NovelToon NovelToon
AZKAN THE GUARDIAN

AZKAN THE GUARDIAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Reinkarnasi / Cinta Terlarang / Kehidupan alternatif / Kontras Takdir
Popularitas:913
Nilai: 5
Nama Author: BERNADETH SIA

Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

AZKAN! AKU MEMBENCIMU!

“AZKAAANNN!!!!!” 

Teriakan Eveline menyambut kembalinya Laina dan Azkan ke masa sekarang. Akhirnya, Laina keluar dari masa lalu Eveline. Tubuhnya lunglai setelah dia kembali dari perjalanan waktu yang begitu panjang. Tentu saja. Ini kali pertamanya. Lagipula, selama ini tak pernah ada orang lain yang melakukan perjalanan waktu bersama Azkan. Kali pertama Azkan melakukannya, dia pun jatuh sakit karena tenaganya terkuras habis. Butuh waktu berhari-hari baginya untuk pulih. Karena itu pulalah, Azkan mengkhawatirkan kondisi Laina sekarang. Wajah Laina pucat. Terlihat jelas kalau dia sudah tidak memiliki tenaga untuk berdiri di sisinya. Sedangkan pekerjaannya masih belum selesai. Dia harus menghadapi Eveline yang mengalami histeria dan tak bisa mengontrol diri di hadapannya. Suara tempat tidur yang berguncang karena usahanya melepaskan diri, membuat Laina semakin sakit kepala. 

“Ardos,” panggil Azkan. 

Dalam sekejap, Ardoz muncul di dalam ruangan Eveline. Dia berdiri dalam posisi siap di belakang Azkan, siap menerima perintah apa pun.

“Tolong antar Laina pulang ke kastil. Minta Armana untuk merawatnya. Tubuhnya pasti sangat kelelahan sekarang.”

“Baik.” Ardoz menyilahkan Laina berjalan selangkah di depannya, sambil menunjukkan arah dengan tangan kanannya yang terulur ke depan. 

“Lai, beristirahatlah. Aku akan kembali setelah menyelesaikan tugasku. Akan kujelaskan semuanya nanti.” Azkan mengecup kening Laina, lalu mengusap wajahnya dengan lembut sambil tersenyum. Laina tak sanggup menjawab. Dia hanya bisa menganggukkan kepala dengan lemah, lalu berjalan mengikuti arahan Ardoz. Di sepanjang perjalanan pulang pun, Laina tertidur di dalam mobil. Dia bangun ketika sampai di kastil, lalu setelah masuk ke dalam kamarnya, dia langsung jatuh tertidur. 

“Sekarang, kita harus selesaikan ini, Eveline.” suara Azkan tidak menawarkan kelemahlembutan sama sekali.

“Apa yang kau lakukan Azkan?! Kenapa kau mengulang kenangan masa laluku? Kau tahu betul kalau aku begitu tersakiti di akhir hidupku. Kenapa kau mengulang semua rasa sakit itu?! KENAPA?!?”

“Untuk menyadarkanmu.” Azkan tetap berdiri diam di tempatnya, menjaga jarak yang cukup dari jangkauan Eveline. Dari tempatnya berdiri, dia pun bisa memastikan kalau ikatan di tangan dan kaki Eveline masih cukup kuat untuk menahannya tetap berada di atas tempat tidur.

“Apa yang perlu kusadari? Kalau aku tetap saja kalah pada akhirnya? Kalau hidupku berakhir dalam penderitaan? Kalau dunia tempatku hidup dan orang-orang di sekitarku, tidak ada yang mengharapkan kehadiranku apalagi menyayangiku? Apa?!” air mata membanjiri wajah Eveline yang sudah tampak tak karuan karena semua tingkahnya selama ini.

“Tenanglah Eveline. Bukan itu yang seharusnya ada di pikiranmu sekarang.” Azkan meraih sebuah kursi besi yang terletak di pojok dinding ruangan. Dia menyeretnya, menimbulkan suara besi yang bergesekan dengan lantai semen, lalu duduk di atasnya sambil menyilangkan kaki dan menyandarkan punggung.

“Sialan! Aku sungguh membencimu sekarang, Azkan!”

