Keidupan normal Karina gadis 17 tahun yang baru saja putus cinta seketika berubah, Dengan kedatangan Dion yang merupakan artis terkenal, Yang secara tidak terduga datang kedalam kehidupan Karina, Dion yang telah mempunyai kekasih harus terlibat pernikahan yang terpaksa di lakukan dengan Karina, siapakah yang akan Dion pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ibu
Dion sedang memperhatikan Karina dan Anton yang sedang tertawa bersama di kantin sekolah. Hatinya terasa gelisah. "Lagi ngomongin apa sih? Kok bisa ketawa begitu?" pikirnya penasaran.Tiba-tiba, ponselnya berdering. "Kring!" suara telepon dari Alisha yang tengah berada di Paris."Dion, sorry ganggu, kamu lagi di sekolah ya?" tanya Alisha dari seberang telepon."Iya, aku lagi di sekolah. Ada apa, sayang?" jawab Dion."Aku mau cerita, aku dapat tawaran masuk agensi besar di sini," kata Alisha.
"Bagus dong! Kamu harus terima, itu bisa bantu karir model kamu," saran Dion, suaranya terdengar mendukung."Tapi, aku harus tinggal di sini enam bulan untuk pelatihan Paris Fashion Week," keluh Alisha, terdengar bimbang.
"Enam bulan? Kok lama banget? Kita nggak bisa ketemu dong?" jawab Dion, nada suaranya berubah sedih."Makanya aku bingung, Dion. Aku sekarang aja udah kangen banget sama kamu, apalagi nanti. Aku juga khawatir sama hubungan kita. Kemarin aja aku sempet curiga kamu bohongin aku waktu ke Bali dan nggak nganterin aku ke bandara," ungkap Alisha, mengungkit kejadian yang belum terselesaikan di antara mereka.
Dion terdiam, menghela napas. "Maaf ya soal kemarin, Sha. Aku beneran nggak bisa nganterin kamu karena Mamah masuk rumah sakit. Yang di Bali pun, aku ke sana karena urusan Mamah. Aku nggak ada bohong sama sekali," jawab Dion, mencoba meyakinkan Alisha. Alisha terdiam sejenak, sebelum menghela napas. "Aku coba percaya. Aku cinta banget sama kamu, tapi kamu harus janji, ya. Selama aku di Paris, kamu jaga hati. Jangan sampai kamu selingkuh!"Dion tersenyum tipis. "Aku janji, Sha. Mana ada cewek yang lebih baik dari kamu," ujarnya tulus.Namun, sebelum percakapan mereka selesai, terdengar suara dari kejauhan. "Dion!" seseorang memanggil.
"Aduh, sayang, bentar ya, ada yang manggil," kata Dion sambil menutup telepon.Intan, salah satu teman Dion, menghampirinya. "Lo liat Karina nggak?" tanya Intan dengan wajah bingung."Tadi gue liat sama Anton," jawab Dion dengan nada ketus."Oh iya, gue lupa. Mereka lagi belajar bareng," jawab Intan, seolah mengingat sesuatu.Dion menatap Intan dengan alis terangkat. "Belajar bareng? Kenapa nggak sama lo aja?""Mereka kan mau masuk universitas negeri yang sama, jurusan yang sama juga. Makanya sering belajar bareng," jawab Intan santai."Universitas negeri mana?" tanya Dion, penasaran dengan rencana Karina.
"ITB. Mereka mau masuk ITB, jurusan Desain Komunikasi Visual," jawab Intan. "ITB Bandung, loh."
Mendengar itu, Dion terdiam. Bandung terasa semakin dekat, tapi mengapa Karina justru semakin jauh di Dion merasa kesal setelah mendengar sindiran dari Intan. "Lo sama sekali nggak tau apa-apa tentang Karina ya? Kasian deh suaminya nggak tau apa-apa," ucap Intan dengan nada mengejek, seolah menusuk ego Dion. Wajah Dion mengeras, jelas terlihat bahwa ejekan itu menyulut amarahnya.
"Eh, gue mau kasih tau sebuah rahasia, yang pastinya lo juga belum tau," lanjut Intan dengan senyum sinis di bibirnya."Rahasia apa?" Dion mulai penasaran, meski dalam hatinya sudah merasa tak nyaman.
Intan mendekatkan wajahnya sedikit, matanya berbinar karena tahu informasi yang ia pegang akan memengaruhi Dion. "Karina, selama di apartemen lo, dia sebenarnya kerja sama Anton di cafe. Makanya, dia punya duit. Jadi bukan dari lo, men," bocor Intan dengan nada provokatif.
