Aruna Nareswari, seorang wanita cantik yang hidup sebatang kara, karena seluruh keluarganya telah meninggal dunia. Ia menikah dengan seorang CEO muda bernama Narendra Mahardika, atau lebih sering dipanggil Naren.
Keduanya bertemu ketika tengah berada di tempat pemakaman umum yang sama. Lalu seiring berjalannya waktu, mereka berdua saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah.
Mereka berharap jika rumah tangganya akan harmonis tanpa gangguan dari orang lain. Namun semua itu hanyalah angan-angan semata. Pasalnya setiap pernikahan pasti akan ada rintangannya tersendiri, seperti pernikahan mereka yang tidak mendapatkan restu dari ibu tiri Naren yang bernama Maya.
Akankah Aruna mampu bertahan dengan semua sikap dari Maya? Atau ia akhirnya memilih menyerah dan meninggalkan Narendra?
Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca ya, terima kasih...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon relisya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
"Atau jangan-jangan kamu lagi hamil yang?" tanya Narendra dengan wajah sumringah.
"Emm... Nggak tau juga sih yang. Selama sebulan ini aku juga belum datang bulan," jelas Aruna masih belum yakin, dan tidak ingin mengecewakan angan-angan sang suami.
"Gimana kalo besok kita periksa ke rumah sakit aja? Biar jelas juga hasilnya," saran Narendra terlihat begitu bersemangat.
"Tapi... Aku takut kita akan kecewa dengan hasilnya," ujar Aruna sembari menundukkan kepalanya.
"Heyy..."
Narendra yang melihat kekhawatiran sang istri langsung menangkup kedua pipi Aruna, dan mengangkatnya agar mau menatap wajahnya.
"Aku nggak berharap banyak sayang, aku cuma takut kalau kamu sakit! Aku nggak mau kamu sakit karena pekerjaan kamu itu!" Narendra mempertegas maksudnya.
Akhirnya Aruna kembali tersenyum, "Iya sayang, aku mau pergi ke rumah sakit,"
"Kamu ada waktu buat anterin dan temani aku?" lontar Aruna yang menyadari kesibukan sang suami selama ini.
"Bentar sayang, biar aku hubungi Elena dulu."
Tanpa berlama-lama lagi, Narendra segera mengambil ponselnya yang berada di atas nakas samping tempat tidur. Setelah mendapatkannya, ia segera mencari nomor ponsel Elena dan langsung menghubunginya.
Tuttt... Tuttt... Tuttt...
Elena yang melihat layar ponselnya menyala pun langsung mengambilnya. Setelah mengetahui bahwa Narendra lah yang menghubunginya, ia bergegas mengangkat panggilan yang masuk.
"Halo pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya Elena setelah telepon tersambung, dan tentunya dengan wajahnya yang sumringah.
"Kosongkan jadwal saya besok!" tegas Narendra dari seberang telepon.
Seketika itu juga wajah Elena berubah menjadi masam, "Tapi pak, besok ada pertemuan penting yang tidak bisa dibatalkan begitu saja,"
"Saya tidak peduli! Yang penting jadwal saya besok harus kosong!" Narendra kembali menegaskan kata-katanya.
"Tidak-."
Tuttt...
Narendra yang tidak mau mendengar alasan Elena sengaja mengakhiri telepon secara sepihak. Dia sudah tidak mempedulikan lagi bagaimana kerja samanya dengan perusahaan yang lain. Karena yang terpenting saat ini adalah kesehatan Aruna.
"Halo pak?" Elena mencoba memastikan bahwa teleponnya masih tersambung.
"Pak Naren?"
Elena menatap layar ponselnya yang kembali menampilkan layar hitam. Ia terlihat begitu kesal dengan keputusan sepihak Narendra.
"Ck! Bisa-bisanya dia rela batalin pertemuan penting ini begitu saja!" gerutu Elena.
"Ini pasti gara-gara Aruna!" tebaknya.
"Ya! Kalo nggak dia nggak ada orang lain yang bisa buat Narendra seperti ini!"
"Awas aja lo Aruna! Cepat atau lambat gue akan gantiin posisi lo saat ini!"
"Gue akan buat Narendra bertekuk lutut sama gue, dan lupain lo sepenuhnya."
Elena yang masih diselimuti rasa kesal pun langsung melemparkan ponselnya ke sembarang arah di sofa. Lalu ia pergi ke dapur, untuk mengambil air dingin guna meredamkan gejolak amarah di hatinya.
.
Kembali lagi kepada Aruna dan Narendra. Wanita itu menjadi tidak yakin dengan permintaannya, setelah mendengar percakapan sang suami kepada Elena. Ia menjadi merasa bersalah jika Narendra membatalkan pertemuan penting hanya karena dirinya.
