Dinda, 24 tahun, baru saja mengalami patah hati karena gagal menikah. Kehadiran seorang murid yang bernama Chika, sedikit menguras pikirannya hingga dia bertemu dengan Papa Chika yang ternyata adalah seorang duda yang tidak percaya akan cinta, karena kepahitan kisah masa lalunya.
Akankah cinta hadir di antara dua hati yang pernah kecewa karena cinta? Mampukah Chika memberikan seorang pendamping untuk Papanya yang sangat dia sayangi itu?
Bila hujan tak mampu menghanyutkan cinta, bisakah derasnya menyampaikan rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tepat Waktu
Dio dan Dinda berjalan perlahan Kembali menuju ke rumah dokter Dicky.
Suasana pesta sudah terlihat mulai sepi, beberapa orang sudah pulang kembali ke rumahnya masing-masing, karena hari sudah menjelang magrib, matahari sudah mulai terbenam.
Setelah mereka masuk ke dalam rumah dokter Dicky, mereka kemudian duduk di ruang tamu yang besar itu, dokter Dicky segera mengambil obat-obatan untuk mengobati luka Dio, karena bibirnya sedikit pecah akibat pukulan dari Ken.
"Atas nama keluarga, aku benar-benar minta maaf atas insiden ini, atas kejadian yang tidak menyenangkan ini!" ucap dokter Dicky.
"Kau tidak salah Dokter! Laki-laki itu memang sejak awal seringkali mengganggu Dinda, aku sendiri menyaksikannya!" sahut Dio sambil meringis menahan bibirnya yang sakit.
"Kalau aku bertemu dengan Om jahat itu lagi! Akan ku lempar matanya pakai petasan!" celetuk Chika yang terlihat marah karena papanya di pukul oleh Ken.
Sementara Dinda merangkul Chika untuk menenangkan anak itu.
Sesungguhnya Dinda sangat malu atas perbuatan Ken yang mempermalukan nya di depan umum, Dinda sudah pasrah kalau citranya sebagai guru rusak gara-gara Ken, yang ternyata biang kerok dari semua yang terjadi belakangan ini.
"Dinda, sepertinya kau yang harus mengobati luka Dio, sehingga dia cepat sembuh, ini obatnya!" kata Dokter Dicky sambil menyodorkan obat dan kapas ke arah Dinda.
Dengan sedikit ragu Dinda mengambil obat yang diberikan oleh dokter Dicky.
Kemudian dokter Dicky dan istrinya langsung berlalu dari ruangan itu, memberikan kesempatan Dinda untuk mengobati luka Dio tanpa diganggu oleh kehadiran mereka.
Dinda Jadi semakin sungkan dan risih.
"Chika sebentar ya, Bu Dinda mau obatin Bibirnya Papa dulu!" kata Dinda.
"Iyess! Aku duduk di sini saja ya Bu jadi penonton!" sahut Chika.
Dinda mencubit gemas dagu anak muridnya itu.
Perlahan Dinda mendekati Dio yang masih duduk di situ, kemudian mulai mengusap dan membersihkan bibir Dio dengan darahnya yang sedikit mengering.
"Awww!!" Dio meringis saat Dinda mulai mengoleskan obat yang di berikan oleh Dokter Dicky tadi.
"Tahan sebentar Pak, perih nya tidak akan lama!" ucap Dinda sambil sedikit meniupi bibir Dio untuk meringankan rasa sakitnya.
Sejenak mereka saling bertatapan, wajah mereka hanya berjarak sekitar 10 cm.
Dengan cepat Dinda memalingkan wajahnya, tidak tahan dengan tatapan mata coklat dengan bulu mata yang lentik itu, yang memandangnya dengan lekat.
"Ah, nampaknya kita harus pulang sekarang Pak, hari sudah malam, aku takut jalanan macet, nanti kita malah terlambat pulang!" kata Dinda mengalihkan situasi.
"Baiklah, kita pulang sekarang! Chika, ayo kita bersiap pulang!" ajak Dio yang mulai bangkit dari duduknya, diikuti oleh Dinda dan Chika.
Setelah mereka berpamitan dengan Dokter Dicky dan istrinya, mereka kemudian kembali pulang dan keluar dari rumah besar dokter Dicky itu.
Sepanjang perjalanan pulang, mereka tidak banyak bicara, saling diam dengan pikirannya masing-masing.
"Ehm Chika, bulan depan Chika mau ulang tahunnya dirayakan seperti Alena tadi?" tanya Dio memecah keheningan suasana, dalam perjalanan mereka itu.
"Aku tidak mau dirayakan Pa! Aku hanya ingin hadiah yang aku minta itu sama Papa!" sahut Chika.
