Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Ruang yang Menunggu
Ruangan itu terlalu tenang untuk ukuran rumah seorang purnawirawan bintang empat.
Tak ada foto-foto besar. Tak ada lambang kesatuan yang dipajang berlebihan.
Hanya satu bendera kecil di sudut ruangan. Cukup untuk mengingatkan, tanpa perlu pamer.
Prakoso menuang teh tanpa bertanya.
Sunandar duduk berhadapan, punggungnya lurus, tangan bertumpu santai di lutut.
“Aku mendengar,” ujar Prakoso akhirnya, suaranya datar, “ada seorang prajurit di Akmil yang prestasinya… mengingatkanku pada seseorang.”
Sunandar tidak langsung menjawab.
“Baskara,” lanjut Prakoso pelan, seolah menyebut nama yang sudah lama tak disentuh.
Sunandar mengangguk kecil. “Benar, Pak.”
“Prestasinya?”
“Menonjol,” jawab Sunandar tanpa ragu. “Akademik dan lapangan. Di atas rata-rata angkatan. Semua instrukturnya sepakat.”
“Pangkat?”
Sudut bibir Sunandar terangkat samar. Bukan senyum bangga, lebih seperti pengakuan fakta.
“Kapten. Di usia dua puluh dua.”
Prakoso menyandarkan punggung, menatap ke arah jendela. “Seharusnya tidak secepat itu.”
Sunandar mengangguk. “Secara hitam di atas putih, ya. Jalur normal, dia masih Letda.”
“Namun?”
“Namun dia tidak berjalan di jalur normal sejak tahun pertama lulus.” Sunandar berhenti sejenak, membiarkan kalimat berikutnya jatuh perlahan.
“Empat penugasan aktif. Dua zona konflik. Dan satu operasi yang bahkan tidak pernah masuk laporan resmi.”
Prakoso terdiam.
“Pangkat Kapten itu,” lanjut Sunandar, “bukan hadiah. Itu penyesuaian struktural. Kompensasi agar kami bisa memanggilnya kapan saja, tanpa harus menjelaskan kepada banyak orang.”
Prakoso tersenyum tipis. Tanpa humor. “Dan dia tetap menolak map hitam.”
Sunandar mengangguk. “Benar. Dua kali. Menolak jalur cepat. Menolak penghapusan identitas.”
“Dan kau membiarkannya?” tanya Prakoso.
“Saya menghormatinya,” jawab Sunandar datar. “Tidak semua prajurit harus dijadikan senjata.”
Prakoso menghela napas pelan. “Orang seperti itu… justru berbahaya kalau kau paksa masuk ke ruang gelap.”
Sunyi.
“Benar-benar mirip Baskara,” gumamnya.
Sunandar tidak membantah.
“Apa alasannya menolak?” tanya Prakoso kemudian.
Sunandar terdiam sepersekian detik. “Ada seseorang,” jawabnya pelan, “yang masih membutuhkan dia sebagai manusia.”
Alis Prakoso terangkat samar. “Siapa wanita yang sangat beruntung itu?”
Sunandar tidak menjawab.
Namun di dalam hatinya, satu nama berdiri jelas.
"Wanita yang Bapak lindungi.
Dan sembunyikan."
Prakoso mengangguk pelan, seolah memahami tanpa perlu penjelasan.
“Ada prajurit seperti itu,” katanya rendah, “yang justru harus dijaga tetap… tidak mencolok.”
Sunandar berdiri. Memberi hormat.
“Saya akan menjaganya,” ujarnya singkat.
Prakoso mengangguk.
Dua jenderal.
Tak ada sumpah. Tak ada perjanjian tertulis. Namun di antara mereka, satu hal sama-sama dipahami:
Beberapa manusia harus tetap manusia.
Dan beberapa kebenaran… memang harus disembunyikan.
***
Rumah makan itu tidak ramai sore itu. Hanya beberapa meja terisi. Denting sendok dan piring terdengar lirih, berpadu dengan aroma sup hangat yang mengendap di udara.
Adrian masuk tanpa jas dokter kali ini. Kemeja abu-abu sederhana, lengan digulung rapi. Langkahnya terhenti ketika pandangannya jatuh pada Rava.
Bocah itu duduk di meja dekat jendela. Piringnya ada di depan, tapi matanya tidak tertuju ke sana.
Ia menatap meja lain.
Seorang anak laki-laki seusianya sedang makan bersama ayahnya. Tertawa kecil ketika sang ayah menyuapinya, lalu mengusap sudut bibirnya dengan tisu.
Rava diam.
Bukan sedih. Bukan menangis. Hanya menatap terlalu lama untuk ukuran anak empat tahun.
Adrian menangkap itu.
Ia mendekat tanpa tergesa, berhenti di sisi meja.
“Boleh aku duduk?” tanyanya ringan, suaranya rendah, tidak ingin mengejutkan.
Rava tersentak kecil, lalu menoleh. Matanya membesar ketika mengenali wajah itu.
“Oh! You again,” katanya spontan, seolah nama bukan hal penting.
Adrian tersenyum tipis. “You remember.”
Rava mengangguk. “You doctor.”
“True.” Adrian menarik kursi dan duduk. “And you… still hungry?”
Rava menimbang sebentar, lalu mengangguk jujur. “Little.”
