Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Kedatangan Eliza
Satu jam kemudian, di kamar 506, suasana tampak lebih tenang.
Mama Riri usai menghabiskan makannya, duduk di kursi dekat jendela sambil menatap anak dan menantunya bergantian.
“Terima kasih ya, Nak Arjuna. Kamu selalu bisa diandalkan.”
Arjuna hanya menunduk. “Sama-sama Ma. Sekarang Mama istirahat dulu. Biar aku yang jagain Lidya malam ini.”
“Tapi kamu—”
“Nggak pa-pa Ma, biar aku yang jagain. Mama juga jangan terlalu kecapean, nanti darah tingginya takut kumat.“
Lidya spontan menatapnya, ada kejutan kecil di matanya. Tapi ia buru-buru memalingkan wajah. “Aku nggak butuh dijagain, Kak. Sebaiknya pulang saja, ada mama kok di sini.”
“Tapi aku mau,” jawab Arjuna datar.
Pernyataan sederhana itu justru membuat dada Lidya bergetar. Ia menunduk, menyembunyikan wajah yang tiba-tiba panas.
Suasana kembali sunyi sampai akhirnya terdengar suara langkah sepatu hak tinggi dari luar.
Pintu kamar terbuka pelan.
“Eliza.”
Suara Mama Riri terdengar lega sekaligus tegang.
Wanita itu berdiri di ambang pintu — penampilannya masih rapi, tapi wajahnya tampak murung.
Tatapannya langsung tertuju pada Arjuna yang sedang berdiri di sisi ranjang Lidya.
“Mas, kamu masih di sini?” katanya datar.
Arjuna hanya mengangguk. “Mmm, sejak tadi sore.”
Eliza berjalan masuk, meletakkan tas di meja dengan gerakan agak keras. “Kamu sengaja ya nggak angkat teleponku. Aku nungguin transferan dari sore, lho. Aku sampai malu sama teman-temanku, gara-gara nggak jadi beli tasnya.”
Mama Riri buru-buru menengahi. “Eliza, kamu baru nyampe kok langsung kayak orang marah-marah begitu sama suami kamu. Adikmu lagi sakit.”
Eliza memandang ibunya sekilas seperti tak peduli, lalu menatap Lidya yang tampak gugup. “Kamu sakit apa sih sampai bisa dirawat begini, biasanya juga kalau sakit ya di rumah? Jangan manja bener jadi orang."
“Demam, Kak,” jawab Lidya pelan.
“Oh.” Nada suaranya datar, tapi matanya tak bisa lepas dari posisi Arjuna yang berdiri terlalu dekat dengan ranjang. “Terus Mas Arjuna di sini dari tadi sore? Tumben?”
Arjuna menatapnya tenang. “Aku di sini karena Mama pas telepon kamu-nya nggak bisa dihubungi. Lidya pingsan di rumah. Makanya aku langsung datang ke sini, memangnya kamu tega lihat Mama mengurus Lidya sendiri? Aku sebagai menantu tidak tega biarkan Mama mengurus sendiri.”
Jawaban itu membuat udara menegang. Mama Riri menatap keduanya bergantian, sementara Lidya menunduk makin dalam, berusaha menghindari tatapan kakaknya.
Eliza menatap suaminya lama. “Kamu bahkan nggak sempat balas pesanku, tapi sempat ya ngurus Lidya, ya? Pesan makanan?” Ia sempat melihat bungkusan makanan. Hanya tidak jadi beli tas, semua yang ada jadi merembet ke mana-mana.
Arjuna tidak menjawab. Ia hanya mengambil jasnya, lalu berkata pelan, “Kamu baru datang, kan? Temani adikmu. Aku keluar dulu, cari udara segar.” Ia memilih menghindari keributan di depan mertua dan adik iparnya.
Begitu ia melangkah keluar, Eliza masih menatap pintu yang baru saja tertutup. Tangannya mengepal di atas paha.
“Ck ... dia aneh sekarang, Ma,” katanya pelan, suara bergetar. “Dulu nggak pernah begini. Biasanya kalau aku minta uang tuh, pasti langsung cepat ditransfer. “
Mama Riri menarik napas panjang, menepuk bahunya lembut. “Mungkin dia cuma lelah, Nak. Banyak pekerjaan di kantor. Jangan salah paham dulu. Arjuna juga sejak tadi bantu Mama di sini. Lagian, kamu minta uang buat apa lagi? Memangnya uang bulanan dari suami kamu itu masih kurang? Dan, kamu pun juga salah ... datang-datang menegur suami seperti dia anak buahmu. Sebagai suami, Arjun pasti tersinggung dengan sikapmu barusan."
