke misteri yang lebih mengancam. Misteri apa itu? kok bisa makin besar? Selengkapnya dalam cerita berikut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoro Z, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Game 27. Belajar atau Bersenang-Senang
Rumah Roki hari itu terasa lebih hidup daripada biasanya. Hana, Rose, Mia, dan Marlina sudah berkumpul untuk belajar kelompok menjelang ujian semester. Tapi seperti yang sering terjadi, fokus mereka perlahan-lahan berubah dari belajar ke kegiatan lain. Meski Roki yang menginisiasi kelompok belajar ini, dia sendiri terlihat lebih tertarik pada ponselnya daripada pada buku-buku yang berserakan di meja.
“Kita datang ke sini buat belajar, bukan buat main,” Marlina mengingatkan, nada serius di suaranya tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya terhadap ujian yang semakin dekat.
Hana menguap dan meregangkan tubuhnya. “Aku butuh istirahat sedikit. Otakku terlalu penuh. Satu bab lagi dan aku mungkin meledak.”
Rose menatap Marlina, tersenyum tenang seperti biasa. "Santai, Marlina. Kita bisa belajar sedikit-sedikit, tapi jangan lupa bersenang-senang juga. Lagipula, kapan lagi kita bisa berkumpul di rumah Roki seperti ini?"
Mia, yang duduk di samping Roki, mengangguk pelan. "Rose benar, mungkin kita bisa rehat sebentar. Kalau kita terlalu tegang, malah enggak ada yang masuk ke otak."
Roki yang sedari tadi asyik dengan ponselnya akhirnya menurunkan ponsel dan menatap mereka semua. “Kalau kalian mau istirahat, terserah. Tapi jangan salahkan aku kalau nilainya jeblok nanti.” Ucapannya datar, tapi ada senyuman samar di bibirnya.
Hana tertawa kecil. "Aku rasa kita perlu menemukan cara yang lebih menarik buat belajar. Gimana kalau kita adain kuis kecil?"
Marlina yang awalnya ragu, akhirnya menyerah pada arus suasana santai itu. "Baiklah, mungkin kuis kecil bisa membantu."
Mereka mulai membagi tugas, Roki dan Mia berpasangan, sementara Hana dan Marlina saling melawan. Rose, yang tiba-tiba merasa dirinya 'wasit', menjadi moderator kuis. Mereka bertanya-tanya soal pelajaran yang akan diuji, dan meski sesekali terdengar tawa dan ejekan saat ada yang menjawab salah, mereka tetap mencoba mempelajari setiap soal dengan serius.
“Pertanyaan selanjutnya,” kata Rose dengan nada teatrikal, “Apa rumus integral parsial?”
Hana yang dikenal pintar matematika segera menjawab, “∫u dv \= uv − ∫v du!”
Rose tersenyum puas, tapi tiba-tiba Roki menimpali. “Itu benar, tapi kau lupa menjelaskan kondisinya. Jadi secara teknis, aku anggap salah.”
Hana memutar matanya, dan Marlina tertawa kecil. “Kau benar-benar pelit, Roki,” canda Marlina, senyum tipis muncul di bibirnya.
Sementara mereka semua tertawa dan bersantai, Mia memperhatikan Roki dari sudut matanya. Ini pertama kalinya dia melihat Roki tersenyum sedikit lebih lepas, meski hanya sekilas. Biasanya, Roki selalu tampak serius atau acuh tak acuh. Tapi di saat-saat seperti ini, dia tampak lebih bisa dinikmati sebagai teman.
Namun, saat suasana kembali tenang, Marlina tak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Dia menatap Roki, matanya sedikit menyipit. “Roki, apa kau nggak merasa sedikit aneh? Kita di sini belajar, tapi kau lebih banyak main ponsel. Kau bahkan hampir nggak ikut kuis tadi.”
Roki menoleh ke arah Marlina, masih dengan ekspresi malasnya. “Aku sudah paham materi ini. Kalian yang butuh belajar, bukan aku.”
“Tapi tetap saja!” protes Marlina. “Kau harus membantu kami. Kalau tidak, percuma kita ke sini.”
“Tenang, Marlina. Aku cuma bercanda.” Roki akhirnya bangkit dari tempat duduknya, memasukkan ponselnya ke saku, dan duduk di meja belajar. “Oke, sekarang kita serius. Siapa yang mau bertanya dulu?”
Waktu berlalu dengan cepat saat mereka melanjutkan sesi belajar mereka. Meski banyak diselingi candaan dan ejekan, mereka semua tetap berusaha fokus. Beberapa jam kemudian, akhirnya semua materi berhasil diselesaikan, meski tidak sempurna.
Hana memandang jam di dinding. “Sudah jam setengah delapan malam. Kita sudah lama sekali di sini. Gimana kalau kita bikin makan malam?”
