Mempelai Pengganti Ketua Mafia Buta Yang Kejam

Hampir tiga puluh menit berlalu, tapi belum ada perubahan berarti. Namun, Chole sudah merasa sangat lelah karena tangisnya. Suara tangis Chole juga perlahan tak terdengar, meski Chole masih kerap sesenggukan.

Sementara itu, mafia di belakang Helios masih belum berani mengambil tindakan. Namun bisa mereka pastikan, pak Mul yang juga mereka ketahui sedang menjalani hukuman, sudah sekarat. Entah apa yang terjadi hingga Helios terlihat begitu marah. Helios nyaris menjadi malaikat maut untuk pak Mul yang juga mereka ketahu sebagai ayah kandung Syam selaku orang kepercayaan Helios. Tentunya, kenyataan Chole yang sampai histeris juga menjadi tanda tanya khusus bagi mereka. Meski tentu saja, mereka tak berani menanyakannya.

“Kurung dia di penjara bawah tanah karena mulai sekarang, dia tahanan kita. Dia penjahaat. Tolong bersihkan juga lantai kamar saya, ... sekarang!” tegas Helios walau ia masih berucap lirih. Ia sengaja menjeda ucapannya dengan menghela napas guna meredam rasa sesak yang masih memenuhi dada. “Mulai hari ini juga, siapa pun yang jaga, jika memang CCTV bermasalah bahkan CCTV bagian dalam sekalipun, kalian wajib langsung memperbaikinya!” Helios masih belum bisa mengakhiri amarah sekaligus kekecewaannya.

Helios sengaja tetap menyimpan sang istri dalam dekapannya. Ia tak berniat membiarkan sang istri melihat suasana kamarnya apalagi melihat keadaan pak Mul yang giginya nyaris ia rontokan semua. Karena Helios memang sengaja menghanc*urkan mulut pak Mul akibat fitnah keji yang pria itu layangkan kepada Chole. Iya, Helios tak percaya pada ucapan pak Mul. Malahan, Helios merasa sangat marah karena Helios yakin, justru pak Mul yang telah lancang mengganggu Chole, tapi tua bang*ka itu juga yang berusaha memutar balikkan keadaan melalui fitnah.

Kecurigaan demi kecurigaan seketika bermunculan di ingatan sekaligus pikiran seorang Helios. Helios mulai melakukan cocoklogi di ingatannya mengenai apa yang terjadi di rumahnya semenjak Chole ada. Ini mengenai pak Mul yang jadi sibuk berkeliaran di sekitar kamarnya. Bahkan karena alasan tersebut pula, ia sampai menghukum pak Mul dengan mengirimnya ke markas untuk menjadi tukang bersih-bersih.

“Jangan-jangan, dia juga yang membocorkan bahkan menjebak Syam ke Cobra dan Jay? Jika itu benar-benar terbukti, aku enggak segan melemparnya ke kandang buaya. Aku benar-benar akan melemparnya ke sana menggunakan kedua tanganku sendiri!” sumpah Helios dalam hatinya. Kini, ia melirik sengit pak Mul yang sudah sekarat.

Wajah pak Mul babak belur sekaligus berdarah-darah. Malahan Helios curiga, pak Mul mengalami patah tulang parah akibat amuka*nnya.

Setelah pak Mul diboyong pergi oleh para mafianya dan lantai kamarnya juga sudah dibersihkan tanpa darah, deterjen, maupun aroma darah pak Mul, Helios baru melepaskan dekapannya. Jadi, ini menjadi pelukan terlama yang Helios lakukan. Hampir satu jam penuh dirinya dan Chole berpelukan.

Setelah sampai mengunci pintu kamarnya, Helios kembali membiarkan sebelah lengannya didekap erat oleh kedua tangan Chole. Selain itu, Chole yang sampai detik ini masih bungkam juga kembali menyandarkan kepala dan sebagian tubuh bagian atasnya ke bahu Helios.

Chole menolak diantar ke tempat tidur karena wanita itu membawa Helios ke kamar mandi. Chole membersihkan darah yang ada di tangan, sebagian wajah Helios, dan juga pakaian Helios. Chole sampai melepas kemeja lengan panjang warna hitam yang sempat Helios pakai.