“Ck, sih Mama, kayak nggak tahu aku aja. Aku tuh mau beli tas baru, stocknya terbatas. Biar aku bisa pamer pas kumpul ama teman-teman. Dan, uang Mas Arjun tuh banyak. Gara-gara nggak ditransfer, aku kan jadi malu sama teman ... mana udah di depan kasir. Makanya aku kesal sama Mas Arjun.”
Mama Riri tersenyum miris mendengarnya. “Mau sebanyak apa pun uang suamimu, sebagai istri bukan berarti harus dihambur-hamburkan. Bijaklah dalam memakai uang, El! Sudah cukup gaya hedonmu itu, El. Secinta-cintanya seorang suami, dia pasti punya rasa kecewa lihat gaya istrinya. Coba pikir-pikir, yang cari nafkah itu suamimu, bukan kamu yang cari uang. Kalau kamu punya penghasilan sendiri, terserah kamu mau beli apa aja. Tapi Mama ingatkan kamu ... tidak ada manfaatnya kamu pamer kekayaan pada teman-temanmu itu. Karena begitu kamu terjatuh, teman-temanmu bisa saja akan menjauh darimu. Jadi ... bertemanlah apa adanya, bukan karena ada apanya.”
Jleb! Cukup menyentil perasaan Eliza.
“Ah, sih Mama ini ... nggak usah pakai ceramah segala deh. Aku nggak butuh diceramahi.”
"Mama hanya mengingatkan saja, El. Sebelum kamu menyesal nanti."
"Arrgh, Mama stop, aku mau ke Lidya!" Suaranya agak meninggi, menolak apa pun yang dikatakan oleh mamanya.
“El,” panggil Mama Riri dengan suara lembut, “jangan keras-keras bicara, adikmu lagi sakit."
Eliza menatap ibunya sekilas, lalu menarik napas panjang. “Iya, Ma. Aku cuma mau ngobrol sebentar kok.”
Ia melangkah mendekat ke ranjang Lidya. Tumit sepatunya beradu pelan dengan lantai marmer, suara khas dari hak tinggi yang selalu membuat Lidya merasa kecil di hadapan kakaknya. Wajah Eliza masih menampilkan senyum, tapi matanya tajam—penuh tanya yang belum terucap.
“Jadi, gimana, Lid?” Suara itu terdengar ringan tapi menusuk. “Selama di Yogyakarta kalian berdua ngapain aja? Kamu bilang Mas Arjuna sibuk banget di sana, ya?”
Lidya yang semula bersandar, menegakkan punggung pelan. “I-iya, Kak. Kak Arjun memang sibuk. Banyak rapat dan survei proyek. Aku lebih banyak di hotel ngurus dokumen.”
Eliza menatapnya tajam, seolah ingin mengukur kejujuran di balik kata-kata itu. “Kamu di hotel terus? Nggak keluar bareng? Nggak ada urusan bareng juga?”
“Kadang hanya makan bareng pas sarapan,” jawab Lidya hati-hati, menunduk. “Tapi kebanyakan Kak Arjun keluar sama tim proyek. Aku nggak ikut.” Ia menjawab apa adanya.
“Hmm.” Eliza menyandarkan tubuh ke dinding, menyilangkan tangan di dada. “Aneh aja. Biasanya kalau dinas keluar kota, dia selalu kasih kabar detail. Tapi yang kemarin, dia kayak beda. Pulang juga ... lebih banyak diam, nggak banyak cerita.”
Mama Riri menatap mereka berdua bergantian, berusaha tersenyum menenangkan. “Eliza, jangan berprasangka buruk dulu, Nak. Mungkin Arjuna cuma lelah. Kamu sebagai istri harusnya lebih memahaminya. Kalau merasa ada yang aneh, bicarakan dalam kondisi yang tenang."
Tapi Eliza tidak berhenti. “Lelah, Ma? Atau ada yang dia sembunyikan ... aku paling benci kalau dibohongi?”
Bersambung .... ✍️
Farel, mainkan peranmu sebaik mungkin 🤣🤣🤣 mari kita bwt Arjuna makin merana hidupnya, wkwkwkwk
aq g yakin Arjuna akan selalu bersikap dingin klo dia meliat dengan mata kepala sendiri kamu d jemput cowo,,apalagi klo cowo nya lebih ganteng dr Arjuna..d jamin tuh s kaka ipar g bakalan tenang hidup nyaaa /Joyful//Joyful/