“Benarkah? Bukankah beberapa saat yang lalu kau baru saja mengumumkan perasaan cintamu padaku di depan semua orang?”

“Hah! Sekarang kau membahas hal itu? Apa kau mulai tertarik padaku?” senyuman mengembang di wajah Eveline.

“Sama sekali tidak.” Eveline melengos.

“Eveline, sudah saatnya kau menyelesaikan masa lalumu kan? Sudah seratus tahun waktu yang kau habiskan di sini, di Pulau Asa. Apa kau tidak pernah sekalipun merasa, bahwa ada hal-hal yang harus kau lepaskan supaya jiwamu bisa sembuh?”

“Tidak ada. Di hidupku sebagai manusia, hanya ada ketidakadilan. Kau bisa lihat sendiri. Bibiku tidak adil. Dia memperlakukanku berbeda dari anak-anaknya. Robert juga. Dia hanya menikmati tubuhku, tapi tidak memberikan perasaan yang sama seperti kepada Arlina. Kedua sepupuku juga. Mereka saling menyayangi sebagai saudara, tapi mengecualikanku.”

“Kau yakin kalau sudut pandangmu itu sudah benar? Lalu bagaimana dengan semua hal yang kau lakukan untuk memiliki segala sesuatu yang dimiliki oleh sepupumu?”

“Aku melakukan hal itu karena memang aku layak mendapatkannya.”

“Atas dasar apa kau merasa layak? Apa alasanmu sehingga kau berhak mendapatkan semua hal yang ingin kau rebut itu?”

“Karena aku …” Eveline tercekat. 

“Apakah kau anak kandung bibimu?” tidak. Eveline menjawab dalam diam.

“Apakah ketika kau datang ke rumah itu setelah ibumu meninggal, bibimu pernah menjanjikan sesuatu padamu? Seperti janji kalau dia akan menganggapmu sebagai anaknya, akan memperlakukanmu sama seperti anak kandungnya sendiri?” tidak. 

“Apa kau adalah saudara kandung dari sepupumu?” tidak. 

“Apa di seumur hidupmu, sampai kau pindah ke rumah mereka, kau pernah memiliki hubungan yang akrab dengan para sepupumu? Atau dengan bibimu? Apa kau pernah menghabiskan waktu bersama, berbincang, saling berbagi isi pikiran dan perasaan? Atau dengan pamanmu? Apa kau pernah memiliki hubungan dekat dengan pamanmu selama orangtuamu masih hidup? Tentu saja, selain sapaan basa-basi ketika pamanmu datang berkunjung ke rumah nenekmu dan bertemu denganmu.” tidak. tidak. tidak. 

“Lalu, atas dasar apa, kau merasa memiliki hak atas segala yang mereka miliki ketika kau datang ke rumah mereka?” 

“...”

“Saat kau datang ke rumah paman dan bibimu, yang mereka lakukan adalah menjalani kehidupan mereka seperti biasanya. Apa aku salah?” tidak. 

“Namun ternyata, kehidupan sehari-hari mereka yang biasa itu, adalah hal yang tak pernah kau miliki. Sehingga kau menginginkannya. Bibimu adalah seorang ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya. Hubungan ibu dan anak yang mereka miliki begitu hangat, tanpa kata-kata makian dan didikan keras sepihak seperti yang kau miliki sebelumnya. Bibimu tidak pernah kasar pada anak-anaknya. Bibimu tidak pernah berkata-kata buruk kepada anak-anaknya. Bibimu begitu cerdas sehingga bisa mengajari anak-anaknya segala hal, bisa menjawab semua pertanyaan mereka, dan bisa membimbing mereka tumbuh menjadi perempuan muda yang cerdas juga. Sedangkan ibumu, tak pernah mendampingimu belajar tapi selalu menuntutmu mendapat nilai bagus di sekolah. Kalau nilaimu jelek, kau dihukum dan dimarahi. Kalau nilaimu bagus, baru ibumu bersikap baik padamu. Di saat bibimu bisa menjadi sahabat bagi anak-anaknya, tempat anak-anaknya bisa menceritakan berbagai hal bahkan hingga perasaan terdalam mereka secara bebas dan tidak dihakimi melainkan dirangkul dengan pemahaman-pemahaman yang diajarkan, kau semakin merasa tidak adil, karena ibumu tidak pernah sedikitpun bersikap seperti itu.” 