“Ini nanti perban di tangan kanannya diganti saja,” lirih Chole sembari menatap miris tangan kanan Helios. Seperti yang ia keluhkan, perban di sana sampai basah oleh darah. “Ini kayaknya memang lukanya yah, yang berdarah?” panik Chole. Baginya, tak mungkin jika itu hanya darah pak Mul.

“Sudah, enggak apa-apa, nanti aku aku obati,” lirih Helios yang menarik tangan kanannya dari kedua tangan Chole.

Chole menatap tak habis pikir Helios. Seperti biasa, pria itu langsung menepis tatapannya dan sampai memalingkan wajah.

“Aku salat subuh dulu, habis itu kita obati Mas.” Chole sudah buru-buru pergi bersiap mengambil air wudu.

“Aku antar kamu pulang,” ucap Helios dan langsung mematahkan langkah Chole.

Chole berangsur balik badan, menatap tak percaya sang suami.

“Pekerjaanku enggak cocok buat kamu. Lingkungan kita enggak cocok.” Helios bingung harus mengatakannya bagaimana. Meski pada kenyataannya, ia dan Chole memang sangat berbeda. Layaknya langit dan bumi. “Kita berbeda, ... kita ibarat langit dan bumi. Aku enggak mau lihat kamu nangis histeris seperti tadi lagi.” Helios masih belum berani menatap Chole.

“Walau langit dan bumi memang berbeda bahkan jarak mereka benar-benar jauh meski di beberapa kesempatan mereka akan tampak sangat dekat, pada kenyataannya langit dan bumi tetap satu kesatuan. Langit tidak bisa tanpa bumi, dan bumi juga tidak bisa tanpa langit.” Chole meyakinkan dan memang bermaksud memohon.

“Jangan katakan itu—” Helios mendengkus dan terus menghindari tatapan Chole.

“I-iya, aku tahu aku merepotkan, tapi aku juga tahu Mas akan langsung kacau kalau aku enggak di dekat Mas. Buktinya, aku diam saja, Mas sudah langsung bingung!” balas Chole.

“Syukur kalau kamu nyadar,” balas Helios masih saja berucap dengan nada dingin bahkan keji.

Karena Chole hanya diam dan merengut di hadapannya, Helios sengaja mengusirnya untuk segera berwudu. Chole langsung menurut dan Helios tetap menemani sekaligus menjaganya hingga ia selesai solat.

Yang langsung Chole lakukan setelah beres salat adalah menghampiri Helios. Ia menyalami tangan kanan Helios menggunakannya meski suaminya itu sempat menolak lantaran perbannya memang belum diganti.

“Ayo, kita ganti perbannya. Aku pakai cadar dulu.” Chole berangsur melepas mukenanya. Dan kali ini giliran dirinya yang menemani Helios menjalani pengobatan.

Perawat dan dokter menawarkan infus lagi, tapi dengan tegas, Helios langsung menolak. Helios hanya mengizinkan luka-lukanya dicek kemudian diobati layaknya luka di tangan kanannya.

“Diinfus lagi kenapa? Kalau dokter saja bilang gitu ya memang perlu. Dokter itu lulusan dan memang ahli di bidang medis, beneran enggak kaleng-kaleng,” bujuk Chole sambil mendekati Helios. Namun karena sang suami langsung meliriknya tajam, ia beranjak mundur sambil menunduk tanpa tahu, interaksi tersebut membuat dokter maupun perawat di depan ruang rawat, merasa gemas.

Setelah pengobatan Helios selesai dan dokter maupun perawat juga meninggalkan mereka, Chole berangsur duduk di sebelah Helios.

“Sore hingga besok pagi aku ada pekerjaan,” ucap Helios lagi-lagi masih belum berani menatap Chole. Apalagi menatap kedua mata Chole yang kali ini sangat bengkak, tapi tidak mengurangi keindahan di sana.

Dipamiti seperti tadi, hati Chole langsung terenyuh. “Boleh enggak, aku minta Mas berhenti saja? Mas bekerja sebagai orang biasa saja. Perusahaan papah juga masih buka lowongan kerja, dan Mas bisa gabung.” Karena Helios hanya diam dan tak sedikit pun meliriknya, Chole berangsur merengkuh kedua tangan Helios menggunakan kedua tangannya. Ia memindahkan kedua tangan itu ke pangkuannya di tengah kedua matanya yang masih menatap memohon wajah sang suami.