Dara

"Paman Robby, bawalah Kakek pulang, nanti siang aku akan mengantarkan obat setelah Kakek meramunya." Ucap Dara.

"Nona! Anda tidak perlu repot, telepon saja aku, maka aku akan mengambilnya kesana." Sahut Robby.

Dara tersenyum, "Paman terlalu sopan padaku. Aku ingin bertanya, Paman Robby dan Kakek Suganda kenapa begitu hormat padaku?"

"Eh.. Nona, itu memang harus." Yang menjawab adalah Suganda.

"Harus, ya? Kenapa aku tidak tahu?" Tanya Dara lagi.

"Eh, Dara, buat apa kamu tanyakan itu? Ayo cepat pulang. Kakek akan segera meramu obat untuk Kakekmu itu. Kamu tidak perlu menanyakan hal-hal yang membuat orang tidak bisa menjawab. Kamu terlalu banyak bertanya." Orang tua Kakeknya Dara segera memegang tangan Dara dan menariknya pergi. Dara hanya patuh saja.

Suganda yang awalnya membawa Dara, akhirnya dia mengantarkannya kembali. Namun Dara tidak langsung pergi ke kampus, dia langsung ikut kakeknya ke kediaman mereka.

"Kakek, apakah aku benar-benar punya uang banyak di kartu ini? Itu yang dikatakan Paman Robby." Tanya Dara.

Kakek tersenyum, wajah tuanya itu terlihat bersedih dengan senyumannya, "Jika itu yang mengatakan Robby, tentu saja itu benar. Kamu bisa menggunakan uang itu untuk apa saja yang kamu mau. Tapi kamu jangan boros. Kamu harus menggunakan uang itu untuk hal yang berguna."

"Kakek, bagaimana kalau kita membeli mobil baru?" Dara mulai bersemangat.

"Aih, buat apa? Kamu juga belum memiliki surat mengemudi. Kamu harus memilikinya dulu." Kakek sebenarnya setuju saja jika Dara benar-benar membeli rumah atau mobil. Namun dia tidak ingin Dara berubah dalam kepribadian.

Mereka pun akhirnya sampai di rumah. Setelah mengantar ramuan untuk Kakek Hadinata, Dara langsung kembali ke asrama.

Sebelum sampai di asrama, Dara melihat dua orang laki-laki perempuan berumur tiga puluh lima tahunan sedang duduk di bawah pohon. Juga seorang pemuda berusia sekitar lima tiga belas tahun. Terlihat si wanita sedang mengandung. Wanita terlihat menangis.

Dilihat dari penampilan, mereka sebenarnya seperti bukan orang biasa. Di dekat mereka, ada tas besar mungkin saja berisi pakaian. Laki-laki itu terlihat cukup tampan dan si wanita juga cantik. Dara menghampiri mereka.

"Paman, Bibi, ada apa?" Dara memberanikan diri bertanya.

Laki-laki itu menoleh, dilihatnya Dara yabg menyapanya tadi. Laki-laki itu tidak menjawab.

"Bisakah aku menolong kalian?" Tanya Dara lagi.

"Maaf adik kecil, terimakasih atas tawaranmu. Tapi kami tidak butuh bantuan." Jawab laki-laki itu.

"Sepertinya Bibi akan segera melahirkan. Paman, bawalah Bibi ke rumah sakit. Aku akan mencarikan mobil untuk kalian." Ucap Dara.

"Tidak perlu, Adik Kecil. Kami tidak punya uang." Sahut laki-laki itu. Diam-diam Dara menelepon Kakek Suganda agar mendatanginya. Setelah mengirimkan lokasi, Dara kemudian mendekati si wanita, lalu memegang tangannya.

"Paman, kurang dari satu jam, Bibi akan seg3ra melahirkan. Aku sudah menelepon seseorang untuk membawa kalian ke rumah sakit. Soal biaya, Paman jangan pikirkan." Kata Dara.

Hanya berselang sepuluh menit, Suganda sendiri yang datang membawa mobil. Ia keluar dan segera menemui Dara.

"Kakek, kenapa Anda tidak menyuruh sopir saja?" Dara terkejut.

Suganda membungkuk, "Tidak apa-apa, Nona! Aku bisa membawanya ke rumah sakit."

Dara.merasa tidak enak. "Terimakasih, Kakek!"

"Paman! Cepat bawa Bibi ke rumah sakit!"

Lalu mereka pun segera naik ke mobil dan menuju rumah sakit. Ada logo Diora dilihat oleh Dara. Dia berharap kartunya bisa digunakan di sini. Namun jika tidak, dia akan mengambil uang dari kartu banknya yang diberikan oleh Bank Diora.

Para petugas segera membawa pasien ke ruang gawat darurat. Dara dan Suganda mengikuti mereka. Hanya berselang beberapa menit, si laki-laki menemui Dara.

"Nona, dokter mengatakan kalau istriku harus dioperasi. Aku sama sekali tidak punya uang." Ucap laki-laki itu.

"Paman, ikutlah aku ke loket pembayaran!" Dara langsung mengajak lali-laki itu ke loket dan segera melunasi tagihan yang harus dibayar sebelum operasi dilakukan.