“Cukup!” Eveline tak ingin lagi mendengar kata-kata Azkan. Semua yang diucapkan Azkan benar. Semuanya memang seperti itu. Tapi dia tak ingin mendengarnya diucapkan dengan jelas hingga bisa didengar telinganya.

“Kenapa? Aku masih belum selesai. Lalu mengenai pamanmu. Dia adalah sosok ayah yang dekat dengan anak-anaknya. Para sepupumu, memiliki ikatan yang erat dengan ayahnya. Sedangkan dirimu, dulunya memiliki ayah yang juga baik seperti itu. Tapi setelah ayahmu meninggal ketika kau masih kecil, ibumu memperkenalkan pria yang berbeda-beda sebagai ayahmu dan dari semua pria itu, tidak ada satupun yang akhirnya benar-benar menikah dengan ibumu. Tidak ada pria yang kau panggil ayah, yang akhirnya benar-benar menjadi ayahmu. Mereka hanya pria-pria yang menjadi kekasih sesaat ibumu, yang menyita hampir semua waktu dan perhatian ibumu, sehingga ibumu tidak terlalu memperhatikanmu. Ibumu menuntutmu untuk menjadi dewasa, sedangkan dia menghabiskan waktu bersama pria kekasihnya.”

“Hentikan!!!!” Eveline berusaha menutupi telinganya, tapi kedua tangannya terikat erat di sisi kanan dan kiri tempat tidur. 

“Eveline, sadarlah. Segala hal yang ingin kau miliki, yang menurutmu layak menjadi milikmu, itu adalah milik orang lain. Bukan milikmu. Kau menginginkannya karena kau tidak pernah memilikinya. Ketika kau melihat kehidupan orang lain yang bertolak belakang darimu, kau merasa dunia tidak adil. Lalu keserakahan membutakanmu hingga kau melakukan berbagai macam hal untuk memiliki semua itu. Tapi pada akhirnya, kau hancur sendiri dan berakhir di sini.”

“Azkan! Berhenti! Cukup!”

“Kau harus mendengar semuanya, Eveline. Buka mata hatimu lebar-lebar. Sadarlah. Sudut pandangmu dalam melihat hidupmu, salah.”

“Kau tidak tahu apa-apa, Azkan!”

“Aku bisa mengetahuinya. Karena itulah alasanku berada di sini, menjadi Sang Penjaga Pulau Asa. Tugas utamaku adalah memulihkan jiwa kalian, yang datang ke sini. Jiwamu penuh luka dan tugasku adalah menyembuhkannya. Supaya kau layak untuk mendapatkan kesempatan kedua.”

“Jika tidak?”

“Jika tidak, kau akan dikirim ke dalam kegelapan yang kekal. Jiwa yang tak bisa disembuhkan, akan diserap oleh kegelapan kekal.”

“...”

“Apa sekarang kau paham? Ini adalah waktunya menyelesaikan semuanya.”

“...”

“Dengarkan aku baik-baik. Kau, telah mengharapkan apa yang tak pernah dijanjikan kepadamu. Kau telah menginginkan hal-hal yang bukan menjadi milikmu. Kau menginginkan kebahagiaan orang lain menjadi milikmu. Kau meletakkan standart kebahagiaanmu, pada apa yang dimiliki orang lain, bukan pada dirimu sendiri. Kau, Eveline, tak bisa menerima dirimu sendiri apa adanya. Kau tidak mencintai dirimu sendiri. Kau menginginkan dirimu berubah menjadi sosok Arlina, baru kau mencintai dirimu sendiri, baru kau merasa layak. Kau ingin memiliki ibu seperti bibimu, maka ketika dia tidak memperlakukanmu sama seperti Arlina dan Naira, kau merasa bibimu yang salah, dan kau berhak untuk menuntut kasih sayang yang sama. Padahal sejak awal, semua itu bukan milikmu. Bukan bagianmu.”

