"Aku emang cinta sama kamu. Tapi, maaf ... kamu enggak ada di rencana masa depanku."
Tanganku gemetar memegang alat tes kehamilan yang bergaris dua. Tak bisa kupercaya! Setelah tiga bulan hubunganku dengannya berakhir menyakitkan dengan goresan luka yang ia tinggalkan, aku malah mengandung darah dagingnya.
Saat itu juga, aku merasakan duniaku berotasi tidak normal. Aku terisak di sudut ruangan yang temaram. Menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Namun, satu yang aku yakini, hidup itu ... bukan pelarian, melainkan harus dihadapi.
Adaptasi dari cerpen Aku Sudah Memaafkan, ©2022, Yu Aotian
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 : Masa Depan yang Belum Terencana
Hanya saja, untuk hubungan yang sudah terlalu jauh seperti ini, kami belum pernah membicarakan masa depan. Usiaku saat ini telah menginjak dua puluh satu tahun, sementara dia berumur dua puluh lima tahun. Masih terlalu muda, memang. Namun, bukankah setiap pasangan akan memiliki rencana tentang arah hubungan ke depan?
Sama seperti perempuan pada umumnya, aku pun memimpikan hendak memakai gaun pengantin dan berjalan bergandengan tangan dengannya menuju tempat pelaksanaan upacara pernikahan suatu saat nanti. Apakah khayalanku terlalu tinggi? Apakah aku terlalu rakus jika menginginkan itu terjadi pada kami suatu saat nanti?
Sayangnya, untuk sekadar mengenalkan aku pada keluarganya, belum pernah ia lakukan. Padahal, aku ingin mengetahui respon keluarganya. Ia pun tampak seperti tak tertarik mengulik latar belakang keluargaku lebih jauh. Aku hanya bisa berpikir positif, mungkin belum saatnya. Mengingat, aku seorang mahasiswa dan jalan untuk menjadi dokter masih terbentang panjang. Mungkin saja dia hanya ingin aku fokus pada kuliahku untuk saat ini. Atau mungkin juga dia berencana melanjutkan kuliah kedokteran bidang spesialis. Orang sepertinya, tentu tak puas jika hanya menyandang dokter umum, 'kan?
Lagi pula, jarang ada dokter yang menikah muda. Rata-rata dokter akan menikah setelah selesai mengambil kuliah spesialis. Yang artinya, masih harus menunggu sekitar lima tahunan. Tidak apa-apa. Selagi dia tetap berada di sisiku dan tidak berubah, itu sudah cukup. Ya, sudah cukup bagiku.
Ini sudah mendekati akhir tahun. Aku berdiri di depan kos-kosanku sambil menunggu kedatangan kak Evan yang hendak menjemputku. Malam ini dia akan mengajakku jalan-jalan. Aku sangat senang, karena sejak perayaan anniversary, kami belum bertemu lagi.
Aku melihat ke arah jam tanganku. Setengah jam yang lalu dia memang mengatakan akan sedikit terlambat. Tak masalah. Aku akan tetap menunggunya. Apalagi, butuh waktu satu jam dari rumah sakit tempatnya bekerja menuju ke kosku.
Selang sepuluh menit kemudian, dia meneleponku. Aku segera menerima panggilan itu.
"Sayang, maafin aku. Aku belum bisa pulang, nih. Ada banyak pasien di IGD. Dokter yang jaga cuma aku, yang mau gantiin aku lagi berhalangan di jalan," ucapnya tergesa-gesa. Di sekelilingnya terdengar suara-suara dari perawat yang juga sedang sibuk.
"Oh, ya sudah kalo gitu kapan-kapan aja."
"Maafin aku, ya, Sayang?"
"Iya, gak papa kok."
"Makasih, ya, dah ngertiin aku."
Hari-hari berikutnya, kami berhasil bertemu dan menyempatkan waktu makan bersama. Namun, baru saja memesan makanan, dia sudah ditelepon kembali dan harus segera pergi. Aku pun ditinggal makan sendiri.
Apa aku marah? Tentu tidak! Karena aku seorang calon dokter, maka aku sangat tahu jika memiliki pasangan seorang dokter, harus selalu siap menghadapi hal-hal di luar rencana. Aku juga tahu, ada sesuatu yang lebih penting dan harus diprioritaskan di atas segalanya, yaitu pasiennya. Jadi, aku harus menghindari segala drama marah, kesal atau diam-diaman berhari-hari.
Aku kembali menjalani rutinitas sebagai mahasiswa akhir. Semakin naik semester, maka mahasiswa akan tersaring dengan sendirinya. Ada yang pindah fakultas karena tak sanggup, ada juga yang cuti dengan alasan tak jelas, ada juga yang berhenti karena mengaku kehabisan biaya, stress dan depresi. Teman-teman angkatanku yang dulunya hedonisme dan sering dugem, kini mengaku sama sekali tak punya waktu untuk bersantai. Aku sendiri mulai pusing dengan bahan penelitianku.
Aku duduk di sudut kelas sembari melempar pandanganku ke jendela. Suara bising musik terdengar riuh mengisi ruangan. Demam Gangnam style sedang mewabah seluruh dunia. Semua orang, tak terkecuali teman-teman angkatanku, senang memeragakan tarian mirip berpacu kuda sambil menyanyikan lagu Gangnam style dari Korea Selatan.
Arai mendadak muncul di hadapanku sambil memperagakan tarian Gangnam style. "Hey... Sexy ladies ... op ... op ... Oppa ganggam style!"
