NovelToon NovelToon
SAYAP PATAH MARIPOSA

SAYAP PATAH MARIPOSA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Lari Saat Hamil
Popularitas:261
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.

Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...

Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PENDIRIAN

Setibanya di rumah, Langit melangkah masuk dengan bahu terasa berat, seolah seluruh beban dunia menekan dadanya. Ia menutup pintu pelan, lalu berjalan tanpa arah sebelum akhirnya menjatuhkan tubuhnya ke badan sofa. Punggungnya menyandar lemah, kepalanya sedikit terangkat menatap langit-langit ruang. Pandangannya kosong, rahangnya mengeras, sementara jemarinya saling mengunci di atas paha—tanda kebingungan yang tak mampu ia ucapkan.

Ia mengembuskan napas panjang, berulang kali, namun dadanya tetap terasa sesak. Di kepalanya, pikiran saling bertabrakan, tak satu pun memberi jawaban. Ia tahu ada keputusan yang harus diambil, namun keberanian untuk melangkah seolah tertahan di ujung hati.

Tak lama dari itu, langkah kaki terdengar mendekat.

Laura muncul dari arah koridor dengan raut wajah yang begitu tajam, sorot matanya menusuk seolah mampu membaca kegundahan Langit. Tanpa senyum, tanpa basa-basi, ia berdiri di hadapan putranya.

Keheningan yang di rasakan Langit pun seketika berubah menekan, ketika matanya bertemu dengan mata sang Ibu, satu dipenuhi kebingungan, yang lain sarat tuntutan dan amarah yang tertahan.

"A-Arum... Arum hamil." Ucap Langit pada akhirnya. Kebingungan itu akhirnya pecah ketika beberapa menit mereka saling terdiam.

Ketika ucapan itu meluncur pelan, dampaknya terasa nyata. Laura terdiam. Alisnya terangkat tipis, matanya menyipit sesaat—jelas terkejut, namun tidak sampai kehilangan kendali. Tak ada teriakan, tak ada reaksi berlebihan. Hanya jeda singkat, seolah ia sedang mengonfirmasi sesuatu yang diam-diam telah ia duga sejak awal.

Laura kemudian menghembuskan napas perlahan, sudut bibirnya mengeras. “Jadi benar,” gumamnya datar, lebih kepada dirinya sendiri. Pandangannya beralih dari Langit, menatap ke arah lain dengan sikap dingin namun penuh perhitungan.

Ia kembali menoleh, menatap Langit lurus. “Mama sudah menduga ini akan terjadi,” Lanjutnya tenang, namun tajam. “Masalahnya sekarang…” Jedanya singkat dan menusuk. "Mama malu!"

Sorot matanya mengeras, suaranya turun dingin. “Malu punya calon mantu seperti Arum. Wanita jalang. Penggoda. Tidak tahu diri.”

Langit tersentak, namun Laura belum selesai.

“Perempuan yang tak bisa menjaga harga dirinya sendiri, lalu berani masuk ke kehidupan keluarga kita,” Lanjutnya sinis. “Dia tidak setara dengan kita, Langit. Asal-usulnya saja tidak jelas, martabatnya apalagi...”

Laura melipat kedua lengannya di depan dada. “... dan ketika kamu menikahinya, aib itu kamu bawa pulang ke rumah ini!”

Kata-kata itu menghantam Langit tanpa ampun, membuat dadanya terasa semakin sesak.

Di saat yang sama, ia beranjak dari sofa. Matanya yang semula redup kini terangkat perlahan, menatap Laura dengan sorot berbeda—bukan lagi kebingungan, melainkan luka yang bercampur tekad. Rahangnya mengeras, napasnya terdengar berat, dan saat itu langkahnya mantap saat ia berdiri tegak di hadapan wanita yang telah melahirkannya.

“Cukup, Ma.” Suaranya rendah, bergetar tipis, namun jelas.

Ia menghela napas dalam, menahan emosi yang hampir tumpah. “Arum bukan seperti yang Mama katakan. Dia tidak jalang, tidak murahan, dan tidak pernah berniat menggoda siapa pun.”

Mata Langit yang berkaca-kaca, tak mengalihkan pandangannya. "Ini... murni kesalahanku, Ma!" Lanjutnya, penuh penekanan.

"Murni?" Ulang Laura dengan anggukkan perlahan. "Ya. Kalau dia tidak menggodamu dengan caranya, kamu mungkin masih menahan kendali dan semua itu tidak akan terjadi, Langit!"

Langit berpaling sejenak. Dan, keheningan kembali jatuh, lebih pekat dari sebelumnya. Langit berdiri di sana—terluka, namun akhirnya memilih berpihak, meski harus berhadapan langsung dengan amarah dan harga diri keluarganya sendiri. Detik berikutnya, ia kembali menatap Ibunya yang sedari tadi mengunci geraknya.

"Aku akan menikahi Arum dalam waktu dekat ini." Ucapnya penuh ketegasan. "Aku gak peduli Mama setuju apa enggak, dan masalah kuliah aku... itu semua bisa aku tangani sendiri, Maka gak perlu khawatir."

Laura mendesis pahit. Sudut bibirnya terangkat miring, bukan senyum, melainkan ejekan yang dingin. Ia menatap Langit lama, seolah mencoba mencari celah keraguan di wajah putranya—namun yang ia temukan hanyalah keyakinan yang tak lagi goyah.

