"Assalamualaikum, boleh nggak Alice masuk ke hati Om dokter?" Alice Rain menyengir.
Penari ice skating menyukai dokter yang juga dipanggil dengan sebutan Ustadz. Fakhri Ramadhan harus selalu menghela napas saat berdiri bersisian dengan gadis tengil itu.
Rupanya, menikahi seorang ustadz, dosen, sekaligus dokter yang sangat tampan tidak sama gambarannya dengan apa yang Alice bayangkan sebelumnya.
Happy reading 💋
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar gembira
Malam sebelum Fachry memutuskan untuk meng-khitbah Alice Rain, tentu saja ustadz yang sekarang disebut dokter itu melakukan ritual keintiman dengan sang Khaliq.
Shalat istikharah Fachry lakukan, meski tidak begitu lama prosesnya, tapi semua petunjuk yang didapat mengarahkan dirinya untuk menerima syarat aneh Sky Rain.
Fachry sempat mendatangi rumah Mas Rayyan untuk meminta pendapat, yah, meski bukan saudara kandung tapi keluarga Mas Rayyan lah yang memberikannya beasiswa dan dukungan secara penuh sampai dia bisa disebut ustadz dan dokter.
Di Jakarta sini, hanya Mas Rayyan, Dimas, dan Mbak Tyas saudara yang bisa Fachry datangi untuk meminta pendapat. Dan semua orang hampir mendukungnya termasuk Mas Rayyan sendiri.
Sky Rain masih keluarga jauh Mas Rayyan, yah walau sudah jauh tapi masih begitu dekat dan Mas Rayyan bisa memastikan jika dia akan berada di belakangnya untuk urusan ini.
Alasan itu bukan satu- satunya hal yang membuat Fachry bersedia menerima. Tapi, tuntutan keluarga di Semarang juga salah satu faktor yang memaksa Fachry setuju pada akhirnya.
Sebentar lagi puasa ramadhan dan lebaran akan tiba, pertanyaan mengerikan seputar kapan Fachry nikah harus ditepikan dengan adanya pernikahan itu sendiri. Umurnya 32 tahun, sudah sukses, banyak gelar, banyak prestasi, banyak pekerjaan, tapi Fachry tidak laku- laku.
Yah, mengalah pada keadaan. Mungkin ini garis hidup yang Allah kehendaki. Fachry hanya sedang mengikuti arus saja. Lagi pula, Sky Rain hanya memintanya menikahi Alice, bukan memintanya menjadi kekasih.
Melihat Alice pingsan dengan mulut terbuka seperti ikan kehausan membuat Fachry lebih yakin jika gadis itu terlampau manja. Tapi ya sudahlah, mungkin takdir berkata demikian.
Sky Rain memindahkan putrinya ke kamar serba merah mudanya. Dokter Fachry langsung melakukan pertolongan pertama.
Selain memeriksa napas dan denyut nadi di leher Alice. Fachry juga memposisikan kaki Alice agar 30 sentimeter lebih tinggi dari dada gadis itu, hal ini supaya aliran darah Alice kembali ke otak.
"Alice," sebut Fachry intens. Respon Alice pun cepat diterima, Fachry yakin ini hanya shock ringan saja, tidak perlu terlalu dikhawatirkan.
Terlihat Alice membuka matanya. Fachry menyuruh Dewi memberikan sedikit teh manisnya, sebelumnya memang Fachry meminta disiapkan itu agar gula darah dan energi yang diperlukan tubuh Alice kembali.
"Ini beneran nggak sih?" Alice menatap Fachry yang berdiri di ujung ranjangnya, tapi gumaman kecilnya ditujukan pada telinga Dewi.
"Bener!" Dewi juga berbisik. Mereka cubit- cubitan saking tak percayanya dengan lamaran mendadak dokter Fachry.
Bagaimana cara Alice percaya? Kemarin dokter itu baru saja mengatai tampilan hijabnya lalu hari ini dokter itu melamar, benar- benar definisi hidup adalah misteri.
"Sesak napas?"
"Sakit kepala?"
"Lemas?"
Alice berulang kali menggeleng demi menjawab pertanyaan Fachry. Gadis itu masih tampak kebingungan dan Fachry tahu, ini karena lamarannya yang tiba- tiba.
Fachry menyuruh Alice menggerakkan kaki dan tangan. Setidaknya, itu langkah yang biasanya dilakukan seorang dokter ketika menangani pasien yang tersadar setelah pingsan.
"Bagus, semuanya baik," ucap Fachry.
Alice mengangguk pelan, ingin menahan agar tak tersenyum tapi tidak bisa. Bahkan, Alice ingin segera berteriak sekeras- kerasnya sebagai bentuk selebrasinya.
