”Elden, jangan cium!” bentak Moza.
”Suruh sapa bantah aku, Sayang, mm?” sahut Elden dingin.
"ELDENNN!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Felina Qwix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Deep Stare
"El-"
"Minggir."
Mirna terhenyak. Wajahnya tercekat untuk beberapa detik. Tak disangka cowok yang diklaim sebagai pacarnya kemanapun dia pergi, bisa bersikap sedingin itu sekarang.
Baru hendak pergi, Mirna melihat sendiri di depan matanya. Moza dan Elden bertemu.
"E-elden?"
"Moza, gue mau bicara sama lo. Ikut gue."
Tanpa menunggu lama pergelangan tangan Moza ditarik ke roof top. Dan Mirna melihatnya sendiri. "Sialan! Kenapa Moza sampe dibawa berduaan?" keluh Mirna.
Hatinya memanas. Cemburu bukan main. Tapi dirinya tak punya hak apapun atas Elden. Pria itu terlalu sulit dilawan. Bukan hal yang bisa ia setir. Justru dirinya yang tersetir.
.
.
.
Di roof top.
"Lepasin! Elden!" Moza menghempaskan tangannya dari genggaman erat Elden. Gadis itu saling tatap dengan pria jangkung di depannya.
"Apa mau lo?" tanya Elden dengan suara rendahnya. Nadanya seperti tak terima, marah tapi tertahan.
"Gue? Harusnya gue yang nanya apa mau lo?"
"Oh ya dengan pertunangan kita. Apa loe pikir itu gue yang mau, mm?" Sinis Elden. Suaranya rendah tapi cukup membuat Moza ketakutan.
"Gue juga gak mau itu."
"Bagus."
Elden menjetikkan jarinya. Pria itu memepet Moza dengan menatapnya tajam. Memindai gadis itu seolah ingin menelannya hidup-hidup.
"Kita bikin perjanjian."
"P-perjanjian apa?"
"Gue mau, lo dengan urusan lo. Gue dengan urusan gue. Kita akting mesra cukup di depan mama gue. Ngerti kan?"
"O-oke."
"Good girl."
Setelah berkata demikian, Elden hendak pergi. Tapi dua langkah sebelum benar-benar meninggalkan Moza, pria itu menolehkan kepalanya. "Jangan atur hidup gue. Dan itu tugas lo di depan mama seolah gue gak ngelanggar aturan mama."
Moza hanya meringis. Masih terngiang bagaimana dinginnya dan mengerikannya tatapan Elden barusan. Langkah pria itu tampak santai dan pergi dari hadapannya.
Mengingat ucapan Susi semalam, Moza justru kesal bukan main. "Kalo gak karena ulah mama, gak mungkin aku jadi bahan ancaman anak orang!"
"HEH!" Mirna datang.
Gadis itu melipat tangannya di depan dada dengan raut wajahnya yang begitu sinis. Menatap tak suka ke arah Moza.
"Lo mau cari muka di depan mamanya Elden?" tanyanya sinis.
"Gak kok,"
"Halah, gimana ceritanya cewek jalur beasiswa kek lo malah ditunangkan dengan Elden? Lo ngaca kek, lo siapa, Elden itu sapa!"
"Iya gue tau kok,"
"Tau lo bilang?" Mirna menatap sinis ke arah Moza. Gadis itu mendorong bahu Moza dengan menatapnya remeh. "Kalo lo tau, batalkan pertunangan itu. Atau jangan-jangan lo butuh duit? Gimana kalo gue bantu tanpa risiko?" sinis Mirna.
"M-maksudnya?"
"Lo gue dorong ke bawah. Kalo lo mati. Pertunangan kalian gagal tanpa resiko kan? Suka gak dengan cara gue, mm?" tanya Mirna, tatapannya benar-benar penuh dendam.
"MIRNA. LEPASIN GAK."
Suara bariton itu adalah suara Elden. Mirna pun gemetar. Dia menoleh. Dan benar Elden menatapnya dingin. "L-lo bela dia daripada gue?"
"Lo pergi."
"Kenapa lo bela dia daripada gue?"
