Sepasang suami istri yang terlihat memiliki hidup bahagia namun tersimpan banyak teka-teki pada setiap hubungan mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sia Masya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
"Baiklah dokter, saya akan mencoba melakukan apa yang dokter katakan."
"Saya yakin kamu pasti bisa melewati nya. Bukan kah kamu ingin memiliki kehidupan yang normal. Kamu akan segera mendapatkan nya."
"Makasih dokter untuk semangatnya. Kalau gitu saya kembali sekarang."
"Setelah ini kamu kemana? Apa langsung pulang?"
"Tidak dok, saya langsung ke kantor."
"Pantasan kamu ke sini dengan pakaian rapi seperti itu."
"Iya dok, saya memang sudah merencanakan sebelum ke sini. Makanya saya menelpon dokter terlebih dahulu. Kalau gitu saya permisi dok."
"Baiklah. Hati-hati di perjalanan."
"Iya dok. Sampai nanti."
Aletta segera keluar. Saat tiba di pintu koridor saat akan berjalan menuju lift, seseorang memanggil namanya.
"Aletta."
Aletta berhenti dan membalikkan badannya ke sumber suara tadi.
"Dokter Wijaya."
"Iya. Kamu kok disini? Apa kamu lagi kurang sehat?"
"Ah iya dok."
"Lalu pemeriksaan nya sudah selesai?"
"Iya dok, sekarang juga mau pulang. Maaf dok, saya buru-buru mau langsung ke kantor dulu."
"Ah baiklah, hati-hati."
"Iya dok."
Dokter Wijaya melihat kepergian Aletta.
Kenapa dia bertingkah seperti itu, seakan-akan dia sedang menyembunyikan sesuatu. Bukankah dia dari ruangan dokter Gita? Apa dia sedang konsultasi.
Dokter Wijaya mengetuk pintu ruangan dokter Gita.
"Ya siapa? Masuk saja!" Terdengar suara dokter Gita dari dalam.
"Maaf mengganggu anda mbak Gita."
"Dokter Wijaya? Ada urusan apa kemari?" Dokter Gita merasa heran, karena baru kali ini dokter Wijaya masuk ke dalam ruangan nya.
"Bukankah tidak pantas, tidak mempersilakan tamu untuk duduk dulu?"
"Ah iya, silakan duduk!"
"Dokter Gita sepertinya tidak senang saya kemari?"
"Bukan begitu dokter Wijaya, saya kira tadi pasien saya. Lalu kira-kira apa dokter punya keperluan dengan saya?"
"Sebenarnya tidak juga, saya ke sini karena melihat mbak Aletta keluar dari ruangan anda."
"Apa dokter Wijaya kenal dengan Aletta?"
"Iya, saya kenal dengan nya. Saya hanya penasaran sebenarnya dia sakit apa. Apa ada kesehatan psikolognya?"
"Maaf dokter Wijaya, saya tidak bisa mengatakan nya."
"Saya tidak akan memberitahu pada orang lain."
"Sebaiknya anda keluar saja. Saya masih punya pasien yang menunggu. Dan anda adalah seorang dokter tidak pantas menanyakan kesehatan pasien orang lain. Karena setiap dokter sudah tahu prosedur dan aturannya."
"Ya baiklah, maaf. Dokter Gita tidak perlu marah, saya tidak akan bertanya lagi kok. Kalau gitu saya permisi. Maaf jika mengganggu waktu anda."
"Hmm."
Dokter Wijaya keluar dari ruangan dokter Gita sambil menahan malu. Sungguh sial dirinya,seharusnya dia tidak bertanya seperti itu. Namun dia sangat penasaran pada apa yang terjadi dengan Aletta. Ia mengambil handphone nya di kantong samping jas kedokteran dan mulai menelpon seseorang.
"Halo, kamu di mana? Aku ingin mengatakan sesuatu."
. .......
Aletta masuk ke dalam mobilnya. Saat akan menjalankan mobil tiba-tiba saja seseorang menelpon.
"Dokter Gita?"
Aletta mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, dokter? Ada apa?" Aletta memeriksa tasnya, takutnya dia melupakan sesuatu di ruangan dokter Gita dan dokter Gita ingin memberitahunya hal itu.
"Kamu sudah berangkat?" Tanya dokter Gita dari seberang telepon.
"Saya masih di mobil, ini juga mau pergi. Apa saya ketinggalan sesuatu lagi dok?"
