NovelToon NovelToon
Naik Status: From Single To Double: Menikah

Naik Status: From Single To Double: Menikah

Status: tamat
Genre:Tamat / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / suami ideal
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ai

Embun, seorang wanita berumur di akhir 30 tahun yang merasa bosan dengan rutinitasnya setiap hari, mendapat sebuah tawaran 'menikah kontrak' dari seorang pria di aplikasi jodoh online. Akankah Embun menerima tawaran itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

Ada suara. Suara seperti langkah kaki. Telingaku yang menempel di bantal menjadi siaga. Aku membuka mata dan melihat ke jendela. Masih gelap. Aku mengambil ponsel di meja samping ranjang dan melihat jam. 04.12. Subuh. Aku tidur lagi.

Lagi-lagi terdengar seperti bunyi langkah kaki yang sangat pelan. Aku menajamkan telinga dan mencoba mendengar dengan saksama. Tidak ada, tidak ada bunyi apapun. Kupejamkan mata lagi.

Beberapa menit kemudian terdengar lagi suara itu. Aku membuka mata dan menegakkan tubuhku, mencoba mendengar. Tidak ada bunyi apapun. Aku menempelkan telingaku ke bantal, mencoba menajamkan telinga, tapi tidak terdengar bunyi apapun. Mungkin itu suara gesekan daun dan ranting pohon. Kupejamkan mata lagi.

Terdengar lagi. Seperti sedang menapak menaiki tangga, tapi sangat pelan. Bulu kudukku berdiri. Aku menajamkan telingaku lagi dan terdengar kembali suara langkah kaki yang semakin dekat menapaki tangga. Sebentar lagi tiba di lantai atas.

Apakah aku sedang bermimpi? Benarkah yang kudengar? Aku diam, tidak bergerak, mencoba memastikan suara itu. Hening. Tidak ada suara apapun. Tapi, telingaku dan seluruh otot dan saraf di tubuhku sangat siaga sekarang.

Tap... tap... di lantai dua, semakin mendekat.

Tap... tap... dia menuju kamarku. Kedinginan menjalari tubuhku. Apa yang harus aku lakukan?

Tap... tap... tap....

Hening.

Aku yakin siapapun itu sudah di depan pintu kamarku sekarang. Aku menggigil di bawah selimut. Aku tidak bisa berpikir apa-apa.

Satu menit berlalu. Di mana dia?

Dua menit, tiga menit, lima menit. Apa yang dilakukannya di depan pintu kamarku? Kenapa dia tidak membuka pintunya dan masuk. Jangan-jangan...

Degup jantungku semakin kencang. Telapak tangan dan telapak kakiku terasa mulai basah. Bahkan ketiakku mulai terasa hangat.

Pelan-pelan aku mengintip dari balik selimut yang menutupi kepalaku. Ruang kamar terlihat gelap. Samar-samar terlihat kursi dan meja di seberang ranjang. Aku mengintip pintu kamar. Tertutup. Kalau dia sudah masuk, pintu kamar akan berderit pelan. Aku hapal sekali bunyinya. Tapi, tadi tidak ada bunyi apapun.

Aku menurunkan selimut sedikit, mencoba melihat lebih luas lagi.

Aah... apa itu di pojok?

Ya, ampun itu tiang gantungan baju. Topi yang kupakai keluar berdiri tegak di bagian atas tiang, membuatnya terlihat seolah-olah kepala manusia.

Mataku berkeliling kamar, dengan hidung dan mulut masih di bawah selimut. Tidak ada apa-apa, sejauh yang telihat dari sudut keremangan ini. Haruskan aku menyalakan lampu? Aku tidak berani. Aku tidak siap melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di dalam kamar ini. Tapi, kalau aku tidak memeriksanya, sampai kapan aku akan ketakutan seperti ini?

Tangan kananku terjulur keluar dari dalam selimut, perlahan-lahan.

“Aduh.” Karena pandangan mataku tetap waspada di sekeliling kamar, aku tidak memperhatikan letak lampu, menyebabkan tanganku terantuk meja.

Suara aduh yang kuat disertai rasa sakit membuatku benar-benar terbangun duduk dan mengoles-oles tanganku. Segera aku menyalakan lampu dan tersadar.

Mataku berkeliling sekitar kamar. Kosong. Maksudku, tidak ada hal aneh di dalam kamarku. Lalu, di mana dia?

Aku memandang pintu kamarku yang masih tertutup rapat. Apakah dia masih berdiri di depan pintu? Bagaimana ini? Ketakutan kembali menjalariku.

Haruskah aku membuka pintu itu dan memeriksa? Aku tidak berani.