"Kita bicara di luar." Sky Rain mengajak calon menantunya keluar sebelum dia berputar dan ngeluyur keluar kamar.
Fachry bersedia, lelaki- lelaki tampan itu berdiri saling berhadapan. "Kau dalam pantauan ku," peringat Sky.
"Tidak perlu takut, Tuan. Ada Allah yang mengawasi ku." Fachry bicara seramah dan seyakin itu meski kemarin sempat dibuat dongkol oleh cara arogan Sky Rain.
"Allah lebih maha tahu dari pada antek antek, Tuan yang banyak itu."
...🎬🎬🎬...
^^^🎬🎬🎬^^^
🎬🎬🎬
"Masha Allah, Fachry!" Widya, nama perempuan paruh baya tersebut. Widya memeluk putranya dengan keharuan.
Widya, seorang ibu janda dari satu anak yang sudah bisa mengangkat derajatnya, Widya bahagia, gegap gempita tiada tara setelah putranya memberikan kabar akan menikah.
"Mana calonnya, Le?" tanya Widya. Dan Fachry menunjukkan lembaran foto Alice pada ibunya.
"Oalah," beo Widya sambil mengerut kening yang kebingungan. "Tapi Le, ini beneran manusia tah?" tanyanya memastikan.
"Nggih, Buk. Mosok jin?" Fachry tertawa, ibunya tampak tak percaya dengan ucapannya yang barusan tercetus.
"Tak kirain boneka Jepang." Widya lalu menatap tajam putranya. "Ojo ya Le, walau pun kamu bujang tua, tapi ojo nikah karo boneka Jepang!"
"Astaghfirullah," sebut Fachry. Dirinya dibuat tertawa karena kepolosan ibunya.
"Tapi iki asli wedok?" tanya Widya kembali.
"Nggih asli, Buk." Entahlah, Fachry juga tak berekspektasi jika dirinya akan menikahi gadis yang lebih mirip boneka.
Widya terkakak setelah percaya. "Oalah, mimpi apa Ibu ya Le, Ibu bakal punya mantu yang cantik koyok Barbie begini!" soraknya.
Widya saking bahagianya, wanita itu berlari keluar, lalu berseru keras. "Yuk, Yuk, Fachry mau nikah, Yuk!"
Seluruh tetangganya wajib tahu, apa lagi yang sering menyindir Fachry bujang tua, mereka harus mendengar berita ini. "Dengerin, woro woro," serunya.
"Karo sopo?" tanya satu tetangganya.
"Karo boneka Jepang!" Widya tertawa geli sendiri setelah itu. "Ya karo menungso lah, wedok'an ayu!" katanya antusias.
"Mana calonnya?"
Widya menepisnya dengan greget. "Wes nanti saja di Jakarta kita lihat, Fachry anakku nggak mungkin bohong!"
"Tapi yang sebelumnya juga gagal!" Satu tetangganya lagi mencibir. Dulu Fachry diberitakan mendapat calon istri yang cantik dan kaya raya, tapi selingkuh.
"Lah, piye to kih!" sentak Widya. "Bolu rengginang! Lain dulu lain sekarang!"
"Halah, palingan digagalkan lagi!" sela satu tetangganya menimpali.
Tentu hal itu membuat Widya semakin berang dan ingin menerkam. "Eh, sembarangan, amit amit cangkem mu kui!"
"Udah Buk!" Fachry berlari dari rumah, menghalau ibunya yang ingin menjambak rambut tetangga julid-nya.
"Itu cocote ki loh! Pengen Ibu rujak!"
Sebisa mungkin Fachry membawa ibunya masuk kembali ke dalam rumah. Widya masih bergemuruh, dadanya naik turun karena buncahan amarahnya.
"Ibu kenapa sih suka sekali ribut?" Fachry menegur.
"Ya harus, demi membela kamu, ibu rela masuk neraka!" lantang Widya.
Fachry menghela napas. "Astaghfirullah, nggak boleh ngomong begitu," tegurnya.
Widya berdecak lidah. "Kadang Ibu nyesel kenapa punya anak ustadz, jadi nggak bebas mengekspresikan diri," gerutunya.
"Astaghfirullah." Lagi dan lagi Fachry dibuat beristighfar.
"Jadi nama calonmu siapa, Le?"
"Alice."
"Alis?" Widya terlonjak. "Lah kok nggak sekalian lipstik?" celetuknya.
Fachry tertawa geli. Fachry lalu meletakkan kepalanya di atas pangkuan Widya yang lekas membelainya. "Fachry kangen sama Ibu."
"Alis bisa masak kan?" Pertanyaan yang membuat Fachry terdiam semiliar bahasa.