Joe William. Adalah seorang Tuan muda yang dipersiapkan untuk menjadi seorang calon penguasa di keluarga William.
Terlahir dari pasangan Jerry William dan Clara Drako, Joe ini memiliki garis keturunan Konglomerat dari keluarga sebelah Ayahnya, dan penguasa salah satu organisasi dunia bawah tanah dari kakek sebelah ibunya.
Ketika orang tuanya ingin mendidiknya dan ingin memanjakan Joe William dengan sutra dan emas, tiba-tiba seorang lelaki tua bernama Kakek Malik yang dulunya adalah orang yang membesarkan serta merawat sang ibu yaitu Clara, datang meminta Joe William yang ketika itu baru berumur satu tahun dengan niat ingin mendidik calon Pewaris tunggal ini.
Tidak ada alasan bagi Jerry William serta Clara untuk menolak.
Dengan berat hati, mereka pun merelakan putra semata wayangnya itu dibawa oleh Kakek Malik untuk di didik dan berjanji akan mengembalikan sang putra kelak jika sudah berusia tujuh belas tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edane Sintink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menggendong Tengku Mahmud lagi keliling pantai
Sepasang remaja berusia tujuh belasan baru saja turun dari becak motor yang mereka tumpangi dari kampung Indra sakti ke Kuala Nipah itu.
Setelah membayar ongkos, mereka pun langsung berpamitan dan berpisah di persimpangan jalan untuk pulang ke rumah masing-masing.
"Joe. Aku duluan ya." Kata gadis itu yang memang rumahnya lebih dekat.
"Ya Tiara. Nanti setelah selesai mengerjakan tugas rumah, aku akan ke rumah mu." Jawab Joe sambil tersenyum.
Tiara hanya mengangguk dengan senyum khas nya lalu menunggu sampai Joe berbelok ke kanan untuk menuju ke rumah Tengku Mahmud yang terletak paling ujung sekali diantara rumah-rumah yang lainnya.
Begitu pemuda itu tiba di rumah model panggung yang berdinding anyaman bambu itu, dia melihat seorang lelaki tua sedang duduk meluruskan kakinya sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan kipas yang dia bikin sendiri dari upih pelepah pohon pinang.
"Salam untuk Anda Kek." Kata Joe begitu tiba di depan tangga.
Pemuda itu langsung saja naik. Meraih tangan lelaki tua itu lalu menciumnya.
"Hmmm... Mengapa pakaian mu begitu kotor Joe?" Tanya sang Kakek.
"Ini kek. Tadi sebelum pulang, kami bermain basket dulu." Jawab Joe berbohong.
"Apa benar bohong mu itu?" Tanya si Kakek yang membuat Joe kebingungan menjawabnya.
"Aku ganti pakaian dulu." Kata Joe buru-buru masuk ke dalam untuk menghindari pertanyaan yang lainnya nanti.
Dia tidak ingin ketahuan bahwa dirinya tadi telah berkelahi di sekolah.
Jika sampai Tengku Mahmud tau, entah hukuman apa yang akan diberikan oleh kakek tua itu kepadanya. Kemungkinan terbesar adalah menggendong orang tua itu di dalam tong drum lalu lari di sepanjang pantai.
Setelah berganti pakaian, Joe pun langsung menyibukkan diri menyapu rumah, merebus air, kemudian membuatkan kopi untuk lelaki tua itu.
"Minum kek selagi masih panas." Kata Joe dengan maksud baik. Namun balasan dari Tengku Mahmud membuatnya tertawa terbahak-bahak.
"Minum selagi panas? Mau kau suruh terbakar lidah ku ini?" Bentak Tengku Mahmud sambil melotot.
"Hahahaha. Maksud ku, ya di tiup dulu lah. Eh jangan di tiup. Kan kakek ada kipas. Ya di kipas dulu lah. Masa iya kakek gob...,"
"Anak setan. Mau kau katakan kalau aku goblok ya? Kemari kau!" Bentak Tengku Mahmud mulai kesal.
Dia membentak. Tapi raut wajahnya sama sekali tidak marah. Bahkan terkesan lucu.
"Mau kakek apakan aku?" Tanya Joe mulai merasakan sesuatu yang tidak enak di hatinya.
"Kemari kata ku ya kemari! Jangan sampai aku yang datang."
"Iya kek. Aku datang." Kata Joe sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kau ini ya... Mengapa mengata-ngatai aku yang tidak-tidak? Tadi kau suruh aku minum selagi panas. Setelah itu kau mau mengatakan kalau aku goblok." Kata Tengku Mahmud sambil menjewer telinga Joe William.
"Aduh. Ampun. Aduh kek. Bisa panjang telinga ku ini." Kata Joe sambil meringis kesakitan.
"Biar seperti telinga keledai sekalian." Kata Tengku Mahmud.
"Hehehe. Baru kali ini ada guru mau muridnya cacat. Dasar guru semprul." Kata Joe membuat Tengku Mahmud kembali memelintir kupingnya.