"Sayang, lebih baik aku pergi sendiri aja deh. Aku nggak mau ganggu pekerjaan kamu," ungkap Aruna merasa bersalah.
Narendra yang baru saja meletakkan ponselnya langsung menatap sang istri, dan segera menggenggam kedua tangannya dengan erat, "Kamu nggak ganggu sayang! Kamu itu istri aku! Udah sewajarnya kalo aku anterin kamu ke rumah sakit!"
"Tapi, besok kamu ada pertemuan penting. Aku nggak mau rekan kerja kamu marah ke kamu karena aku," ujar Aruna.
Narendra menangkup kedua pipi Aruna, "Mereka semua juga punya keluarga di rumah sayang. Jika ini terjadi pada keluarga mereka, pasti mereka juga akan menunda pertemuan sepenting apapun,"
"Tapi-,"
"Nggak ada tapi-tapian! Pokoknya besok kamu akan aku antar ke rumah sakit!" tegas Narendra tak terbantahkan.
Aruna yang mendengarnya pun hanya bisa menghela napas, lalu tersenyum, "Terima kasih sayang,"
"Jangan pernah bilang seperti itu. Ini udah tugas dan tanggung jawab aku sebagai suami kamu sayang," ucap Narendra dengan lembut dan menatap Aruna penuh kasih sayang.
"Iya sayang, aku bahagia punya suami seperti kamu," ungkap Aruna tulus.
"Aku juga bahagia punya istri seperti kamu sayang." Narendra tersenyum manis, seraya membawa sang istri ke dalam pelukannya.
Aruna tak segan-segan membalas pelukan tersebut. Mereka saling mencurahkan rasa kasih sayang dalam pelukan itu, dan juga melepaskan rasa rindu, letih, suka dan duka setelah beberapa hari terakhir sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Setelah puas berpelukan, Narendra yang terlebih dahulu melepaskan pelukan itu, "Oh iya, nanti malam kamu nggak usah datang ke acara Neva dulu ya?"
"Kenapa aku nggak boleh pergi?" tanya Aruna heran.
"Aku masih kuat kok kalo hadiri acara itu!" sambungnya lagi.
"Enggak sayang!" tegas Narendra menatap lekat manik mata sang istri.
"Kamu harus banyak istirahat! Biar aku sendiri yang datang ke sana!" imbuh Narendra lagi.
"Tapi yang, aku juga ingin datang ke sana," Aruna masih mencoba membujuk suaminya itu.
"Sayang, tolong dengarkan aku ya? Aku nggak mau terjadi sesuatu sama kamu," ucap Narendra, terlihat rasa khawatir dari tatapan matanya itu.
Akhirnya Aruna harus kembali mengalah. Ia tersenyum manis, lalu mengusap kedua pipi Narendra dengan lembut, "Yaudah deh, kalo gitu aku nggak akan pergi."
Cupp...
Narendra yang bahagia langsung mencium kening sang istri, "Aku bahagia kalo kamu nurut seperti ini,"
"Selagi itu baik, aku pasti akan turuti semua kemauan kamu sayang." Ujar Aruna yang terus tersenyum bahagia.
Narendra kembali menarik sang istri ke dalam pelukannya, dan Aruna sendiri juga langsung membalas pelukan itu. Pelukan yang hangat, dan hubungan yang hangat pula.
"Sayang, aku izin keluar dulu ya?" lontar Narendra sembari melepaskan pelukannya.
Aruna mengernyitkan dahinya, "Kamu mau ke mana?"
"Nggak ke mana-mana kok! Aku cuma mau cari Bi Ainur aja," jelas Narendra.
"Kamu istirahat lagi aja, biar badan kamu enakan," sambung Narendra lagi, seraya berdiri dari duduknya.
"Iya sayang." Jawab Aruna dengan patuh.
Narendra mengusap kepala sang istri dengan lembut, lalu mencium keningnya lagi sebelum pergi dari sana.
Aruna sendiri tersenyum bahagia dengan perlakuan hangat yang diberikan oleh Narendra. Ia sangat bersyukur bisa memiliki suami yang begitu menyayanginya.
"Semoga hidup kita akan selalu seperti ini sayang, tanpa gangguan dari siapapun." Batin Aruna sembari menatap punggung Narendra yang berjalan keluar dari kamar.
.
Setelah mencari ke berbagai ruangan, akhirnya Narendra menemukan keberadaan Bi Ainur di halaman belakang.
"Bi!" panggil Narendra setelah melihat wanita paruh baya itu.
"Ehh iya tuan."
Bi Ainur yang mendapatkan panggilan dari sang majikan pun langsung meletakkan sapu yang ada di genggamannya. Ia meninggalkan pekerjaannya sejenak, untuk menemui Narendra yang ada di teras halaman belakang.
"Ada apa tuan?"