"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."
Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.
Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!
Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.
Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 : Puncak Kegilaan Doni : Ledakan di Pinggir Sungai
Gemuruh air sungai yang deras di bawah tebing Desa Makmur seolah menjadi musik pengiring bagi simfoni kematian yang sedang dirancang oleh Doni Wijaya. Pria itu berdiri di tepi tebing dengan napas tersenggal, wajahnya yang dulu ia banggakan kini kotor oleh lumpur dan noda darah. Di tangan kanannya, sebuah granat aktif digenggam erat, sementara telunjuknya sudah masuk ke dalam cincin pengaman.
"Mundur! Mundur kalian semua!" teriak Doni, suaranya melengking tinggi akibat paranoia dan amarah yang telah merusak kewarasannya.
Revano Adhyaksa segera memasang posisi siaga di depan Risa, pistolnya terarah tepat ke dahi Doni. "Doni, jangan bodoh. Letakkan benda itu dan kau mungkin hanya akan membusuk di penjara, bukan hancur berkeping-keping di dasar sungai ini."
Risa Permata melangkah maju, melewati bahu Revano. Ia menatap Doni dengan tatapan yang sangat tenang tatapan yang lebih menyeramkan daripada moncong senjata Revano.
"Doni," panggil Risa pelan. "Kau ingat apa yang kau katakan padaku di kehidupan... ah, maksudku, di dalam mimpiku? Kau bilang aku adalah barang yang sudah kau beli. Kau bilang aku tidak punya hak untuk bernapas tanpa izinmu."
Doni mengerutkan kening, matanya berkedut liar. "Apa yang kau bicarakan, Jalang?! Aku tidak pernah bicara begitu! Tapi ide itu bagus... ya, kau seharusnya memang jadi milikku!"
Di bawah cahaya fajar yang mulai menyingsing, suasana di pinggir sungai itu terasa mencekam. Risa menggunakan Mata Kegelapan untuk memindai kondisi mental Doni. Di matanya, ia melihat aura Doni yang berwarna hitam pekat dengan kilatan merah tanda bahwa pria ini sudah berada di titik puncak ketidakstabilan mental.
[SISTEM : ANALISIS TARGET - DONI WIJAYA.]
[KONDISI : PSIKOSIS AKUT. TINGKAT ANCAMAN: TINGGI (UNPREDICTABLE).]
[MISI : NETRALISIR ANCAMAN TANPA KEHILANGAN DOKUMEN RAHASIA.]
[HADIAH : 500 POIN DENDAM & UNLOCK SKILL 'MANIPULASI PIKIRAN' (DURASI SINGKAT).]
"Doni, lihat ke tanganku," ujar Risa, ia mengangkat kotak cendana yang ia ambil dari Jati Purba. "Kau menginginkan rahasia ini, kan? Kau pikir dengan ini kau bisa mengalahkan ayahmu dan menjadi penguasa baru? Kau salah. Kotak ini adalah kutukan bagi siapa pun yang memiliki hati busuk sepertimu."
"DIAM! Berikan padaku atau aku tarik pin ini!" tangan Doni gemetar hebat.
Revano berbisik lirih di belakang Risa. "Risa, menyingkirlah. Aku bisa menembak tangannya sebelum dia sempat menariknya."
"Jangan, Revano. Jaraknya terlalu dekat. Jika ledakan terjadi, kita semua akan jatuh ke sungai," balas Risa tanpa menoleh. Ia menatap Doni kembali. "Kau tahu kenapa Melati mengkhianatimu? Karena dia tahu kau adalah pecundang. Kau hanya bayang-bayang ayahmu yang korup."
"AKU BUKAN PECUNDANG!" Doni meraung, ia menarik pin granat itu sedikit.
[SISTEM : AKTIFKAN SKILL 'MANIPULASI PIKIRAN'.]
[MENGARAHKAN FOKUS TARGET PADA KESALAHAN MASA LALUNYA...]
Tiba-tiba, pandangan Doni mulai kabur. Di dalam kepalanya, ia seolah melihat bayangan Risa yang bersimbah darah di bawah kakinya—sebuah memori dari kehidupan pertama Risa yang diproyeksikan oleh Sistem ke dalam otak Doni.
"Apa ini?! Kenapa kau... kenapa kau berdarah?!" Doni mundur selangkah, langkahnya goyah di tepi jurang. Ia melihat bayangan dirinya sendiri yang sedang memegang cambuk, menyiksa Risa. "Aku tidak melakukannya... aku belum melakukannya!"
"Kau melakukannya di dalam jiwamu, Doni," suara Risa terdengar seperti gema yang menghantui. "Dan sekarang, alam semesta datang untuk menagih hutang nyawa itu."
