9
Pernikahan adalah cita-cita semua orang, termasuk Dokter Zonya. Namun apakah pernikahan masih akan menjadi cita-cita saat pernikahan itu sendiri terjadi karena sebuah permintaan. Ya, Dokter Zonya terpaksa menikah dengan laki-laki yang merupakan mantan Kakak Iparnya atas permintaan keluarganya, hanya agar keponakannya tidak kekurangan kasih sayang seorang Ibu. Alasan lain keluarganya memintanya untuk menggantikan posisi sang Kakak adalah karena tidak ingin cucu mereka diasuh oleh orang asing, selain keluarga.
Lalu bagaimana kehidupan Dokter Zonya selanjutnya. Ia yang sebelumnya belum pernah menikah dan memiliki anak, justru dituntut untuk mengurus seorang bayi yang merupakan keponakannya sendiri. Akankah Dokter Zonya sanggup mengasuh keponakannya tersebut dan hidup bersama mantan Kakak Iparnya yang kini malah berganti status menjadi suaminya? Ikuti kisahnya
Ig : Ratu_Jagad_02
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ratu jagad 02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Zonya mendekati Mbok Ijah dan memeriksa suhu tubuh Naina. Ia menatap Naina sendu saat tangannya merasakan suhu tubuh Naina yang masih belum stabil "Nai masih belum bisa ditidurkan di brankar Mbok?" tanya Zonya
"Non Nai tidak mau Nya. Dia terus menangis setiap Mbok mencoba membaringkannya di brankar"
Zonya mencoba menghubungi bagian rumah sakit dan meminta mereka untuk menyiapkan kamar khusus yang tentunya lebih nyaman untuk mereka. Begitu selesai menghubungi pihak rumah sakit, Zonya langsung meminta Naina dari gendongan Mbok Ijah
"Kalian mau ke mana?" tanya Sean yang barusaja menyelesaikan panggilan teleponnya
"Kami akan pindah ke ruangan lain, Tuan" jawab Mbok Ijah
Zonya langsung melangkah mendahului Mbok Ijah. Setelah itu, Mbok Ijah juga ikut keluar untuk menyusul langkah Zonya. Sean yang ditinggal akhirnya tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti langkah dua wanita itu
"Kami sudah menyiapkan ruang VVIP sesuai pesanan anda, Dok. Mari silahkan..." ucap perawat saat melihat Zonya melintas
Zonya mengikuti langkah perawat yang menuntunnya. Ia langsung masuk ke dalam ruangan saat perawat tadi membukakan pintu. Terlihat ruangan yang sangat luas tersaji didepan mata. Ini bukanlah hal yang aneh, mengingat pemilik rumah sakit ini adalah Dokter Ardan, Dokter yang sudah terkenal secara turun-temurun dengan sebutan keluarga dokter. Ya, keluarga Zonya memang mewarisi dunia kedokteran secara turun-temurun dari Kakek dan Nenek mereka dulu
Zonya melangkah mendekati ranjang dan langsung mencoba untuk merebahkan Naina di sana. Namun lagi-lagi bayi itu menangis keras. Membuat Zonya kembali membawanya kedalam gendongan dan menimangnya hingga bayi itu kembali terlelap
"Biar Mbok saja yang gendong Nya. Nyonya pasti lelah" tawar Mbok Ijah
"Tidak Mbok, aku bisa. Mbok bisa istirahat saja dulu kalau lelah" ucap Zonya
"Baik Nya"
Mbok Ijah duduk di sofa yang tepat berhadapan dengan ranjang. Sedangkan Zonya sendiri berjalan ke sana ke mari, menunjuk berbagai hal yang menarik pada Naina, berharap bayi sembilan bulan itu tenang. Setelah beberapa saat, akhirnya Naina benar-benar tenang. Bahkan bayi itu sudah mulai mengerjab dan mencoba menjangkau wajah Zonya
"Naina sudah tenang ya? Sudah tidak ngamuk lagi, iya?" tanya Zonya dengan nada yang lucu, membuat Naina tersenyum, menampilkan deretan gusi merahnya
"Mama... Mama..." seru Naina
"Iya Nak, ini Aunty"
"Mama... Mama... Dada..."