"Selain itu, Chika minta hadiah apalagi?" tanya Dio.
"Tidak ada! Aku cuma minta hadiah itu!" jawab Chika.
Dinda semakin salah tingkah, karena dia tahu apa yang Chika maksudkan dengan hadiah itu.
Sejujurnya Dinda juga belum siap, dia belum lama mengalami satu trauma yang luar biasa mengenai pernikahan, rasanya dia juga belum siap kalau harus memikirkan tentang pernikahan lagi, Dinda Butuh Waktu.
"Tapi Papa tidak tahu, apakah bisa memberikan hadiah itu buat Chika, karena Papa tidak yakin kalau Hadiah itu mudah untuk didapatkan!" ucap Dio.
"Kenapa Papa bilang begitu?" tanya Chika.
Dio terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaan Chika.
Hingga mobil yang dikendarai masuk ke gang yang menuju rumah kosan Dinda, dan tak lama kemudian mobil itu sudah berhenti di depan rumah kos itu.
Asti berlari-lari menghampiri Dinda dan Dio yang baru turun dari mobil itu.
"Wah Dinda, kalian semakin akrab saja! Jangan bilang kalau kalian sudah jadi ... " Asti menghentikan ucapannya.
"Tante jangan jadi pengganggu! lebih baik main sama aku saja, ayo!" celetuk Chika yang langsung menarik tangan Asti menjauhi Dinda dan Papanya.
"Terima kasih Pak Dio, sudah Mengantarkan saya!" ucap Dinda.
"Iya Dinda!"
Dinda mengernyitkan keningnya, sejak kapan Dio memanggil dia dengan namanya saja, tidak pakai embel-embel Bu Dinda, entahlah, tapi panggilan Dio terasa membuat jantung Dinda bertabuh berkali lipat dari biasanya.
"Mengenai hadiah yang Chika minta itu, kurasa kau mengerti maksudnya! Aku bukan orang yang pintar merangkai kata, aku hanya bisa bertanya, bersediakah kau Menjadi Mama pengganti untuk Chika?" tanya Dio dengan mata yang menatap begitu dalam dan lembut.
Dinda menundukkan wajahnya, tidak berani membalas tatapan mata Dio, lidahnya terasa kelu untuk berkata-kata.
"Maaf Pak Dio, Jangan janjikan apa-apa dulu pada Chika, saya belum siap, saya butuh waktu untuk berpikir Maafkan saya!" ucap Dinda sambil menunduk.
"Baiklah Dinda, aku akan menunggu jawabanmu! Sekarang aku ingin pamit pada ibumu, aku harus pulang bersama Chika!" Kata Dio.
Mereka kemudian berjalan menuju ke kamar kost Dinda, Bu Lilis sudah duduk di depan kamar itu menunggu kedatangan mereka.
"Bagus! Kalian tepat waktu, saat ini jam 8, ibu senang dengan orang yang bisa dipercaya" kata Bu Lilis.
"Trimakasih Bu, kalau begitu, kami pamit pulang dulu, Chika, pamit sama Nenek!" ujar Dio sambil menoleh ke arah Chika yang berlari-lari menghampirinya.
"Nenek, aku pulang dulu ya, tolong jagain Bu Dinda, kalau ada yang macam-macam, langsung telepon aku!" kata Chika sambil menyalami tangan Bu Lilis.
"Duh, anak pintar, cantik lagi!" puji Bu Lilis sambil mengelus rambut Chika.
Kemudian Dio menggandeng tangan Chika berjalan meninggalkan tempat itu.
Bu Lilis langsung masuk menyusul Dinda yang terlebih dahulu sudah masuk ke dalam ke kamarnya.
"Din, kamu serius dengan laki-laki itu?" tanya Bu Lilis sambil duduk di tepi tempat tidur di samping Dinda.
"Tidak tau Bu, aku bingung!" sahut Dinda.
"Lho kok bingung? Kelihatannya dia serius sama kamu, dia baik dan sopan sama Ibu!" ujar Bu Lilis.
"Aku takut Bu!" cetus Dinda.
"Apa yang kau takutkan??" tanya Bu Lilis.
"Ibu ingat kan? Apa yang jadi alasan Ken dulu membatalkan pernikahan kami? Karena aku tidak punya ayah, dan tidak tau siapa nama Ayahku!" ucap Dinda.
Bu Lilis terdiam seketika, tiba-tiba wajahnya berubah mendung.
Bersambung...
****
Yuk dukung author dengan Like, komen dan vote ya ...
Trimakasih readers kesayanganku ...😉😘🥰