Semua orang tampak setuju, kecuali Roki yang tampak sedikit ragu. “Kalian tahu, aku nggak punya banyak bahan makanan di sini,” katanya pelan.
Marlina mengerutkan dahi. “Kau nggak makan dengan benar? Itu nggak sehat, Roki.”
Rose, yang biasanya tenang, kali ini tertawa. “Yah, kita bisa improvisasi. Lagipula, nggak ada yang salah dengan makan camilan untuk makan malam.”
Akhirnya, mereka semua menuju dapur dan mulai memeriksa apa yang ada. Seperti yang dikatakan Roki, persediaan bahan makanan di apartemennya memang sangat terbatas. Mereka hanya menemukan mie instan, telur, beberapa sayuran yang hampir layu, dan sedikit nasi sisa.
“Baiklah, ini tantangan baru,” kata Hana sambil mengelus dagunya. “Kita harus membuat makan malam yang layak dari bahan-bahan ini.”
Mereka akhirnya memutuskan untuk membuat nasi goreng sederhana dan beberapa mie instan. Hana dan Rose bertanggung jawab memasak, sementara Marlina dan Mia membantu menyiapkan bahan-bahan. Roki, seperti biasa, hanya duduk di sudut dan menonton mereka bekerja.
Saat makan malam akhirnya siap, mereka semua duduk bersama di ruang tamu. Meskipun makanannya sederhana, suasana hangat di antara mereka membuatnya terasa lebih istimewa.
Mia, yang duduk di samping Roki, akhirnya memberanikan diri untuk bertanya sesuatu yang sudah lama dia pikirkan. “Roki, kenapa kamu selalu terlihat tidak peduli? Padahal aku tahu kamu sebenarnya peduli sama kita semua.”
Roki menoleh pelan ke arah Mia, lalu tersenyum tipis. “Karena itu lebih mudah. Kalau aku terlalu banyak terlibat, nanti kalian semua malah berharap terlalu banyak dariku.”
Marlina yang duduk di seberang mereka hanya menggelengkan kepala. “Kau memang aneh, Roki. Tapi setidaknya, kau nggak berubah.”
Setelah makan malam selesai, mereka mulai membereskan meja dan mencuci piring. Meski terasa lelah setelah hari yang panjang, suasana tetap ceria. Rose, yang biasanya pendiam dan tenang, bahkan mulai bercerita tentang masa kecilnya, membuat yang lain tertawa.
Namun, di tengah suasana hangat itu, Marlina merasa ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Dia memandang Roki yang duduk di sofa, terlihat tenang dan santai. Ada sesuatu tentang Roki yang masih misterius bagi dirinya, sesuatu yang belum sepenuhnya dia pahami.
Setelah semuanya beres, mereka pun mulai bersiap-siap untuk pulang. Hana dan Mia memutuskan untuk pergi bersama, sementara Marlina dan Rose menunggu sebentar di depan pintu. Sebelum keluar, Marlina mendekati Roki, mencoba menatap matanya.
“Roki,” katanya pelan. “Terima kasih sudah mengizinkan kami belajar di sini. Tapi kau tahu kan, kami bukan hanya belajar. Kami ke sini karena kami peduli padamu.”
Roki menatapnya sejenak sebelum mengangguk pelan. “Aku tahu, Marlina. Terima kasih.”
Dan dengan itu, Marlina tersenyum kecil sebelum akhirnya keluar bersama Rose.
Saat pintu tertutup, Roki duduk kembali di sofa, menatap langit-langit apartemennya. Meski lelah, dia merasa sedikit lebih ringan. Kehadiran mereka, meski kadang membuatnya merasa terganggu, juga memberinya sedikit ketenangan yang selama ini sulit dia dapatkan.
Dia memejamkan matanya, membiarkan pikiran-pikirannya mengalir begitu saja. Ini memang bukan hari yang sempurna, tapi dia tahu ada sesuatu yang berubah. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa tidak sendiri.
Tak lama setelah itu, suara telepon terdengar dari ponsel Roki, Roki langsung mengangkatnya dan yang menelpon ternyata adalah Sui.
“Halo, gimana belajar kelompoknya?” Tanya Sui didalam telpon.
Roki kembali berjalan keluar dari apartemennya, menikmati udara malam di balkon. “Begitu lah, gimana perkembangan di sana?” Tanya Roki dengan nada sedikit serius.
“Seharusnya kau bertanya saja kepada Kevin,” setelah ngomong seperti itu, terdengar ponselnya terlah beralih tengaan. “Halo Roki!” Suaranya menjadi suara Kevin.
“Gimana perkembangannya?” Tanpa berbasa-basi, Roki langsung bertanya ke intinya lagi.
Kevin terdengar tertawa kecil baru ngomong. “Masalah gawat ini mah, kalo kau ada kau pasti ... ”