Di saat Doni sedang terdistraksi oleh halusinasi yang diciptakan Sistem, Revano tidak membuang waktu. Ia melesat maju dengan kecepatan yang luar biasa. Ia menendang tangan Doni yang memegang granat ke arah atas, sementara tangan satunya memukul rahang Doni hingga pria itu tersungkur.
Granat itu melambung ke udara.
"RISA, TIARAP!" teriak Revano sambil menerjang tubuh Risa dan mendekapnya di atas tanah.
BOOOOOOMM!
Ledakan hebat mengguncang tebing. Tanah dan bebatuan berhamburan ke udara. Asap hitam membubung tinggi, menutupi pandangan. Suara ledakan itu bergema di seluruh hutan jati, membuat burung-burung beterbangan panik.
Saat asap mulai menipis, Risa mengangkat kepalanya dari dekapan Revano. Ia merasa telinganya berdenging hebat. Revano segera berdiri, memeriksa senjatanya, lalu melihat ke arah tepi tebing.
Doni Wijaya sudah tidak ada di sana. Ledakan tadi membuatnya terpental jatuh ke dalam sungai yang mengamuk di bawah.
"Apakah dia mati?" tanya Risa, suaranya terdengar hampa.
Revano melihat ke bawah, ke arah aliran air yang keruh dan deras. "Dengan luka di rahangnya dan ledakan sedekat itu, mustahil dia selamat. Kalaupun dia selamat dari jatuh, arus sungai ini akan menghancurkan tubuhnya di bebatuan hilir."
Risa berdiri, menepuk-nepuk debu di gaunnya. Ia merasa sebuah beban besar terangkat dari bahunya. Salah satu aktor utama penderitaannya di kehidupan lalu telah tersingkir lebih awal. Namun, ia tahu ini belum berakhir. Adrian Permata masih berkeliaran, dan Pak Surya pasti sedang menyusun rencana dari balik sel tahanan.
[SISTEM : MISI SELESAI!]
[HADIAH : 500 POIN DENDAM DITERIMA.]
[SKILL 'MANIPULASI PIKIRAN' TELAH DIBUKA.]
"Risa, kau baik-baik saja?" Revano memegang bahu Risa, matanya menatap Risa dengan kecemasan yang tulus—sebuah emosi yang sangat jarang terlihat pada pria berhati batu itu.
"Aku baik-baik saja, Revano. Terima kasih," Risa menatap kotak cendana yang masih aman dalam dekapannya. "Tapi kita tidak punya waktu untuk merayakan ini. Adrian masih di atas sana, dan dia punya pasukan."
"Anak buahku sudah mengepung area ini," ujar Revano sambil melihat ke arah langit. Dua helikopter dengan logo Adhyaksa Group tampak mendekat. "Adrian Permata mungkin punya pengaruh di Jakarta, tapi di tanah ini, dia sedang berhadapan dengan penguasa yang salah."
Satu jam kemudian, area Jati Purba sudah dibersihkan oleh pasukan khusus Revano. Adrian Permata berhasil melarikan diri sesaat setelah ledakan terjadi, namun seluruh anak buahnya berhasil diringkus. Pak Baskoro berhasil diselamatkan dari upaya penculikan dan kini berada dalam perlindungan medis tim Revano.
Risa duduk di dalam helikopter bersama Revano, terbang menuju mansion Adhyaksa di kota. Di pangkuannya, kotak cendana itu akhirnya dibuka.
Di dalamnya, selain buku harian ibunya, terdapat sebuah kunci USB kuno dan sebuah peta topografi yang dibuat dengan tangan.
"Revano, lihat ini," Risa menunjukkan peta itu. "Titik-titik ini... ini bukan tambang nikel biasa. Ini adalah lokasi penyimpanan cadangan logistik militer lama yang ditinggalkan sejak zaman perang, yang di bawahnya terdapat urat emas murni. Ayahku bukan hanya menjaga hutan, dia menjaga cadangan devisa tersembunyi negara."
Revano terdiam. "Pantas saja Adrian begitu terobsesi. Jika ini jatuh ke tangan konsorsium asing yang dia dukung, negara ini bisa kehilangan kedaulatan ekonominya."
"Itulah sebabnya Ibu melarikan diri," sambung Risa sambil membaca buku harian itu lebih lanjut. "Ibuku adalah putri dari pemegang rahasia Adhyaksa Lama. Adrian ingin menikahinya hanya untuk mendapatkan akses ke rahasia ini. Ayahku menyelamatkannya, dan mereka bersembunyi di Desa Makmur."
Risa menutup buku itu, matanya berkaca-kaca. "Ayah selama ini tidak bermaksud menyembunyikan ini dariku karena dia tidak percaya padaku. Dia menyembunyikannya karena dia ingin aku hidup normal, tanpa beban sejarah yang berdarah ini."