“Berani sekali kamu sekarang,” Katanya perlahan, nadanya sinis. “Demi perempuan itu, kamu siap melawan Mama? Siap kehilangan semuanya?”

Laura melangkah mendekat satu langkah, sorot matanya menusuk. “Ingat, Langit,” lanjutnya dingin, “apa yang kamu nikmati hari ini—pendidikan, kehidupan, masa depan—semuanya berdiri di atas nama keluarga ini. Sekalipun itu Papa kamu yang sudah menceraikan Mama!"

Langit membisu lagi. Seketika, keheningan kembali menggantung. Dua kehendak saling berhadapan, sama-sama keras, sama-sama mempertahankan pendirian masing-masing, dan sama-sama tak mau mundur. Dan untuk pertama kalinya, Laura menyadari… Langit bukan lagi anak yang bisa ia kendalikan begitu saja.

****

Arum tahu Langit akan bertanggungjawab, Langit akan menikahinya. Namun, sungguh, dalam hati kecilnya, campuran antara perasaan malu dan menyesali dirinya sendiri masih terus berusaha menggerogotinya. Terlebih ketika ia melewati ruang tamu dan matanya tak sengaja bertemu dengan bingkai foto Ibunya yang tersenyum nyata, hatinya ingin menangis meminta maaf karena telah membuat wanita berharganya itu kecewa.

"Maafin aku, Bu." Lirihnya, nyaris tak terdengar.

Tangannya mengepal di sisi tubuh. Rasa malu itu kembali menekan, bercampur penyesalan yang tak kunjung reda. Ia merasa kotor oleh kesalahan sendiri, merasa tak pantas berdiri di titik hidupnya sekarang. Padahal jauh di lubuk hatinya, ada kehidupan kecil yang tengah ia jaga—anak yang tak meminta untuk dilahirkan dalam keadaan seperti ini.

Arum mengusap cepat sudut matanya, menarik napas panjang sebelum melangkah lagi. Ia tahu ia harus kuat. Bukan hanya untuk Langit, tapi untuk dirinya sendiri… dan untuk janin yang kini menjadi alasan ia bertahan, meski hatinya masih dipenuhi luka dan rasa bersalah.

Tak lama, suara getar ponsel memecah keheningan. Arum tersentak kecil, tangannya refleks merogoh saku tasnya. Getaran itu terasa begitu nyata di telapak tangannya, seolah menariknya kembali ke dunia yang penuh kegelisahan.

"Halo, Mas?" Sapa Arum ketika ia menyentuh ikon hijau ponselnya ke atas.

"Sayang..."

Suara Langit terdengar lembut di seberang sana, perlahan merambat masuk ke relung hatinya, menenangkan gemetar yang sejak tadi ia tahan. Setiap katanya seperti pelukan tak kasatmata, merengkuh Arum dalam ketakutan yang selama ini ia pendam.

Ia tak berusaha lari, tak lagi menyangkal fase hidup yang kini harus ia jalani—fase penuh salah dan dosa. Namun bersama Langit, Arum memilih bertahan. Dalam kelembutan suara itu, ia menemukan keberanian kecil untuk tetap berdiri, menerima masa depan apa adanya, meski langkah mereka dimulai dari luka dan penyesalan.

"Kamu lagi apa? Aku mau ngabarin kamu, kalau..."

Suara itu mendadak menggantung di udara.

"Kalau apa, Mas?" Desak Arum, namun tak memaksa.

"Aku punya cukup tabungan. Cukup untuk pernikahan kita."

"Mas..." Gumam Arum bergetar. Pernyataan itu lagi, dan lagi membuat hatinya tenang dan merasa hidup yang ia jalani akan baik-baik saja bersama Langit. Air matanya tanpa permisi, meluncur deras membasahi kedu pipinya.

Arum sengaja tak menghapusnya, ia justru membuat dirinya terisak sesak.

"Sayang, kamu kenapa nangis?"

"A-Aku..."

Hening sesaat. Nafas Arum terdengar tertahan, seolah kata-kata enggan keluar karena terlalu berat untuk diucapkan, antara menggenggam rasa kelegaan yang membuncah dan rasa bersalah yang memenuhi dadanya, keduanya saling bertabrakan tanpa memberi ruang untuk bernapas. Ia lega karena Langit ada, tetap memilihnya, tetap berdiri di sisinya. Namun di saat yang sama, rasa bersalah itu menekan, membuatnya merasa tak sepenuhnya pantas menerima keteguhan tersebut.

"Sayang?"

"Ma-Mas..."

"Ya udah, kamu gak usah mikir apapun, ya. Gak usah mikir macem-macem. Yang penting... pernikahan kita. Besok aku akan mengajak kamu pergi membeli perhiasan sebagai mas kawin. Kamu bebas untuk milih apapun yang kamu mau."

"Makasih ya, Mas." Ucap Arum pada akhirnya. "Makasih karena kamu telah mau menerima aku sekarang ini, terima kasih karena kamu tetap bertahan dan memilih untuk bersamaku."

"Kamu tidak perlu mengucapkannya. Aku yang justru minta maaf sama kamu karena telah menghancurkan dunia dan harapan kamu. Dan sekarang... aku janji akan bertanggungjawab sepenuhnya. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku akan berdiri di depan, melindungi kamu dan anak kita—apa pun yang terjadi.”

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!