Air mata terus mengalir dari sepasang bola mata abu-abu yang redup itu. Di dalam kamar sempit yang terasa semakin menyesakkan, Aria meringkuk, meratapi nasib yang menjeratnya dalam belenggu takdir yang tak pernah diinginkannya. Aria, gadis polos nan culun, begitu pendiam dan penurut. Orang tuanya memaksanya untuk menikah dengan anak dari bos ayahnya, sebagai jalan keluar dari kejahatan sang ayah yang telah menggelapkan uang perusahaan. Aria tidak berani menolak, tidak berani melawan. Ia hanya bisa mengangguk, menerima nasib pahit yang seolah tak ada ujungnya.
Tanpa pernah ia duga, calon suaminya adalah Bagastya Adimanta Pratama, lelaki yang namanya selalu dibicarakan di sekolah. Bagastya, si ketua geng motor paling ditakuti se-Jakarta, pemimpin SSH yang tak kenal ampun. Wajahnya tampan, sorot matanya dingin, auranya menakutkan. Dan kini, lelaki yang dikenal kejam dan berbahaya itu akan menjadi suami dari seorang gadis culun sepertinya. Perbedaan mereka bagaikan langit dan bumi—mustahi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laura Putri Lestari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertanyaan Aria
Malam ini pensi telah usai, tetapi sisa-sisa euforia masih terasa di sudut-sudut sekolah. Para siswa sudah mulai berangsur pulang, namun Aria masih terpaku di depan cermin di ruang rias. Dress putih yang ia kenakan masih tampak sempurna, dan make-up ala Korea yang dirias oleh mama Vernon masih bertahan, meski sedikit luntur oleh keringat. Namun, yang terpenting adalah kenyataan bahwa malam ini, Aria menjadi pusat perhatian banyak orang, termasuk Bagastya.
Aria memandangi bayangannya di cermin, bertanya-tanya apakah Bagastya melihat kecantikannya malam ini. Sejak pernikahan mereka, Aria selalu merasa Bagastya tidak pernah benar-benar memperhatikannya. Meskipun mereka sudah menikah, hati Bagastya masih terikat pada Vanessa, dan itu membuat Aria merasa kecil dan tidak berharga.
Suara langkah kaki yang familiar terdengar mendekat, dan Aria menoleh. Bagastya berdiri di pintu, menatapnya dengan tatapan datar yang sulit diartikan. Aria merasakan dadanya berdebar kencang, tetapi dia berusaha tersenyum, meskipun senyuman itu terasa hambar di bibirnya.
"Kita pulang sekarang?" tanya Aria dengan suara pelan, berharap bisa menghindari konfrontasi. Yup, benar mereka akan pulang bareng di saat di saat semua orang sudah pulang ke rumah masing-masing termaksut Vernon dan Vanessa.
Bagastya hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Sikapnya yang dingin dan datar membuat Aria merasa semakin jauh darinya. Mereka keluar dari ruang rias dan berjalan menuju tempat parkir tanpa banyak bicara. Keheningan yang menggantung di antara mereka terasa begitu berat dan menyesakkan.
Sesampainya di tempat parkir, Bagastya mengeluarkan helm dari bagasi motornya dan menyerahkannya kepada Aria. Tanpa berkata-kata, Aria mengambil helm itu dan mengenakannya. Seperti Biasa jika Aria tidak mamakai celana maka Bagastya akan menggendong gadis itu. setelah mendudukkan Aria di jok belakang, Bagastya kemudian menaiki motornya. dan terlihat Aria duduk di belakangnya dengan perasaan tidak nyaman yang tak bisa ia jelaskan.
Perjalanan pulang malam itu dipenuhi oleh keheningan yang menegangkan. Aria ingin sekali berbicara dengan Bagastya, ingin tahu apa yang ia pikirkan tentang penampilannya malam ini, tentang dirinya. Namun, setiap kali Aria hendak membuka mulut, ada sesuatu yang menahannya. Dia tidak ingin mendengar jawaban yang mungkin akan semakin melukai hatinya.
Sesampainya di apartemen, Bagastya memarkir motor dan segera berjalan menuju lift, meninggalkan Aria di belakang. Aria mengejar dengan cepat, mencoba menyamai langkahnya. Mereka naik ke lantai apartemen mereka dalam keheningan yang semakin mencekam.