“Menginginkan yang bukan milikmu dan menolak takdirmu, adalah kesalahanmu. Dari sana, kau terus menuju jalan yang salah hingga melukai orang lain. Kau tidak bertanggung jawab atas hidupmu sendiri, tapi melemparkan semua kewajiban itu pada orang lain di sekitarmu. Kau menuntut mereka untuk menyayangimu, untuk menerima kehadiranmu, untuk memperhatikanmu, untuk memberimu apa yang kau inginkan. Sedangkan kau sendiri, tidak pernah mencintai dirimu sendiri. Kau tidak pernah menerima dirimu sendiri. Kau menolak seluruh hidupmu tapi kau mau orang lain menerimamu.”

“Hah! Memangnya kenapa kalau aku menginginkan kehidupan orang lain? Kenapa orang lain bisa punya ibu yang hangat, ayah yang akrab, saudara yang saling menyayangi, keluarga yang harmonis dan aman, sedangkan aku tidak? Bukankah itu sudah tidak adil? Aku hanya ingin keadilan. Kalau orang lain punya semua itu, maka aku juga berhak memiliki yang sama.”

“Tahukah kau, kalau keluarga bibimu, bisa seharmonis itu, karena paman dan bibimu, memperjuangkan keharmonisan itu sejak awal? Mereka tidak menyerah pada setiap masalah yang mereka hadapi, dan tetap meletakkan hati mereka pada tujuan bersama mereka. Menjadi orang tua yang bertanggungjawab dan hadir sepenuhnya untuk anak-anak mereka. Karena usaha mereka sejak hari pertama ikatan pernikahan mereka disahkan di hadapan Tuhan, hingga tahun-tahun yang berlalu mereka tetap setia pada harapan mereka akan sebuah keluarga yang harmonis, maka seperti itulah keluarga mereka tumbuh. Hari demi hari, selama bertahun-tahun, tanpa pernah berhenti, mereka, satu keluarga kecil itu, menjalani hari-hari mereka dengan usaha untuk menjadi sebuah keluarga yang harmonis. Bukan hanya sekedar karena ingin. Tapi usaha mereka tak pernah berhenti sampai akhir.”

“Jadi maksudmu, ayah dan ibuku tidak berusaha seperti paman dan bibiku?”

“Iya. Setiap manusia, memiliki kehendak bebas untuk memilih. Di saat paman dan bibimu memilih untuk terus memperbaiki diri supaya bisa jadi orangtua yang baik, ada masa dimana ibumu memilih untuk mencari pendamping hidup, yang bisa menggantikan kekosongan ayahmu. Lalu dalam perjalanannya, perubahan pun terjadi. Ketika fokus hidup ibumu bukan lagi rumah tangganya melainkan pria yang bisa diandalkan, tentu saja hal itu berdampak pada hal-hal lain. Lalu para sepupumu, sejak lahir, mereka pun sudah dididik dengan cara yang berbeda darimu. Maka ketika kalian bertemu di usia remaja, tentu saja kalian adalah sosok pribadi yang berbeda.”

“Hah! Jadi sekarang, semua karena kesalahanku dan orangtuaku?”

“Bukan kesalahan. Karena pilihan yang kalian buat sendiri.”

“Lalu kau mau aku menerima semuanya begitu saja?”

“Karena itulah yang namanya takdir manusia. Tuhan menentukan hidup dan mati, tapi selama hidup, pilihan manusia yang menentukan jalan takdirnya menuju ke mana.”

“Tidak akan! Aku tidak akan mau menerima hal tidak adil seperti itu! Bahkan sampai akhir, aku mati dan sepupuku hidup bahagia hingga di negara lain!”

“Sekali lagi, itu karena hasil dari didikan dan cara hidup yang dia miliki sejak lahir. Jalan hidupnya terbuka, karena dia sudah menanam benihnya sejak kecil. Arlina, bukan baru melukis. Dia sudah melukis sejak kecil. Jadi wajar kalau kerja keras dan usahanya untuk terus memperbaiki diri lalu mengembangkan kemampuannya, berbuah ketika dia dewasa. Kau tidak bisa mendebat hal itu.”

