Mentari merupakan seorang perempuan yang baik hati, lembut, dan penuh perhatian. Ia juga begitu mencintai sang suami yang telah mendampinginya selama 5 tahun ini. Biarpun kerap mendapatkan perlakuan kasar dan semena-mena dari mertua maupun iparnya , Mentari tetap bersikap baik dan tak pernah membalas setiap perlakuan buruk mereka.
Mertuanya juga menganggap dirinya tak lebih dari benalu yang hanya bisa menempel dan mengambil keuntungan dari anak lelakinya. Tapi Mentari tetap bersabar. Berharap kesabarannya berbuah manis dan keluarga sang suami perlahan menerimanya dengan tangan terbuka.
Hingga satu kejadian membuka matanya bahwa baik suami maupun mertuanya dan iparnya sama saja. Sang suami kedapatan selingkuh di belakangnya. Hanya karena pendidikannya tak tinggi dan belum juga dikaruniai seorang anak, mereka pun menusuknya dari belakang.
Tak terima perlakuan mereka, Mentari pun bertindak. Ia pun membungkam mulut mereka semua dan menunjukkan siapakah benalu sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TIGA PULUH DUA
"Bel, tolong antar saya ke pantai ya!" tukas Mentari dengan sorot mata fokus ke luar jendela mobilnya. Pandangannya tampak mengabur karena tertutup embun bening yang siap meluncur kapan saja.
"Baik, nona," sahut Belinda, sang asisten yang baru hari ini aktif bekerja bersamanya.
Kurang lebih satu jam kemudian, mobil yang dikendarai Belinda pun telah memasuki kawasan pantai. Kemudian, Mentari pun segera turun dan melepaskan heelsnya. Tanpa alas kaki, ia menapaki butiran pasir hingga ke bibir pantai. Sesekali gelombang air mengenai kakinya, menghantarkan rasa nyaman.
Mentari memejamkan mata, kepalanya mendongak, seolah menantang langit yang tengah tersenyum sendu. Ya, cuaca hari itu tidak begitu terik, seolah mereka pun turut merasakan kehancuran yang menerpa jiwa Mentari saat ini.
Mentari membuka matanya lalu tersenyum saat melihat sang mentari yang berselimut awan, sama seperti dirinya saat ini, yang tengah diselimuti kesedihan. Setegar-tegarnya seorang perempuan, hatinya pasti memiliki sisi rapuh. Begitu pula Mentari, meskipun ia mencoba menyembunyikan kerapuhan itu, di kala sendiri seperti ini, kerapuhan itu pasti terlihat jelas dan nyata. Terbukti dari pipinya yang sudah mulai basah karena bah air asin yang telah berlomba-lomba keluar dari netranya.
Sungguh, butuh kekuatan ekstra untuk berdebat dengan orang-orang yang pernah ia anggap keluarga itu. Tanpa satupun yang menyadari, sebenarnya saat itu hatinya begitu berkecamuk. Jantungnya berdegup dengan kencang. Dadanya bergemuruh namun ia tutupi segalanya dengan memasang wajah tenang.
Tidak memiliki keluarga lagi, membuat Mentari sekuat tenaga berupaya membahagiakan keluarga barunya itu. Meskipun harus mengeraskan hatinya karena terus mendapatkan cacian dan cemoohan, ia terima. Tapi saat semua perjuangan dan pengorbanannya tak dianggap sama sekali, jadilah hatinya hancur menjadi serpihan demi serpihan yang tak mungkin dapat dipersatukan kembali. Ia tak kuasa untuk bertahan maupun menahan, akhirnya hari ini emosinya pecah dan tumpah ruah.
Dari jauh, Bela hanya bisa memandangi bahu atasannya yang bergetar. Ia sangat tahu, atasannya itu sedang menumpahkan segala kesedihannya dengan air mata. Ia bahkan begitu salut dengan Mentari, sebab ia bisa mengontrol dirinya agar tetap bersikap dengan tenang saat menghadapi orang-orang yang telah menorehkan luka di hatinya dengan begitu mendalam. Bila itu dia, mungkin Belinda akan kehilangan kesabaran dan langsung mencaci maki dan memberikan pelajaran secara langsung. Tapi Mentari tidak, ia membalas orang-orang yang menyakitinya dengan cantik dan tenang. Ia tak mau bertindak gegabah. Bahkan bila dipikir-pikir, Mentari bukannya tengah membalas, melainkan tengah mengambil apa yang memang miliknya. Jadi, kalau sampai orang-orang itu kehilangan tempat tinggal, itu bukanlah salahnya. Kan memang rumah itu milik Mentari sendiri.
Sementara itu, di rumah lama Mentari, tampak Erna, Rohani, dan Septi berteriak-teriak, berharap orang-orang yang hendak menghancurkan rumah mewah itu menghentikan aksinya yang tengah menghancurkan rumah besar itu.
Tampak buldozer telah bergerak merobohkan pagar rumah megah itu. Di susul kemudian sebuah cane terlontar ke bagian depan rumah sehingga satu persatu temboknya hancur berkeping-keping.
