Takdir seakan mempermainkan kehidupan Lintang Arjuna, ia yang dulu harus merelakan Danu, sang kekasih untuk menikahi kakaknya, kini ia harus terlibat hubungan kembali dengan pria di masa lalunya.
Lintang terpaksa naik ranjang dengan mantan kekasihnya karena permintaan sang ibu demi bayi kembar yang dilahirkan Libra, sang kakak.
Bagaimana Lintang mampu bertahan dalam pernikahannya di tengah kebencian Danuar Anggara yang masih memuncak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Nekad
"Ini obat penurun demamnya diminum satu kali, dan ini vitamin cukup sekali sehari." Dokter menyodorkan dua kaplet obat dan aku segera meraihnya.
"Terima kasih Dok, berapa?"
"Tidak usah, aku yang bayar," ucap Dita dan sekali lagi aku berterima kasih, kali ini pada rekan kerjaku yang satu ini. Dokter pamit pergi dan Dita mengantar pria itu keluar.
"Makan dulu, biar aku suapi," ucap Dita seraya duduk di sebelahku. Aku menatap makanan yang dibawakan si Mbak dengan tidak berselera. "Boleh nggak sih, minum obat tanpa harus makan?" keluhku.
"Tidak boleh!" tegas Dita. Tangannya meraih sendok dan aku segera mencegah. "Tidak usah, aku bisa makan sendiri." Dengan terpaksa aku makan lalu minum obat. "Tidak ada bedanya makanan dengan obat, sama-sama pahit," kataku jengkel.
Dita terkekeh. "Namanya juga orang sakit Lintang, tapi nikmati aja deh biar pas sehat nanti kamu bisa bersyukur." Aku cemberut mendengar ucapan Dita. Bagaimana bisa sakit dinikmati? Eh tapi benar juga, dengan merasakan sakit manusia akan sadar arti kesehatan. Terkadang orang hanya menganggap rezeki itu hanya pada ekonomi dan mengabaikan nikmat sehat.
"Kamu nggak ke kantor?" tanyaku melihat Dita merebahkan tubuh di ranjang. Sebenarnya, aku yang sakit atau dia sih?
"Aku sudah izin, tenanglah. Kapan kamu masuk kembali? Keren loh aku yang rajin bekerja masih kalah sama kamu yang banyak bolosnya. Sebentar lagi jadi ibu manager. Seharusnya kamu itu yang jadi bawahan aku." Aku hanya tersenyum menanggapi protes dari Dita.
"Pasti ada sesuatu nih dengan pak Samuel. Ada yang nggak beres. Gigih banget perjuangin kamu." Dia masih belum berhenti menggerutu.
"Jadi iri ... eh jangan-jangan dia naksir kamu." Aku langsung memukul bahu Dita. Seenaknya saja menuduh orang.
"Jangan fitnah! Dia tuh baik pada semua orang," bantahku.
"Tapi paling baiknya, cuma sama kamu."
Kalau dipikir-pikir Dita benar juga. Pak Samuel sangat baik padaku, tapi aku yakin dia cuma menganggapku teman. Dia pernah bercerita pernah punya adik yang wajahnya mirip denganku, tetapi sudah meninggal. Mungkin ketika melihatku dia merasa seperti melihat adiknya kembali, makanya kami dekat.
"Sudah ah aku mau tidur," ucapku tidak ingin memperpanjang pembicaraan. Dita sama sekali tidak mempermasalahkan dan dia malah pamit pergi.
"Aku kembali ke kantor dulu, siapa tahu naik jabatan menjadi sekretaris." Dita pergi dengan cekikikan. Aku hanya bisa menggeleng melihat tingkahnya yang selalu ceria, seolah hidupnya tidak pernah ada beban. Setelah Dita pergi kantuk kembali mendera. Apakah obat yang diberikan dokter memang menyebabkan kantuk?
Aku tidur sampai hari gelap. Si Mbak kembali membangunkan untuk makan malam.
"Bagaimana dengan kedua putriku Mbak? Apa mereka rewel?" tanyaku setelah membuka mata.
"Tidak Nyonya, kebetulan kedua bayi itu anteng seharian. Mungkin mereka tahu mamanya sedang sakit."
"Syukurlah," kataku dengan senyuman.
"Mas Danu sudah pulang?"
Si Mbak menggeleng. "Belum Nyonya."
"Oh yasudah kamu bisa beristirahat. Aku akan mengambil makanan sendiri."
"Sudah saya siapkan Nyonya, silahkan dinikmati." Wanita itu menunjuk menu di atas meja. Aku kembali tersenyum, sepertinya aku memang harus membayar lebih karena si Mbak melakukan tugas double.
