Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertengkaran
"Eummhhhhh..." Mahira semakin melenguh panjang ketika merasa berat yang ia rasakan semakin nyata. Akan tetapi rasa berat untuk membuka mata membuat Mahira kembali mencoba untuk tidur. Namun seketika itu juga Mahira membuka mata lebar-lebar karena menyadari ada seseorang diatas tubuhnya.
"Aaaaaaa....!!!" melihat Amar tidur di area khusus baby Emir, Mahira berteriak sehingga Amar langsung bangkit dari atas tubuhnya.
"Kak Amar..."
"M-mahira!" seolah baru mengetahui apa yang terjadi, Amar berpura-pura memasang wajah yang tak kalah kagetnya.
"Mahira kenapa kamu di kamarku!?"
Mendengar pertanyaan Amar, Mahira melihat ke sekelilingnya dan menyadari memang benar dirinya berada di kamar Amar.
"Tapi bagaimana bisa?" tanya Mahira dalam hati.
Melihat kebingungan Mahira, Amar mengukir senyum tipisnya karena berhasil lolos dari pertanyaan yang mungkin akan membuatnya bingung dengan jawabannya.
"Bagaimana bisa aku tidur di kamar mu?" akhirnya pertanyaan itu dilontarkan pada Amar.
"Itu yang sedang ku tanyakan, kenapa bisa kamu tidur di kamar ku?"
Mendengar pertanyaan yang sama dari Amar, Mahira kembali kebingungan, menggaruk-garuk kepalanya dan mengingat bagaimana Ia sampai tidur satu ranjang dengan Amar.
Cukup lama Mahira mencoba mengingatnya sampai akhirnya Ia mengingat kejadian di restoran.
"Aku ingat!"
Mendengar Mahira mengingatnya kini giliran Amar yang merasa panik jikalau Mahira akan menuduh dirinya lah yang membuat Mahira tidur bersamanya.
"Ya, Aku ingat... terakhir aku minum minuman yang pelayan berikan, hagh apa jangan-jangan?"
"Ya kamu benar, apa jangan-jangan minuman itu mengandung alkohol?" tanya Amar yang turut berpura-pura tidak tau.
Berbeda dengan Mahira yang mabuk berat dan tak mengingat apa-apa Amar yang hanya menenggak satu gelas hampir mengingat segalanya. Namun rasa kantuknya yang sudah tak tertahankan membuat Amar tak kuasa bangkit sehingga tertidur di atas tubuh Mahira.
Mendengar apa yang Amar katakan Mahira menatap Amar dengan penuh curiga.
"Kenapa kamu menatap ku seperti itu?" tanya Amar yang cukup dibuat gugup oleh sorotan tajam mata Mahira.
"Kalau kak Amar mabuk bagaimana kita bisa sampai dirumah, siapa yang menyetir mobilnya?"
Mendapat pertanyaan seperti itu Amar tergugup tak tahu harus bicara jujur atau berbohong demi menutupi rasa gengsinya.
"E-aku memang sedikit mabuk tapi aku masih bisa menyetir mobil dengan aman, tidak seperti mu yang langsung tidur sampai tak ingat apapun."
"Itulah yang ku katakan, aku sama sekali tidak mengingat apapun, jadi kalau sampai aku bisa tidur di sini berarti..." Mahira menghentikan ucapannya sambil menatap Amar penuh curiga.
Mendapat tatapan penuh tuduhan seperti itu, Amar tidak bisa mengelak lagi sehingga untuk menutupi rasa gengsinya yang setinggi langit Amar kembali memarahi Mahira. "Sudah ku katakan aku sedikit mabuk. lagipula apa salahnya jika kita tidur bersama, bukankah kita sudah menikah!"
Setelah mengatakan itu Amar langsung pergi ke kamar mandi untuk menghindari perdebatannya dengan Mahira.
Didalam kamar mandi, Amar berdiri di depan cermin dengan nafas yang naik turun karena kembali tak bisa mengontrol emosi karena egonya. Setelah terdiam cukup lama Amar terdiam dan kembali mengingat apa yang baru saja ia katakan pada Mahira.
"Apa yang sudah ku katakan barusan," ucap Amar mengusap wajah dengan keduanya tangannya dengan kasar.
Sementara Mahira yang masih duduk di atas ranjang menghelai nafas panjang, menyangga kepalanya yang masih terasa berat dengan kedua tangannya.
"Kalau memang tidak ada salahnya, lalu kenapa kamu mengusirku di malam pertama kita?" gumam Mahira mengingat malam itu.
Bersambung...