Tadinya Joe ingin mengata-ngatai orang tua itu lagi. Namun, dia tiba-tiba teringat pesan dari Ayahnya di telepon agar jangan melawan dan berlaku sopan. Kelak jika orang tua itu meninggal, dia pasti akan merasa kehilangan.
Mengingat hal ini, Joe pun menurut saja lalu memijit kaki Tengku Mahmud yang sedang berselonjor itu.
"Tumben kau kali ini baik. Ada apa denganmu?" Tanya Kakek Tengku Mahmud.
"Kek. Jangan mati dulu ya. Aku tidak mau kalau kakek mati. Aku akan merasa kehilangan." Kata Joe dengan wajah sedih.
"Kalau memang anak setan ya setan saja. Kau mendoakan aku cepat mati ya?" Bentak lelaki tua itu dengan mata mendelik.
"Bukan. Bukan begitu maksud ku kek." Kata Joe yang gagal sedih gara-gara ekspresi wajah Tengku Mahmud yang lucu itu.
"Kalau tidak mau aku mati, kau harus latihan. Jika tidak, aku akan membenturkan kepala ku ke dinding biar mati sekalian." Ancam Tengku Mahmud membuat mulut Joe ternganga.
"Latihan apa lagi kek? Bukannya aku sudah tamat?" Tanya Joe.
"Tidak ada kata tamat Joe. Selagi nyawa masih ada dalam jasad mu, tidak ada kata tamat untuk belajar. Kau baru bisa berhenti belajar jika kau sudah terbaring di dalam tanah. Selagi kau masih hidup, kau akan terus belajar, belajar dan belajar. Bahkan tanpa kau sadari pun, kau tetap belajar. Jadi, jangan katakan tamat!"
"Sekarang ayo turun. Aku akan menyerang mu dan kau harus menghindarinya. Ingat! Aku serius. Jika kau cedera karena keteledoran mu, maka jangan salahkan aku!" Kata Tengku Mahmud memperingatkan.
"Baiklah. Siapa takut. Dengan tawon aja aku berani." Jawab Joe lalu langsung melompat dengan ringan ke bawah tanpa menginjak tangga.
"Tahan serangan!" Kata Tengku Mahmud sambil melemparkan penutup gelas ke arah anak muda itu.
Suara berdesing dengan kecepatan tinggi langsung mengarah ke bagian kepala anak itu. Namun Joe lebih sigap melemparkan sebutir kerikil ke arah benda itu.
Tring!
Terdengar bunyi sesuatu pecah di udara laku jatuh ke tanah.
"Penutup gelas ku...!" Kata Tengku Mahmud sambil berteriak.
"Dasar anak goblok. Aku tidak menyuruh mu menangkis. Tapi menghindar." Bentak orang tua itu begitu melihat tutup gelasnya hancur berantakan.
"Oh begitu ya. Ulang lagi kek." Kata Joe.
"Ulang apanya? Sudah pecah begitu."
"Kau harus di hukum. Pergi ke belakang lalu ambil potongan tong drum itu! Gendong aku keliling pantai sampai tujuh putaran!" Perintah Tengku Mahmud.
Dan, hal yang paling ditakutkan oleh Joe pun terjadi juga di waktu menjelang sore itu.
"Apa bisa hukumannya di tukar dengan hukuman yang lain kek?" Tanya Joe dengan wajah memelas.
Tujuh putaran itu bukan sebentar. Padahal dia masih ada janji untuk menemui Tiara di rumahnya untuk meminta izin berangkat ke kota Kemuning.
Jika dia harus menggendong Tengku Mahmud di sepanjang pantai sampai tujuh putaran, bisa sampai senja baru selesai.
"Jika kau menolak, aku benturkan kepala ku ke tiang rumah ini!" Ancam Tengku Mahmud sambil mengambil ancang-ancang untuk membenturkan kepalanya ke tiang penyangga teras rumah itu.
"Jangan kek jangan! Iya. Aku akan menuruti semua perintah dari mu." Kata Joe dengan wajah pucat dan langsung pergi kebelakang untuk mengambil potongan tong drum dengan diikuti dengan senyuman geli dari Tengku Mahmud.
Tidak berapa lama kemudian, Joe pun sampai juga di depan dengan menyeret potongan tong drum yang terbuat dari plastik campuran itu lalu meletakkannya di hadapan Tengku Mahmud.
"Nah Kek. Masuk dan duduklah! Aku akan menggendong mu keliling pantai." Kata Joe.
Kini kakek Mahmud sudah duduk di dalam tong drum itu sambil tersenyum melihat Joe terhuyung-huyung bangun karena tadi dia harus berjongkok untuk menyandang tali yang terdapat pada tong drum tersebut.
"Ingat Joe! Kau jangan seperti kuda gila lagi. Jika aku mati, kau tidak akan punya kakek guru lagi." Ancam Tengku Mahmud.
"Iya Kek." Jawab Joe.
Lalu Joe pun berjalan menuju ke pinggir pantai dengan di punggungnya menggendong kakek Mahmud yang duduk di dalam tong drum itu.