Sebuah ide cemerlang timbul di benakku.

Aku meraih ponsel dan memutar musik yang menjadi nada dering ponselku, lalu meletakkannya di telinga sambil berkata, “Halo.”

Seolah-olah Assis meneleponku, aku terus berbicara. Aku meracau, mengatakan kalau dia tidak perlu datang kemari, dan seolah Assis memaksa dan aku menerimanya. Aku menutupnya dengan berkata, “Datanglah sekarang dan periksa sendiri kalau itu memang maumu.” dengan suara agak keras. Semoga itu tidak mencurigakan dan membuat siapapun yang berada di depan pintu kamarku segera pergi.

Lima menit berlalu. Jantungku masih berdegup kencang. Apakah dia sudah tidak di depan pintu? Aku tidak berani memeriksanya. Aku membenamkan kepalaku di bantal dan tubuhku terbungkus selimut, mencoba untuk meyakinkan diriku bahwa semuanya aman, tidak ada siapapun di dalam rumah selain aku. Aku mencoba tidur, tapi tidak bisa.

Pagi ini hanya satu hal yang aku perlukan. Tidur. Tapi, pikiranku masih melayang ke peristiwa subuh tadi. Aku harus memeriksa isi rumah. Sinar matahari sudah masuk menyinari seluruh sudut rumah, tidak ada lagi yang perlu aku takuti. Aku harus keluar sekarang.

Perlahan aku bangun dan turun dari tempat tidur, menuju pintu. Rasa takut masih menggantung. Bagaimana kalau ternyata aku menemukan seorang pria garang di depan pintu yang siap meringkusku? Aduuuh, pikiranku terlalu liar.

Tidak ada apa-apa di pintu depan, Embun, percayalah.

Tidak semudah itu aku yakin. Haruskah aku menelepon Assis? Tapi, kalau aku meneleponnya, aku harus menjelaskan padanya yang terjadi subuh ini. Bagaimana jika aku hanya berhalusinasi, bukankah itu akan memalukan?

Aku menarik napas panjang dan melangkah ke depan pintu, mengulurkan tangan... tidak. Aku tidak bisa.

Aku menarik napas lagi dan tanpa berpikir lagi memegang pegangan pintu, membuka kuncinya dan menariknya dengan kecepatan cahaya. Pintu membuka terbanting.

Brak!

Kosong. Tidak ada siapapun di sepanjang lorong. Mungkinkah dia bersembunyi di tangga?

Mataku berkeliaran di sepanjang kamar, mencari sesuatu yang bisa aku pakai membela diri kalau benar ada seseorang di dalam rumah. Hanya satu pilihanku, tiang gantungan baju. Meskipun terlalu panjang dan berat, tapi lebih baik daripada bertangan kosong.

Seperti orang bodoh aku keluar dari kamar, kedua tangan memegang tiang gantunngan baju yang beratnya seperti air galon, melihat berkeliling lantai atas yang aman, lalu turun ke lantai bawah perlahan. Setelah sepuluh menit berkeliling dengan perlahan, aku berhenti dengan menarik napas panjang. Benar-benar aman. Tidak ada apapun atau siapapun, bahkan tidak ada tanda-tanda pintu atau jendela dibobol. Jadi, bagaimana orang itu, jika benar yang aku dengar semalam, masuk ke dalam rumah.

Apakah aku terlalu cape akhir-akhir ini, sehingga membuatku berhalusinasi? Jangan sampai Assis tahu soal ini, bisa-bisa aku dibawa ke psikolog. bukan ide yang buruk, karena aku juga ingin berkonsultasi dengan seorang psikolog tentang beberapa hal, tapi aku tidak ingin dicap sebagai calon orang tidak waras.

Kursus hari ini benar-benar membuatku mengantuk, aku hampir ketiduran, jika Herr Schwarz tidak berdeham keras. Tapi, baik juga dia karena mengakhiri kursus hari ini lebih cepat dari waktu seharusnya. Dia mengakhirinya pukul 11.55. Biasanya selesai pukul 12.00.

Aku menghabiskan sepanjang sore untuk tidur. Tapi, saat aku terbangun jam 5 sore, rasanya kepalaku berat sekali. Aku memang tidak terbiasa tidur siang.

Gara-gara terlalu lama tidur siang, aku sulit tidur malam ini. Kalau begini, bisa-bisa besok siklus yang sama terulang lagi. Aku tidak mau itu. Aku memaksakan diriku untuk tidur ala orang barat, dengan menghitung sheep, domba. Tidak berhasil. Cara itu tidak berhasil menghipnotisku untuk tertidur.

Entah berapa lama aku habiskan untuk berguling-guling di ranjang hingga aku terlelap.