"Ah, tidak. Aku hanya ingin bertanya apakah kamu kenal dengan dokter Wijaya?"
"Iya, kenapa dok?"
"Tadi dia datang ke ruangan ku dan tanya kamu sakit apa?"
"Benarkah? Apa dokter bilang padanya?"
"Tidak juga."
"Dokter tidak usah memberitahu nya. Lagian kami tidak terlalu akrab. Aku kenal dia karena dia teman dari seseorang."
"Iya, kamu tenang saja. Aku tidak akan memberitahu pada siapapun. Lagian kami sebagai dokter sudah punya prosedur bahwa setiap dokter pantang mengatakan rahasia pasien nya tanpa disetujui oleh pasien sendiri."
"Makasih ya dokter."
"Iya, kamu juga lebih hati-hati. Aku matikan ya,"
"Iya dokter."
Kenapa dokter Wijaya begitu ikut campur dengan urusan orang lain. Aku harus bilang pada Gion untuk memperingati temannya itu.
Aletta mulai menjalankan mobilnya meninggalkan rumah sakit.
Brian yang sedang duduk makan siang tersenyum menerima pesan dari istrinya.
Gimana hasil pemeriksaan mu tadi?
Aku baik-baik saja mas. Tadi kamu makan nggak masakanku?
Makanlah, masakan mu kan sangat enak, mana mungkin aku menyia-nyiakannya.
Iya, makasi suamiku atas pujiannya.
Sama-sama istriku. Kamu sudah makan siang?
Ini, aku lagi makan
Kerin memotret makanannya dan dikirimkan pada Brian.
Makan yang banyak ya sayang
iya, kamu juga
"Kelihatan nya seru sekali ya handphone mu itu sambil senyum-senyum seperti itu?"
"Eh Inez, aku sedang chatan dengan istriku."
"Oh gitu, aku boleh gabung gak mas?"
"Silakan! Lagian ini tempat umum juga, kamu nggak perlu meminta izin padaku."
"Kenapa kamu begitu sih sama aku, kasar sekali."
"Inez. Ini dikantor ya, jadi jangan seenak mu. Aku ingatkan kamu."
"Kamu semakin sering mengancam aku, padahal.."
Brakkk
Brian memukul meja dengan keras membuat orang sekitar menatapnya karena terkejut. Apalagi Inez yang duduk dengan nya.
"Aku, sudah selesai. Lanjutkan makanmu. Aku pergi dulu."
Inez mengepal tangannya dengan kuat.
Dia semakin berubah. Apa yang terjadi sama istrinya itu sih. Bukannya dia pernah melihat kami berdua. Kenapa tidak ada berita darinya sampai saat ini. Apa dia akan terus hidup dengan suami yang selingkuh itu.
Inez menyudahi makannya dan memutuskan untuk segera mengikuti Brian. Ia menarik Brian saat tidak ada orang lain di sekitar dan masuk ke dalam gudang.
"Apa-apaan sih Inez. Kenapa kamu membawaku ke sini?"
"Seharusnya aku yang tanya itu ke kamu. Kamu kenapa tiba-tiba saja berubah seperti ini?" Inez mencoba merayu Brian dengan kedua tangannya mulai melingkari leher Brian.
"Kamu sudah mulai jarang main ke rumah aku lagi, tidak pernah membalas pesan-pesanku lagi. Pokoknya berubah banget. Kapan kamu bercerai dari Aletta. Di saat itu aku siap berada di sampingmu."
"Apa kamu gila."
Brian menepis kedua tangan Inez.
"Singkirkan tanganmu itu dari ku. Kamu itu hanya seorang pelacur, jangan menyentuh ku dengan tangan kotormu itu."
Inez syok mendengar perkataan Brian yang sangat kasar padanya. Pria itu mencengkram dagu Inez dengan kasar seakan-akan bisa meremukkan nya dengan mudah.
"Aku dulu hanya menggunakan mu untuk budak seks ku. Dan itu bukan aku yang minta, tapi kamu yang nawarin. Aku begitu karena aku tidak ingin membebani istriku dengan keinginan ku ini. Aku mencintainya dengan tulus. Seks dengan mu bukan berarti aku suka sama kamu. Lagian aku juga membayar kamu, yang artinya kamu menjual tubuhmu pelacur. Dan bukan hanya aku yang kamu layani."