Revano memegang tangan Risa, meremasnya lembut. "Tapi sekarang kau sudah terlibat, Risa. Dan kau melakukan pekerjaan yang jauh lebih baik daripada siapa pun. Kau baru saja melenyapkan pewaris Wijaya dan menggagalkan rencana Adrian."
"Aku belum selesai, Revano," Risa menatap ke luar jendela helikopter, ke arah kota yang mulai terlihat. "Aku ingin Pak Surya melihat kehancuran totalnya dari balik jeruji besi. Dan aku ingin Melati merasakan apa yang dirasakan Bi Nah."
Sesampainya di mansion, Risa segera menemui Bi Nah yang sedang dirawat. Pelayan tua itu menangis haru melihat nonanya selamat.
"Non Risa... saya kira saya tidak akan melihat Non lagi," isak Bi Nah.
"Sstt, Bi. Sekarang semua sudah aman. Kita tidak akan kembali ke gudang itu lagi," Risa memeluk pelayan setianya itu.
Namun, di tengah momen haru itu, Leo masuk dengan wajah yang tegang. "Tuan Revano, Nona Risa... ada berita mendadak dari pengadilan."
"Apa itu?" tanya Revano tajam.
"Pak Surya... dia ditemukan tewas di dalam selnya sepuluh menit yang lalu. Racun sianida di dalam makanannya," lapor Leo. "Dan Doni... tim pencari baru saja menemukan jaketnya di hilir sungai, tapi mayatnya tidak ada."
Risa berdiri, jantungnya berdegup kencang. Pak Surya mati? Sianida?
"Adrian," desis Risa. "Dia sedang membersihkan jejak. Dia membunuh Pak Surya agar tidak ada saksi yang bisa menghubungkannya dengan konspirasi ini."
"Dan Doni?" tanya Revano. "Kau pikir dia masih hidup?"
Risa menatap ke arah jendela. Di kehidupan pertamanya, Doni adalah orang yang paling sulit dikalahkan karena keberuntungannya yang jahat.
[SISTEM : PERINGATAN! TARGET 'DONI WIJAYA' BELUM TERKONFIRMASI TEWAS.]
[STATUS : HILANG. POTENSI ANCAMAN: LEVEL GHOST.]
"Dia belum mati," ujar Risa dengan yakin. "Seorang iblis tidak akan mati hanya karena tenggelam di sungai. Dia akan merangkak kembali dengan dendam yang lebih besar."
Revano berdiri di samping Risa. "Kalau begitu, kita akan menunggunya. Tapi kali ini, kita tidak akan menunggu dengan tangan kosong. Risa, besok kita akan meresmikan pernikahan kontrak kita di depan publik. Kita butuh status itu untuk mengambil alih aset Permata secara legal dan memulai pembersihan besar-besaran di Jakarta."
Risa menoleh ke arah Revano. "Kau masih ingin melanjutkan pernikahan kontrak ini? Bahkan setelah kau tahu rahasia keluargaku?"
Revano tersenyum, sebuah senyuman yang kali ini terlihat lebih jujur. "Awalnya, aku menginginkan koordinat itu. Tapi sekarang, aku menyadari bahwa memiliki 'Nyonya Pembalas Dendam' di sampingku jauh lebih berharga daripada semua emas di ladang utara. Jadi, bagaimana, Risa Permata? Apakah kau siap menjadi Nyonya Adhyaksa?"
Risa menatap tangan Revano yang terulur. Ia teringat akhir kehidupan pertamanya, di mana ia mati di lantai rumah pria ini. Namun sekarang, ia berdiri di sini sebagai rekan, sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan.
"Aku akan menerimanya," ujar Risa sambil menjabat tangan Revano. "Tapi dengan satu syarat tambahan."
"Apa itu?"
"Aku ingin kau membantuku melacak Adrian Permata. Aku ingin kepalanya sebagai hadiah pernikahan kita."
Revano tertawa keras, tawa yang penuh dengan kekaguman. "Deal. Mari kita buat dunia ini gemetar."
Keesokan harinya, saat konferensi pers besar diadakan untuk mengumumkan pernikahan Revano dan Risa, serta pengambilalihan Permata Group, sebuah kiriman paket misterius tiba di meja podium.
Saat Risa membukanya di depan kamera wartawan, isinya adalah sebuah boneka yang sangat mirip dengan Risa, namun kepalanya telah dipenggal dan di dalamnya terdapat sebuah pesan tertulis dengan darah:
"Permainan yang sesungguhnya baru saja dimulai, Keponakanku. Selamat atas pernikahanmu... aku akan datang untuk mengambil 'hadiah'-ku segera. - A.P"
Risa menatap kamera dengan tenang, ia tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun. Ia justru tersenyum, sebuah senyuman yang akan membuat musuh-musuhnya merinding di mana pun mereka bersembunyi.