Adrian melirik ke arah dapur. Elvara belum terlihat.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “I’ll keep you company while you eat.”
Rava tersenyum lebar. Tanpa ragu.
Dari balik meja kasir, Elda memerhatikan. Tatapannya melembut, jenis tatapan yang hanya dimiliki ibu dan nenek.
“Ra…,” panggilnya pelan ketika Elvara keluar membawa minuman dan melihat pemandangan itu.
Tanpa basa-basi Elda berkata,. “Dia menyukaimu.”
Elvara berhenti. “Bu,” desisnya pelan.
“Ibu hanya bilang apa yang Ibu lihat,” jawab Elda tenang. Tatapannya beralih ke Rava. “Kau lihat mereka?”
Elvara ikut menoleh.
Rava sedang berbicara, tangannya bergerak antusias. Adrian mendengarkan tanpa menyela, tanpa berusaha mencuri perhatian. Hanya sesekali mengangguk, seolah apa pun yang keluar dari mulut bocah itu layak didengar.
Ada sesuatu yang menghangat di dada Elvara. Dan entah kenapa, itu membuatnya gugup.
Ia mengalihkan pandangan, jari-jarinya mengencang di nampan. Perasaan itu… tidak ia undang. Dan ia belum siap menamainya.
“Mommy!” Rava melambai kecil.
Elvara mendekat. “Maaf,” katanya singkat pada Adrian. “Dia suka—”
“Bercerita,” potong Adrian tenang. “That’s good.”
Elvara mengusap kepala Rava lembut.
“Maaf kalau mengganggu,” ujar Adrian sopan. “Aku lihat dia sendirian.”
“Tidak,” jawab Elvara. “Terima kasih.” Nada suaranya netral, namun tidak menutup.
Adrian menangkap itu. Ia tidak menekan. Tidak memperpanjang. “Kalau begitu, aku pesan dibungkus saja.”
Rava menatapnya. “You come again?”
Adrian mengangguk. “If you let me.”
Rava menoleh ke Elvara, meminta izin tanpa kata.
Elvara mengangguk kecil. “Kalau tidak sibuk.”
"Thanks Mommy." Wajah Rava langsung ceria.
Adrian tersenyum tipis. Bukan senyum menang. Bukan pula ragu. Cukup.
Setelah Adrian pergi, Elda duduk di hadapan Elvara yang sedang membersihkan meja.
Geraknya pelan. Matanya tajam.
“Kau lihat tadi?” kata Elda akhirnya.
Elvara menghela napas pelan. “Rava mudah dekat dengan orang baik.”
Elda menatap Rava, yang sedang mengaduk minumannya dengan sedotan.
“Rava butuh figur ayah.”
Elvara berhenti bergerak. Lalu duduk.
Elda menatapnya lama. Terlalu lama untuk sekadar basa-basi. “Ra,” katanya pelan, “selesaikan masalahmu dengan dia.”
Elvara tahu siapa yang dimaksud. Tidak perlu nama. Ia menunduk. Mengangguk.
“Kau tidak bisa terus lari dari yang tertinggal,” lanjut Elda. “Yang kau tinggalkan itu tidak hilang. Ia menunggu.”
Elvara menarik napas panjang. “Aku hanya ingin menyelesaikan koas,” katanya jujur. “Supaya aku benar-benar berdiri sebagai dokter.”
“Lalu?” tanya Elda.
“Kita pulang,” jawab Elvara lirih.
Mata Elda melebar, lalu perlahan melunak. Ia mengangguk. “Itu keputusan yang bagus,” ucapnya mantap. “Masalah harus diselesaikan. Bukan dihindari.”
Ia kembali menatap Rava.
“Kalau tidak,” lanjut Elda pelan, “ia akan menjadi luka. Dan luka yang tidak disembuhkan… akan ikut tumbuh bersama anak.”
Elvara menutup mata sejenak.
“Aku akan menyelesaikannya,” katanya akhirnya. “Dengan dia.”
Nama itu tetap tak terucap. Tak perlu.
Elvara menatap anaknya.
Dan untuk pertama kalinya setelah lama, ia tahu, ia tidak sedang memilih antara masa lalu dan masa depan.
Ia sedang menyiapkan dirinya. Untuk menghadapi keduanya, tanpa lari.
Di sudut lain kota, Adrian berjalan pulang dengan langkah tenang. Ia tidak membawa harapan berlebihan.
Namun satu hal kini jelas baginya: Anak itu tidak kekurangan kasih. Ia hanya hidup di ruang, yang menunggu seseorang kembali.
Dan Elvara, perempuan itu, tidak sedang membuka pintu untuk siapa pun.
Ia sedang menutup satu pintu lama dengan benar, sebelum berani membuka yang lain.
...🔸🔸🔸...
..."Dalam sistem yang memuliakan senjata,...
...memilih tetap manusia...
...adalah bentuk perlawanan paling sunyi."...
..."Ada pertemuan yang tidak boleh terjadi...
...sebelum luka lama ditutup dengan benar."...
..."Ia tidak lari dari masa lalu....
...Ia hanya menunggu cukup kuat untuk menatapnya."...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Kak, up lagi donk 🤭
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏
Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏
tapi wajahmu gak berubah kan Vara??