Setelah sampai di dalam apartemen, Bagastya melepaskan jaketnya dan melemparkannya ke sofa tanpa berkata apa-apa. Aria merasa hatinya semakin hancur melihat sikapnya yang seolah-olah mengabaikan keberadaannya. Dia berdiri di tengah ruangan, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
"Bagas," panggil Aria dengan suara bergetar, "kamu nggak mau ngomong sama aku?"
Bagastya berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Aria. Tatapannya dingin, bahkan lebih dingin dari sebelumnya. "Ngomong apaan?"
Aria merasa seolah-olah tenggorokannya tercekik. "Tentang tadi... penampilan kita di pensi... atau apapun. Aku cuma pengen tahu apa yang kamu pikirkan."
Bagastya menghela napas panjang, seolah merasa kesal. "Aria, kan udah gua omongin tentang penampilan lo tadi. Lo mau tahu apa lagi? Lo udah tampil dengan bagus, lo dapet juara, apa lagi yang mau diomongin?"
Nada suaranya membuat Aria semakin merasa tidak nyaman. "Aku... aku cuma mau tahu... apa kamu melihat aku? Apa kamu pikir aku cantik malam ini?"
Pertanyaan itu membuat Bagastya terdiam. Untuk sesaat, dia hanya memandang Aria tanpa berkata apa-apa. Lalu, dengan nada yang dingin dan tanpa perasaan, dia berkata, "Cantik atau nggak, itu nggak ada hubungannya sama gue, Aria. Lo udah menikah sama gue, tapi lo tau gue nggak cinta sama lo. Jadi, jangan berharap terlalu banyak."
Kata-kata itu menusuk hati Aria seperti pisau. Air mata mulai menggenang di matanya, tetapi dia menahannya agar tidak jatuh. "Tapi, Bagas... kita ini sudah menikah. Apa kamu nggak pernah sekalipun mencoba untuk melihat aku sebagai istrimu, bukan cuma seseorang yang terjebak dalam perjodohan?"
Bagastya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aria, gue nggak pernah minta perjodohan ini. Gue terpaksa melakukannya karena keadaan. Tapi lo, lo tahu gue masih cinta sama Vanessa, dan perasaan gue nggak akan berubah."
Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya mengalir di pipi Aria. "Aku tahu, Bagas... aku tahu. Tapi nggak bisakah kita mencoba untuk membuat ini berhasil? Aku... aku cuma ingin dicintai."
Bagastya mendekatinya, menghapus air matanya dengan kasar. "Aria, lo nggak harus menyiksa diri lo sendiri dengan berharap gue bakal berubah. Gue nggak akan pernah bisa mencintai lo seperti yang lo mau. Jadi, tolong... berhenti berharap."
Kata-kata itu menghancurkan hati Aria. Dia tahu Bagastya berbicara dengan jujur, tapi kenyataan itu terlalu pahit untuk diterima. Dengan suara bergetar, Aria berkata, "Jadi, kamu nggak akan pernah mencintaiku?"
Bagastya menggeleng pelan. "Gue nggak bisa, Aria. Dan lo harus berhenti mencintai gue."
Aria merasa dunia runtuh di sekelilingnya. Dia mencoba untuk memahami kata-kata Bagastya, tapi rasa sakit itu terlalu besar. Dia mengangguk pelan, meskipun hatinya berteriak. "Baiklah, Bagas. Aku akan mencoba."
Bagastya berbalik dan berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Aria sendirian di ruang tamu. Saat pintu kamarnya tertutup, Aria jatuh berlutut di lantai, menangis terisak-isak. Hatinya hancur, dan dia merasa begitu sendirian.
Malam itu, di balik keheningan apartemen yang kosong, Aria akhirnya menyadari bahwa cinta yang ia harapkan mungkin tak akan pernah terwujud. Dan dengan hati yang patah, ia tahu bahwa mulai saat ini, ia harus mulai belajar melepaskan
Aria terdiam di lantai, air mata yang mengalir di pipinya semakin deras. Hatinya yang hancur membuatnya merasa sangat kosong, namun ada sesuatu yang masih menghantui pikirannya—sesuatu yang sudah lama ingin ia tanyakan pada Bagastya, tapi selalu ia pendam karena takut akan jawabannya.
Dengan gemetar, Aria mengumpulkan keberanian untuk bangkit. Dia berjalan menuju pintu kamar Bagastya dan mengetuk pelan. Tidak ada jawaban. Aria menghela napas dalam-dalam, lalu membuka pintu itu perlahan. Bagastya sedang duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong.