Untung saja aku tertidur nyenyak semalam, jadi pagi ini aku bangun dengan segar. Hari ini sabtu, hari ‘jalan-jalan’. Setidaknya aku bisa melihat dunia luar meskipun hanya ke supermarket.

Ini minggu keduaku di Perancis dan yang telah kulihat hanya rumah ini dan supermarket. Kalau pemandangan sepanjang jalan ke supermarket bisa dihitung, ya lumayanlah.

Dan aku masih tidak tahu tujuan kedatanganku ke sini. Assis seperti agen Secret Service Presiden yang bungkam dan menghindari percakapan panjang denganku.

Seperti sebelumnya, supermarket ini sepi pengunjung. Aku mencoba menghabiskan lebih banyak waktu untuk berbelanja, dengan mengelilingi setiap lorong supermarket perlahan. Aku membaca nama setiap barang yang terpampang di setiap rak dan kadang mengambilnya jika barang itu terlihat lucu, unik dan menarik. Bisa menambah wawasan, bukan? Aku melihat Assis sedang menuju kasir. Aku menghilang di antara rak-rak makanan.

Sepuluh menit berlalu sejak aku melihat Assis menuju kasir. Aku terus mengitari rak-rak berisi bermacam-macam barang. Dari makanan, aku berpindah ke sabun lalu perawatan badan dan kosmetik, lalu menuju pojok berisi gantungan-gantungan berbagai macam baju mulai dari anak-anak hingga dewasa, pria maupun wanita. Sebuah setelan berwarna biru terang menangkap mataku. Aku mengambilnya, mencari cermin terdekat, menempelkan setelan yang masih tergantung di gantungan bajunya ke tubuhku dan melihatnya begitu cantik di cermin. Aku bertanya kepada pelayan toko yang kebetulan lewat letak kamar pas menggunakan bahasa Perancis dasar. Aku baru saja mengucapkan terima kasih kepada pelayan itu, ketika ponselku berdering.

“Halo.” jawabku dengan nada riang.

“Nyonya di mana?” tanya nada suara di seberang, Assis.

“Aku masih melihat-lihat baju.” jawabku masih dengan nada riang.

“Baiklah. Saya ke sana sekarang.” Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung mematikan telepon.

Terserah dia saja, mau datang ke sini atau tidak. Jangan saja dia menyeretku kembali ke mobil.

Aku masuk ke kamar ganti, mencoba setelan biru yang terlihat bagus di cermin tadi, dan keluar dengan kecewa. Tidak cocok padaku. Aku terlihat seperti tante-tante tua yang tidak mengikuti perkembangan zaman. Padahal terlihat bagus, kenapa bisa sejelek ini? Mungkin aku yang jelek memakai baju ini. Ya, sudahlah.

Assis berdiri di dekat kamar pas ketika aku keluar. Dia tersenyum dan bertanya, “Sudah selesai, Nyonya?”

Ingin rasanya aku berkata ‘belum’, tapi tidak ada lagi yang bisa aku lihat. Aku sudah mengelilingi semua rak di supermarket ini.

“Ayo, pulang.”

Aku mendorong troli belanjaku ke kasir, diiringi Assis. Dia tidak ingin kehilangan jejakku.

Aku meletakkan semua barang belanjaanku di meja kasir dan Assis di ujung meja memasukkan barang-barang itu kembali ke dalam troli.

Dengan sabar aku menunggu kasir selesai memindai barang-barang belanjaan. Sembari menunggu, aku merasakan seperti ada yang sedang menatapku. Aku menoleh melihat Assis yang tangannya sibuk mengambil barang yang telah dipindai, dimasukkan ke dalam troli dengan pandangan tertuju padaku. Ternyata dia.

Kami, tepatnya Assis, memasukkan semua barang di troli ke dalam kardus kertas di dalam mobil dengan berhati hati. Aku berdiri memandangnya. Lagi-lagi terasa ada yang sedang menatapku. Aku memandang berkeliling dan mendapatkan beberapa orang yang sedang berkutat dengan troli mereka, entah baru mengambil troli dan akan masuk ke dalam supermarket, juga yang baru keluar dari supermarket dan yang sedang mengembalikan troli ke tempatnya. Tapi, tidak ada seorang pun yang sedang menatapku. Semuanya sibuk dengan kegiatan masing masing.

Perasaanku menjadi tidak enak. Mungkin ini hanya efek halusinasiku kemarin. Aku menepis perasaan negatif ini.