"Terima kasih," lirihku dan dia hanya membalas dengan anggukan. Setelah makan dan meminum obat, aku kembali merebahkan tubuh karena rasa pusing masih belum sembuh. Meskipun demikian aku merasa bosan di kamar, jadi aku berpindah ke ruang tamu.
Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini pun Mas Danu tidak pulang sampai malam larut. Apa Mas Danu tidak lelah bekerja seperti ini terus menerus?
"Nyonya tidak pindah ke kamar?"
"Biarin aku tiduran di sini dulu." Aku melihat wajah si Mbak ingin protes, tetapi dia menahannya.
Waktu seakan lambat berjalan, setiap detiknya terasa begitu lama. Ingin rasanya waktu berpindah pagi dan rasa nyeri di tubuh juga pergi. Ah andai saja ada ibu menemani mungkin beliau akan membantu memijit betisku. Sungguh aku merasa tubuhku sangat tidak nyaman.
Jam 3 dini hari aku merasakan tubuh ini menggigil. Aku melihat ke segala arah untuk mencari selimut, lalu aku tersadar aku tidak berada di kamar. Lekas aku bangkit dan menapaki tangga. Sampai di depan kamar Mas Danu aku membuka pintunya dan memeriksa, ternyata dia tidak ada di sana.
"Kemana Mas Danu? Atau dia memang belum kembali?" Pusing kembali menyergap hingga aku berjalan cepat menuju kamar kedua keponakan yang kini juga menjadi kamarku.
Esok hari aku bertanya pada si Mbak apakah Mas Danu pulang atau tidak. Dia menjawab tidak melihat atau memang kebetulan tidak bertemu karena dia sudah tidur. Untuk itu aku bertanya pada pak satpam, tetapi pria itu juga tidak melihat Mas Danu pulang.
"Baiklah mungkin dia ketiduran di kantor semalam dan hari ini lanjut bekerja."
Namun, sampai hari kembali menjemput malam dia masih belum kembali. Aku menelpon ibu mertuaku dan bertanya mungkin saja Mas Danu pulang ke rumah orang tuanya, apalagi papa juga sakit.
"Danuar tidak pernah ke sini? Apa dia belum pulang?"
"Sudah 2 hari Ma dan Pak Erik tidak bisa dihubungi," kataku dan mama mendesah kasar.
"Kamu tenanglah, aku akan mencari tahu." Andai saja aku tidak sedang sakit mungkin aku bisa mendatangi perusahannya dan memeriksa sendiri. Sayangnya kesehatanku belum pulih benar.
Tidak menunggu lama, ibu mertua memberikan kabar bahwa Mas Danu keluar kota dan ada kepentingan di sana selama 7 hari. Argh! Dia benar-benar." Sungguh aku semakin geram pada Mas Danu.
Aku sakit selama 3 hari dan selama itu pula tidak ada suami yang menemani. Rumah terasa sepi, hanya tangisan bayi-bayi kecil yang mewarnai hari-hariku.
Pada hari keempat ada telepon dari Pak Samuel yang memintaku untuk segera bekerja.
"Kalau kamu tidak masuk hari ini maka jabatan manager akan diserahkan pada orang lain. Ini sudah lebih dari batas yang diberikan dan kami memberikan toleransi karena mendengar kamu sakit. Kamu serius tidak sih dengan ini?" Baru kali ini aku mendengar Pak Samuel marah.
Aku kembali dilanda dilema. Di satu sisi Mas Danu tidak mengizinkan dan di sisi lain aku tidak mau kehilangan kesempatan bagus. Paling tidak setelah si kembar besar dan aku tidak lagi dibutuhkan oleh Mas Danu, aku masih bisa meniti karirku dan tidak menyesal telah melepaskan kesempatan bagus ini.
"Bagaimana, Lintang?"
"Hari ini aku akan masuk Pak." Aku membuat keputusan meskipun mungkin saja Mas Danu akan marah. Biar saja aku hadapi nanti. Toh dia melakukan apapun tanpa pamit juga.
"Bagus, yang penting kamu masuk dulu. Perkara masih tidak enak badan kamu boleh meminta izin untuk pulang."
Aku mengiyakan dan segera memberitahu si Mbak. Setelah itu aku langsung berganti pakaian dan pergi.
Di depan perusahaan Pak Samuel menunggu, seakan aku tamu penting perusahaan.
"Wah kamu sangat cantik hari ini," puji Pak Samuel. Entah kenapa aku merasa pandangan pria ini berbeda kali ini."