Zonya terus mengajak Naina berbicara. Meski yang mampu bayi itu ucapkan hanyalah kata-kata sederhana seperti Mama saja, tapi hal itu sudah membuat Zonya merasa senang. Tidak jauh berbeda dari Zonya, Sean 'pun ikut merasa senang karena Naina sudah terlihat ceria. Bahkan bayi itu sudah mulai bermain dan tertawa bersama Zonya. Hal yang selama ini tidak pernah Sean saksikan
ceklek
Pintu terbuka, menampilkan Tuan Boris dan Nyonya Sinta yang masuk tanpa permisi. Terlihat wajah datar keduanya saat memasuki ruang perawatan Naina
"Apa apaan ini, kenapa Naina bisa demam tinggi?" tanya Nyonya Sinta
"Ma..." Sean bangkit dari duduknya hendak menegur sang Mama yang sudah berbicara keras, bahkan akibat suara keras sang Mama membuat tubuh Naina menunjukkan keterkejutan
"Apa? Kenapa menyembunyikan sakit Naina dari Mama. Kau sengaja ingin melindungi istrimu agar tidak Mama amuk, begitu? Dengarkan Mama, Sean. Mama akan memaki siapa saja yang membuat Mama tidak senang, termasuk istrimu sekalipun" ujar Nyonya Sinta
"Ma... Tidak begitu. Kami terlalu shock dengan keadaan Naina. Maka dari itu kami langsung membawanya ke rumah sakit dan lupa untuk mengabari Mama dan Papa. Sudahlah, hal ini juga tidak perlu diperbesar"
Nyonya Sinta menatap datar putranya. Ia lantas melangkah mendekati Zonya dan menatap wajah Zonya sekilas. Setelah itu ia memandang wajah Naina, yang anehnya begitu ia tatap langsung menangis. Tanpa menghiraukan tangisan Naina, Nyonya Sinta mengulurkan tangan untuk memeriksa keadaan sang cucu
"Kau bilang jangan diperbesar?" tanya Nyonya Sinta pada putranya "Apa kau tahu Sean, suhu tubuh putrimu sangat tinggi"
"Dia sudah ditangani oleh dokter ahli Ma. Sudahlah aku mohon jangan memperkeruh keadaan sekarang"
Baru saja Nyonya Sinta akan kembali bersuara. Namun suaranya tertahan karena Tuan Boris yang langsung menarik tangannya dan mendudukkannya di sofa yang tadi ditempati Sean. Sedangkan Mbok Ijah, ia membantu Zonya untuk menenangkan Naina yang menangis karena mendengar suara nyaring Nyonya Sinta tadi
"Nak... Hei, Nai. Kenapa menangis hm? Ingin susu, iya? Tunggu ya, biar Mbok buatkan susu" ucap Zonya. Pandangan Zonya kemudian berpindah pada Mbok Ijah yang berdiri di sampingnya "Tolong seduhkan susu untuk princess Nai ya Mbok. Princess Nai haus" ucap Zonya, menirukan suara anak kecil
"Siap Nya" Mbok Ijah langsung mengangguk dan mengerjakan perintah Nyonya-nya
"Momong satu anak saja mesti manja-manja. Memangnya tidak bisa buatkan susu sendiri. Malah menyusahkan orang tua" omel Nyonya Sinta
"Ma!" tegur Tuan Boris
"Apa sih Pa? Bukankah apa yang Mama bilang memang benar? Jadi wanita itu harus cerdas dan mandiri. Mama dulu juga pernah punya bayi dan Mama mengurus bayi Mama sendiri tanpa bantuan orang lain"
"Tentu saja Tante tidak meminta orang lain untuk membantu mengurus bayi Tante, karena Tante meminta orang tua Tante yang merawatnya 'kan?" sahut Zonya
Nyonya Sinta bangkit dari duduknya saat mendengar celetukan Zonya. Emosinya terpancing saat menantu barunya itu berani menyahut ucapannya. Namun ia tidak jadi menyemburkan omelannya karena suaminya yang sudah lebih dulu menariknya keluar
Pintu kembali tertutup. Sean menghela napas lega saat kedua orang tuanya pergi. Inilah alasan mengapa ia tidak mengabari orang tuanya. Karena ia tahu, Mamanya pasti akan mengomeli Zonya tanpa ampun. Karena hal seperti ini memang kerap terjadi saat dulu Nasila masih hidup. Bedanya, jika Nasila hanya menunduk dan mengangguk saat diomeli oleh Mamanya. Sedangkan Zonya, dia lebih terlihat keras, bahkan tanpa rasa takut menjawab ucapan Mamanya
"Ini Nya" Mbok Ijah memberikan botol susu yang telah ia buat pada Zonya
"Terima kasih Mbok" Zonya langsung menerima botol susu Naina dan mengarahkannya pada mulut bayi. Beruntung Naina langsung menerimanya tanpa drama lagi "Nai lapar ya, iya? Uhhh kasihan princess Aunty kelaparan"
Naina menendangkan kaki mungilnya sembarangan. Seakan menunjukkan hatinya yang saat ini sedang dalam suasana tenang. Tangannya 'pun tidak tinggal diam. Tangannya berusaha menjangkau wajah Zonya dan meraih apa saja yang menarik perhatiannya
Zonya mendudukkan dirinya di ranjang, dengan Naina yang masih berada diatas pangkuannya. Melihat kaki gembul Naina yang menendang sembarangan, Zonya meraih telapak kaki Naina dan menggelitiknya pelan. Membuat bayi itu melepas dot-nya dn tertawa kencang saat rasa geli pada telapak kakinya terasa
"Hahahahaha..."