"Dasar stress!" cetusku sambil kembali melengos ke jendela.
Dia langsung duduk di sampingku sambil berkata, "Justru kau yang kelihatan stress, makanya aku coba hibur! Coba lihat muka kau, tuh! dari wajahmu aja itu udah bisa ketahuan wajah yang kurang perhatian dari ayang. Biar aku diagnosa lebih dalam!" ucapnya sambil memandangku saksama, "sepertinya Anda mengalami tekanan batin karena sering menahan rindu pada seseorang."
"Ngeledek, ya?" ketusku.
"Mana ada?" ucapnya sambil menyandarkan kepala di dinding, "bukan cuma kau yang kangen dia, aku juga. Harap maklumlah, dia masih magang. Entar kalo rumah sakit milik keluarganya dah jadi, dia bakal bebas ngatur sendiri jadwalnya."
"Keluarga kak Evan lagi bangun rumah sakit?" tanyaku setengah kaget.
"Iya, proyeknya sudah dikerjakan lima tahun belakangan. Kata pamanku, itu bakal jadi rumah sakit swasta terbesar dengan fasilitas yang lengkap dan mewah. Sebentar lagi juga bakal rampung. Suatu saat nanti, dia akan jadi kepala rumah sakit di sana. Jadi, kau harus mendukungnya saat ini."
"Kamu bakal kerja di sana juga, kan?"
"Aku? Aku mau pulang ke kampung halamanku. Mengabdi untuk wilayahku sendiri soalnya di sana masih kekurangan dokter. Aku juga kangen sama umakku. Kau sendiri apa ndak pulang kampung selesai kuliah nanti? Atau ... kau ingin terus di sini, ya?" tanyanya padaku.
Aku bergeming sejenak. Terlalu lama nyaman berada di sisi kak Evan membuatku lupa dengan keluarga dan kampung halaman sendiri. Tahun lalu, ibu memintaku pulang tapi aku beralasan sangat sibuk dengan tugas. Ibu sendiri tak memaksa meski aku tak pulang-pulang. Jujur, jika boleh memilih, aku ingin terus berada di Jakarta agar bisa berada di sisi kak Evan.
Hubunganku dan kak Evan terus berlanjut hingga pergantian tahun. Masa-masa saat di sedang koas seakan kembali terulang, di mana kami jarang bertemu tapi tetap berkomunikasi dengan lancar. Meski begitu, kami masih merayakan tahun baru bersama.
Tepat di hari valentine, dia mengajakku makan malam bersama. Aku sudah menunggu jemputannya di depan jalan seperti biasa. Kupegang sebuah bingkai yang berisi boneka miniatur sepasang laki-laki dan perempuan yang memakai jas dokter sebagai simbol kami berdua. Boneka miniatur dari bahan flanel itu kubuat sendiri sebagai hadiah valentine untuknya.
Sembari menunggu, aku mengambil cermin kecil dalam tas untuk mengecek kembali penampilanku. Aku baru saja mengubah tampilan rambutku. Rambutku yang panjang dan lurus kini kuubah bentuk menjadi keriting gantung. Demi mendapatkan model gaya rambut cantik bak Barbie seperti ini, aku rela merogoh uang ratusan rupiah ke salon. Aku hanya tidak ingin dia merasa bosan dengan penampilanku yang monoton dari tahun ke tahun.
"Sayang, sorry aku gak jadi datang ke sana. Ayah aku mendadak minta aku hadiri acara makan malam keluarga," ucapnya lewat saluran telepon.
Aku bergeming hingga beberapa detik.
"Sayang?" panggilnya, "kamu marah, ya?"
"Tidak kok," balasku setelah sekian lama terdiam, "ya, udah kak Evan ikut makan malam keluarga aja."
"Kamu gak papa?" tanyanya dengan nada sungkan.
"Enggak. Lagian, aku juga belum sempat dandan." Aku berusaha mengatur nada bicaraku agar terdengar biasa saja.
"Makasih, ya, dah ngertiin aku."
Usai menutup telepon, aku berjalan lemas menuju kamar kos sambil memeluk bingkisan yang akan kuberikan padanya. Aku menatap kembali bayang wajahku di depan cermin. Entah kenapa tak bisa membohongi diri kalau aku sedang kecewa. Mungkin karena alasan membatalkan kali ini bukan pekerjaan. Jika untuk menghadiri acara makan malam keluarga, kenapa tidak mengajakku juga?
Ternyata, pertemuan berikutnya pun masih sama. Lagi-lagi dia membatalkannya di saat aku sudah bersiap dan menunggunya. Dia yang membuat janji, dia juga yang membatalkannya dengan alasan yang sama seperti Minggu lalu. Sepertinya keluarganya sangat senang mengadakan makan malam akhir-akhir ini.
"Maaf, ya, Sayang, kalo ada waktu aku pasti bakal nemuin kamu di kos."
"Iya, gak papa."
"Makasih, ya, dah ngertiin aku."
Kata-kata itu menjadi kalimat favoritnya akhir-akhir ini.
.
.
.
Like dan komeng
lagi lagi arai yg jdi penolongnya
Arai > Wong yibo
Dion > Dikta wicaksono mimik mukanya kayak gambarin Dion menurutku sih. dari pemikiran aku sih
tp aneh, kenapa ada jempol nakal yg rate jeblok, mau drama atau mau diperhatiin penulisnya dia lakuin itu
mangkanya jangan asal cemburuu
senja memang selalu memberikan arti tersendiri utk evan