Ketukan di jendela mobil menyadarkanku kalau kami sudah tiba di rumah. Aku turun dan melangkah menuju pintu masuk dan kembali merasakan tatapan itu. Tiba-tiba aku berhenti dan memandang berkeliling mencari sumber tatapan itu. Tapi, aku tidak melihat siapapun selain Assis yang memandangiku dari jalan dan sopir yang sedang membawakan belanjaanku yang berdiri tepat di belakangku.

“Ada apa, Bu?”

“Ah, tidak apa-apa.”

Aku menatap Assis yang masih memandangiku. Mungkin dia. Tapi, tatapannya terasa berbeda dari tatapan tajam yang aku rasakan. Aku sudah cukup lama bersama Assis, aku tahu rasanya bagaimana dia menatapku.

Tatapan yang aku rasakan ini berbeda, terasa tajam dan berbahaya. Aku tidak tahu mengapa. Aku merasa tidak aman, dan takut.

Aku tidak ingin sendirian hari ini. Bisakah aku meminta Assis menemaniku di rumah? Atau bagaimana kalau aku berkunjung ke rumah yang ditempatinya di depan?

“Ehmm... Assis, “ aku terdiam.

“Ya, Nyonya.” Dia masuk ke jalan setapak. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Ehmmm...” aku tidak bisa menyelesaikan kata-kataku. Tidak tahu bagaimana harus menjelaskan kepadanya. “Tidak jadi.”

Bergegas aku melangkah masuk ke dalam rumah, mempersilakan sopir masuk dan meletakkan barang belanjaan di meja dapur, mengantarnya keluar dan menutup pintu. Ketika menutup pintu, aku melihat Assis masih berdiri di tempat yang sama, di tengah jalan setapak, memandangiku. Tatapannya terlihat berbeda. Apakah itu kecemasan di matanya?

Aku tidak ingin memikirkan hal-hal buruk lagi. Aku lapar, ingin makan sesuatu yang lezat. Tadi aku membeli spaghetti dan pizza beku, aku akan memasaknya sekarang.

Kekuatiranku tadi tidak beralasan lagi sekarang. Tidak ada lagi perasaan seperti sedang ditatap seperti tadi siang. Kenapa aku begini akhir-akhir ini? Rasanya seperti sedang mengalami gangguan jiwa. Tapi, aku baik-baik saja. Aku merasa kalau aku baik-baik saja, seratus persen.

Malam ini aku beranjak tidur lebih cepat setelah sejam berendam di air hangat. Memang terlalu lama, tapi aku sangat menikmatinya, sehingga rasanya kadang tidak ingin keluar dari dalam bak mandi.

1
Arvilia_Agustin
Sampe disini Thor, nanti di lanjut lagi
Bilqies
aku mampir nih thor
Bilqies
semangat terus Thor menulisnya...
Bilqies
aku mampir Thor
Arvilia_Agustin
Sampai disini dulu ya ka, 😊
Arvilia_Agustin
Mahal-mahal sekali harga jacket nya
Alletaa
mampir lagi Thor
Ai: Makasih
total 1 replies
xoxo_lloovvee
satu mawar untukmu thor, jangan lupa mampir ya 😉
Ai: Makasih, ya
total 1 replies
xoxo_lloovvee
Apa ini akuu? 😭😭
Ai: Semangat /Smile/
total 1 replies
Bilqies
aku mampir lagi Thor /Smile/
mampir juga ya di karyaku
Ai: Makasih /Smile/
total 1 replies
marrydianaa26
semangat thor,nanti mampir lagi
Ai: Makasih /Smile/
Semangat juga
total 1 replies
Zeils
Bagus, pemilihan kata dan alurnya cukup baik dan mudah dipahami.
Hanya saja, perbedaan jumlah kata di bab satu dan dua membuatku sedikit tidak nyaman saat membacanya. Perbedaannya terlalu signifikan.
Ai: Makasih udah berkunjung.
Novel pertamaku mmg banyak kekurangannya, makasih udah diingatkan lagi.
Bisa mampir di novel keduaku, bisa dibilang lbh stabil dr yg ini. Mohon sarannya jg 🙏🏻
total 1 replies
Arvilia_Agustin
Aku kasih bunga ni thor
Arvilia_Agustin: sama-sama
Ai: Makasih /Heart/
total 2 replies
Alletaa
done ya, sudah mampir nih
Bilqies
hai Thor aku mampir niih
marrydianaa26
mampir thor nyicil wkwkkw,semangat updatenya walau aku bacanya nyicil😄
Bilqies
aku mampir lagi Thor /Smile/
Bilqies
aku mampir Thor /Smile/
Bilqies
aku mampir lagi Thor
mampir juga ya di karyaku
terima kasih 🙏
Angel Beats
sudah mampir yah kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!