"Bagas..." panggil Aria pelan.
Bagastya menoleh, terlihat sedikit kaget melihat Aria di ambang pintu. "Ada apa lagi, Aria?"
Aria berdiri ragu-ragu, menatapnya dengan mata yang masih basah. "Aku... aku cuma ingin tahu satu hal, Bagas."
Bagastya menghela napas, tampak tidak bersemangat untuk melanjutkan pembicaraan ini, namun ia tidak menghentikannya. "Apa?"
Aria menggigit bibir bawahnya, berusaha mengumpulkan kata-kata. "Ciuman pertama kita... waktu itu... apa itu berarti sesuatu buat kamu?"
Bagastya terdiam, tatapannya tiba-tiba menjadi lebih tajam. Dia tampak tidak siap dengan pertanyaan itu. "Aria, kenapa lo nanya soal itu sekarang?"
Aria merasa hatinya semakin berdenyut sakit. "Karena... karena itu adalah ciuman pertamaku, Bagas. Dan aku... aku selalu berharap itu berarti sesuatu buat kamu, bukan cuma... bukan cuma karena keadaan."
Bagastya memalingkan wajahnya, tidak bisa menatap Aria. "Aria, gue nggak tahu gimana harus jawab itu. Ciuman itu... ya, gue nggak bilang itu nggak berarti apa-apa, tapi lo juga tahu kenapa gue lakuin itu. Itu karena keadaan. Kita lagi di situasi yang nggak memungkinkan untuk mikirin perasaan."
Aria merasa dadanya semakin sesak. "Jadi, kamu nggak pernah benar-benar menginginkan itu? Itu cuma karena... karena situasi?"
Bagastya menghela napas panjang, lalu menatap Aria dengan tatapan yang penuh kelelahan. "Iya, Aria. Gue nggak bilang gue nggak ngerasain apa-apa waktu itu, tapi gue juga nggak bisa bilang kalau itu karena gue cinta sama lo. Gue cuma... ya, waktu itu gue cuma ngerasa itu yang harus gue lakuin."
Aria menggigit bibirnya lagi, berusaha menahan air mata yang kembali ingin tumpah. "Tapi, Bagas... aku selalu berpikir... aku selalu berharap kalau itu adalah awal dari sesuatu yang lebih."
Bagastya menggeleng pelan. "Aria, lo harus berhenti berharap. Gue nggak mau ngasih lo harapan palsu. Kalau lo terus mikirin itu, lo cuma bakal makin sakit."
Kata-kata Bagastya terasa seperti duri yang menusuk hati Aria. Dia mencoba untuk menerima kenyataan itu, namun luka yang ditinggalkan terlalu dalam. "Bagas... aku cuma ingin tahu... apa aku pernah berarti buat kamu, meskipun hanya sedikit?"
Bagastya terdiam cukup lama, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aria, lo orang yang baik, dan gue menghargai lo. Tapi kalau lo nanya apa lo pernah berarti buat gue sebagai lebih dari sekadar teman atau istri yang dijodohkan, gue harus jujur kalau jawabannya nggak. Gue nggak bisa bohongin lo, dan gue nggak mau bikin lo semakin terluka."
Jawaban itu membuat Aria terdiam. Air mata kembali mengalir di pipinya, namun kali ini ia tidak mencoba untuk menahannya. Dia mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa hancur.
"Baiklah, Bagas. Aku mengerti," ujar Aria dengan suara bergetar. "Aku... aku cuma ingin kamu tahu kalau ciuman itu sangat berarti buatku. Itu adalah ciuman pertama yang aku impikan akan datang dari orang yang aku cintai."
Bagastya menatap Aria dengan tatapan yang sulit diartikan, tapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya mengangguk pelan, seolah ingin mengakhiri percakapan ini.
Aria tahu bahwa dia tidak akan mendapatkan jawaban yang dia inginkan, tetapi dia juga tahu bahwa ini adalah kenyataan yang harus dia terima. Dengan langkah berat, dia berbalik dan memasukki Walk in closet, dia ingin merrendam tubuhnya dengan air hangat untuk merileks kan otaknya.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, Aria tidur dengan hati yang benar-benar hancur. Namun, di dalam kehancuran itu, dia juga menyadari bahwa ini adalah langkah pertama baginya untuk melepaskan perasaannya pada Bagastya. Dan meskipun perjalanan itu akan sangat sulit, Aria tahu bahwa dia harus melaluinya demi dirinya sendiri.