Dion terdiam, rahang mengeras. Fakta itu seperti tamparan. Ia tak pernah tahu Karina bekerja diam diam, dan terlebih lagi dengan Anton. Tanpa kata, Dion pergi meninggalkan Intan, meninggalkan senyum puas di wajah gadis itu. Intan jelas senang telah berhasil mengacaukan perasaan Dion.
Saat perjalanan pulang sekolah, Dion melihat Karina berdiri di halte bus, terlihat menunggu sesuatu. Ia menghentikan mobilnya di hadapan Karina dan menurunkan kaca jendela. "Rin, mau bareng nggak?" tawarnya.
"Enggak usah, bentar lagi bus datang," jawab Karina, nada suaranya dingin dan tegas. Dion berpikir cepat. Ia tahu ada jarak antara mereka sekarang, dan ia tak suka perasaan itu. "Gue mau ke rumah ibu. Mau ikut nggak?" tawarnya lagi, kali ini mencoba pendekatan berbeda. "Enggak. Lo aja sendiri pergi ke rumah ibu," jawab Karina dengan ketus, tanpa ragu menolak tawaran Dion. Jawaban Karina itu membuat Dion heran. Karina biasanya tak pernah keberatan pergi ke rumah ibunya, tapi kini dia terlihat sangat enggan.
"Lo masih marah sama ibu?" tanya Dion, mencoba membaca situasi. Ia ingat kalau Karina dan ibunya sempat bertengkar.
Karina hanya diam, tak menjawab pertanyaannya. Dion merasa perlu bicara lebih dalam. "Nggak boleh gitu loh sama orang tua, Rin. Marah terlalu lama nggak baik. Sebagai anak harus ngalah," Dion menasihati dengan lembut, meskipun hatinya masih dipenuhi amarah yang ditimbulkan oleh percakapan dengan Intan tadi. Karina akhirnya menjawab dengan nada dingin, "Dia juga nggak peduli sama gue. Ngapain gue harus peduli sama dia?" Dion mengernyit, semakin penasaran. "Emang apa sih masalahnya? Kenapa bisa sampai kayak gitu?"
Karina menghela napas panjang, menunduk sejenak. Dengan nada gengsi, ia menjawab, "Itu, ibu udah nggak kasih gue duit lagi."Dion terdiam, tidak menyangka masalahnya sesederhana itu, tetapi ia tahu ada lebih banyak yang belum Karina ungkapkan.
Dion terkejut mendengar Karina akhirnya mengalah, tapi ia berusaha menutupinya dengan senyum kecil. "Ya ampun, masalah itu aja. Yaudah, gue aja yang minta maaf ke ibu. Soalnya kan gue juga salah waktu itu," ucapnya sambil mengangkat bahu, berusaha meredakan ketegangan yang sudah berhari-hari menggantung di antara Karina dan ibunya.
Dion melirik Karina yang masih terdiam, seolah mempertimbangkan tawaran itu. "Kalau lo nggak mau ikut, nggak apa-apa. Gue sendiri aja yang ke sana," lanjutnya sambil mulai melangkah kembali ke mobil, menandakan dirinya siap pergi sendiri. Namun, setelah beberapa detik keheningan, Karina akhirnya membuka mulut, "Yaudah... aku ikut," katanya pelan, nadanya terdengar seperti orang yang masih mempertimbangkan banyak hal dalam kepalanya. Dion tersenyum puas, meskipun dalam hatinya ia merasa lega. "Oke, baguslah," balasnya sambil membuka pintu mobil lebar-lebar untuk Karina. Karina melangkah masuk ke dalam mobil dengan sedikit canggung.
Entah kenapa, meskipun mereka suami istri, jarak di antara mereka masih terasa begitu nyata sebuah rahasia yang selalu mereka jaga dari dunia, tapi kadang juga terasa seperti mereka sedang menyembunyikan sesuatu dari diri mereka sendiri.
Mobil pun melaju, meninggalkan halte bus di belakang mereka. Di perjalanan menuju rumah ibu Dion, keduanya hanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Dion masih terngiang-ngiang percakapan dengan Intan, sementara Karina berusaha menyusun kata-kata yang harus ia ucapkan saat bertemu dengan ibu mertuanya.
Di dalam mobil, Karina sibuk dengan ponselnya, jemarinya lincah mengetik dan mencari informasi. Dion melirik sekilas, penasaran dengan apa yang dilakukan istrinya. "Rin, lo lagi ngapain?" tanya Dion sambil tetap fokus pada jalan. Karina tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya menjawab, "Ini gue lagi nyari informasi soal universitas yang mau gue masukin."Dion mengangguk kecil, tapi masih penasaran. "Lo jadi kuliah bareng Anton?"