Erna, Rohani, dan Septi meraung-raung, bahkan mereka berlari hendak menghalangi buldozer makin maju untuk meratakan area lain. Namun, para warga yang melihat segera menghentikan mereka. Toh tak ada gunanya menghalangi, bila pemiliknya memang berniat menghancurkannya, mereka bisa apa. Mereka tak ada hal untuk mencegah.
"Hentikan!!!! Jangan hancurkan rumahku!!!!" pekik Erna dengan wajah merah padam.
"Hei, kamu, cepat turun! Ini rumah anak saya, bukan rumah perempuan mandul itu! Jangan hancurkan rumah ini!" teriak Rohani dengan nafas memburu.
"Hei, kalian kenapa cuma nonton aja! Tolongin kek! Usir orang-orang yang mau menghancurkan rumah kakak saya!" teriak Septi pada para warga yang hanya menonton adegan penghancuran rumah mewah itu , bukan lagi menjadi puing-puing, tapi serpihan. Adegan itu seakan menggambarkan betapa hancurnya hati seorang perempuan hingga membentuk serpihan yang tak berbentuk lagi akibat perbuatan orang-orang yang sedang berusaha menghentikan proses penghancuran rumah itu.
Bukannya iba dan berniat membantu, orang-orang itu justru mencemooh. Dari sikap Septi yang angkuh padahal hendak meminta tolong, membuat mereka justru mencibir dan menganggap wajar saja sang pemilik rumah memilih menghancurkan rumah mewah tersebut daripada dihuni oleh manusia-manusia parasit seperti Septi dan keluarga.
"Ck ... wajar aja pemiliknya mau hancurin rumah ini, lah keluarga mereka aja sombong dan kurang ajar kayak gini. Mau minta tolong tapi kasar."
"Iya, ogah deh mau bantu!"
"Dasar, kumpulan manusia parasit!"
Mereka justru bersorak saat perlahan rumah itu hancur. Pilar-pilar kokohnya telah roboh satu persatu. Dindingnya pun mulai hancur dan atapnya pun telah runtuh. Rumah dua tingkat itu kini tinggallah puing-puing, kemudian buldozer kembali meringsek, melindas semua puing-puing itu hingga hancur membuat semua orang kian bersorak sambil mengabadikannya dengan video dan foto yang kemudian mereka sebarkan di sosial media. Seketika, berita penghancuran rumah oleh mantan istri sebagai pembalasan pada suaminya yang berselingkuh dan keluarganya yang gemar mencemooh serta caci maki pun viral. Wajah-wajah kacau Erna, Rohani, Septi, dan Shandi pun seketika memenuhi beranda media sosial. Karena malu banyak yang mengambil gambar mereka di saat begitu kacau, mereka pun terpaksa pergi dengan membawa bara amarah dan kebencian di dada.
"Mas, jadi kita mau kemana? Nggak mungkin kan kita ke rumah orang tua aku. Apa kata keluarga aku entar kalau tahu rumah besar yang selalu aku bangga-banggakan itu sudah hancur dan rata dengan tanah?" ketus Erna dengan kemarahan yang masih bercokol di dada.
Tapi karena masih dilanda kebingungan, Shandi hanya terdiam seribu bahasa. Ia bahkan tak sadar Erna tenaga bertanya padanya.
"Mas, kau dengar aku tidak sih?" bentak Erna dengan suara yang menggelegar membuat Shandi reflek mengerem mobilnya di tepi jalan.
Ciitttt ...
"Mas," pekik Erna karena terkejut. "Kau mau nyelakain aku, hah? Iya, pasti kamu berniat mencelakakan aku biar kamu bisa balikan lagi sama perempuan mandul itu, iya kan!" bentak Erna lagi membuat Shandi menggeram marah.
"Kamu bisa diam nggak sih?" bentak Shandi dengan mata memerah karena sudah dikuasai amarah. Shandi bahkan menatap tajam Erna membuat perempuan hamil itu terdiam. Ia sungguh tak menyangka, Shandi akan begitu marah padanya. Bahkan wajah marah Shandi terlihat begitu menyeramkan. "Kalau kau tidak bisa diam, lebih baik kau turun di sini! Cepat turun! Ayo, turun!" bentak Shandi lagi membuat nyali Erna tiba-tiba menciut lalu ia terisak kemudian meraung-raung.
"Kamu kejam, mas. Kamu jahat. Padahal aku sedang mengandung anak kamu, tapi kamu malah membentak aku. Kamu malah kasar sama aku. Kamu jahat, mas." raung Erna membuat Shandi meraup wajahnya dengan kasar kemudian kembali menyalakan mobilnya.
"Untuk sementara, kita pulang ke rumah mama saja. Mau ke hotel, buang-buang uang saja. Mau beli rumah, aku belum punya uangnya," ucap Shandi datar.
"Tapi ..."
"Tidak ada tapi-tapi. Kalau kamu nggak mau, silahkan pulang ke rumah orang tuamu," ketus Shandi tanpa penolakan membuat Erna seketika bungkam.
'Sialan. Semua ini gara-gara perempuan sialan itu. Awas aja kau Tari, aku pasti akan membalasmu," batin Erna bermonolog.
...***...
...HAPPY READING 🥰🥰🥰...