“Kenapa kau membela mereka? Padahal mereka menolak kehadiranku. Mereka mengesampingkanku di dalam kehidupan keluarga mereka. Itu kan juga sikap yang salah?! Kalau mereka membawaku tinggal di dalam rumah mereka, seharusnya mereka memperlakukanku dengan cara yang sama. Tapi kenapa mereka terus menjaga jarak dariku? Ada batasan dimana aku tidak bisa mendekat pada kehidupan mereka.”

Azkan menarik nafas panjang. Dia mulai lelah dengan kekeraskepalaan Eveline yang masih bertahan hingga akhir.

“Eveline, sudah kukatakan tadi. Ingatlah dengan jelas. Hubungan seperti apa yang kau miliki dengan keluarga pamanmu, sejak kau ada di dunia.” Azkan memangku tangannya di atas lutut yang menyilang, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Eveline dalam-dalam. Kali ini, kata-katanya harus masuk ke dalam benak Eveline. 

“Apakah kau pernah memiliki hubungan yang akrab dengan keluarga pamanmu? Dengan bibi dan kedua sepupumu?” tidak. 

“Di sepanjang ingatanmu, seperti apa hubungan ibumu dengan pamanmu? Kau ingat dengan semua kata-kata buruk ibumu yang ditujukan pada pamanmu dan juga istri dan anak-anak mereka? Apa kau pernah memikirkan bagaimana perasaan bibimu ketika mendengar semua cacian dan hinaan dari mulut ibumu? Apa kau pikir bibimu tidak berhak marah dan sakit hati akan kelakuan ibumu?”

“Lalu, setelah belasan tahun kau tidak pernah punya hubungan dekat dengan keluarga pamanmu, sedangkan sikap ibumu begitu buruk hingga membuat bibimu tidak mau berurusan dengannya lagi, kau muncul di tengah keluarga itu. Bagi mereka, kau adalah orang asing yang tak pernah mereka kenal dengan baik, sekaligus anggota keluarga besar yang tak ingin disambut. Karena setiap kali melihatmu, bibimu ingat tentang perlakuan buruk ibumu. Bagaimana bisa bibimu memperlakukanmu sama seperti anaknya ketika kau sendiri, adalah cerminan dari ibumu dan semua sikap buruknya? Lagipula, faktanya, kau memang bukan anak bibimu. Jadi kau tidak berhak menuntut mendapatkan hak seorang anak darinya. Kau tidak berhak menuntut bibimu untuk menjadi ibumu, hanya karena kau ingin merasakan kehidupan seperti Arlina dan Naira.”

sialan!

“Sudah jelas sekarang?”

Azkan menyandarkan tubuhnya kembali.

“Aku sudah lelah. Semua yang harus kukatakan untuk menyadarkanmu, sudah kukatakan. Lalu sekarang, sisanya adalah keputusanmu sendiri. Kau mau menerima, mengerti, dan berubah, atau kau masih mau keras kepala menuntut segala hal yang bukan milikmu.” 

Eveline menatap Azkan dengan penuh kebencian.

“Kalau begitu, jawab aku untuk terakhir kalinya.” Azkan mengangguk, mengiyakan permintaan Eveline.

“Kenapa kau tidak bisa menyukaiku, tapi kau bisa jatuh cinta pada Laina bahkan sampai berperilaku begitu hangat kepadanya?”

“Karena hatiku memilih untuk jatuh cinta pada Laina dan bukan pada orang lain.”

Eveline membenci jawaban Azkan. Itu artinya sama saja dengan, apapun yang terjadi, siapa pun orangnya, Azkan tidak akan mencintai mereka dan hanya akan jatuh cinta pada Laina. 

“Kuberi waktu satu minggu. Renungkan kehidupanmu. Pikirkan baik-baik semuanya. Minggu depan, jawaban yang kau berikan padaku, akan menentukan keputusan akhir untuk hidupmu.”

Azkan berdiri, meninggalkan kamar Eveline tanpa menoleh ke belakang. 

1
anggita
like👍☝iklan. moga novelnya lancar jaya
anggita
Azkan..😘 Laina.
SammFlynn
Gak kecewa!
Eirlys
Aku bisa baca terus sampe malem nih, gak bosan sama sekali!
SIA: Terima kasih sudah mau membaca :)
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!