"Kalo gue bilang pergi. Pergi. Mau gue seret?" Ancam Elden dingin. Mirna segera mundur. Air matanya menetes tanpa kendali. Elden membuatnya patah hati bukan main.
"Lo tega!"
"Harus."
Mirna pergi begitu saja. Saat itu Elden datang menghampiri Moza. "Jangan kira gue nolongin lo. Gue cuma jaga reputasi gue sendiri karena pertunangan bodoh ini paham?"
Moza tak bersuara. Gadis itu juga tak berniat menjawab apapun atas pernyataan Elden. Dirinya tak lagi minat.
Moza pun tersenyum singkat. "Apapun. Makasih."
Lalu, gadis itu pergi begitu saja. Tanpa berkata-kata lagi. Meninggalkan Elden sendirian. Keduanya berdiri berjauhan dengan saling memunggungi, kedua tangan Elden berada di sakunya. Sementara Moza melangkah menjauh. Kala gadis itu tiba di tangga.
Elden menoleh. Ada tatapan yang bermakna untuk Moza. Entah apa artinya.
****
Tiba di kelasnya. Hati Moza sangatlah campur aduk. Antara bingung kesal jadi satu. Jia yang ada di sampingnya menepuk pundaknya.
"Lo tadi darimana aja? Ada yang bilang lo ditarik Elden ke roof top? Dia nembak lo? Atau mau atur jadwal liburan habis pertunangan kalian?"
"Jia, lo bisa diem gak sih?"
"Kenapa? Lo marah?"
"Gue gak minat bicarakan itu. Gue mau fokus belajar."
"Lo kenapa sih, gak asyik amat? Calon tunangan lo itu anaknya Om Jonathan Pitch. Lo kira itu cuma kebetulan? Itu anugrah tau!"
"Gue gak minat ngomongin itu. Jadi, stop."
Jia terpaksa menghentikan ucapannya. Mau bagaimana lagi, Moza tampak tak tertarik dengan topik yang ia bawakan. Sebenarnya Jia sendiri kepo. Bisa bisanya Moza bertunangan dengan Elden? Apa ini nyata? Atau hanya ada sesuatu?
Tapi, bagaimana cara Jia mengetahui semuanya?
Kalo Moza sudah enggan duluan untuk membahas hal ini.
Saat pelajaran berlangsung. Seorang Guru bernama Miss. Gem masuk.
"Anak-anak. Keluarkan buku geografi kalian."
Semua siswa-siswi fokus mengikuti pelajaran. Termasuk Moza. Meski hatinya sedang bergejolak berisik memikirkan perjodohan konyol yang dilakukan Susi mamanya dengan bosnya yang ternyata mamanya Elden.
“Jadi,” ucap Miss Gem sembari menulis sesuatu di papan tulis. “Siapa yang bisa sebutkan tiga faktor penyebab terbentuknya pegunungan lipatan?”
Beberapa siswa mulai membolak-balik halaman buku. Moza diam, tanpa membuka buku, mengangkat tangannya.
“Moza? Silakan,” kata Miss Gem, tak pernah heran melihat Moza yang selalu aktif dan pandai di kelas. Dia memang punya reputasi yang baik sekali.
“Yang pertama, adanya tumbukan lempeng tektonik. Kedua, tekanan endogen yang menyebabkan kerak bumi terlipat. Ketiga, proses geologi yang berlangsung dalam waktu lama,” jawab Moza tenang.
Miss Gem tersenyum puas. “Benar sekali. Tiga poin sempurna.”
“Keren,” bisik Jia di sampingnya sambil melongo.
Miss Gem melanjutkan materi dan memberikan soal pemahaman konsep peta topografi. “Nah sekarang, siapa yang bisa menjelaskan fungsi garis kontur dalam peta?”
Moza kembali mengangkat tangan.
“Moza lagi, silakan.”
“Garis kontur digunakan untuk menunjukkan ketinggian suatu tempat dari permukaan laut. Semakin rapat garisnya, berarti kemiringan medan semakin curam,” jawab Moza jelas.
Seketika, seluruh kelas mulai menoleh ke arahnya. Beberapa murid tampak mulai memperhatikan Moza dengan ekspresi kagum, termasuk cowok populer seperti Devano dan Riel.
“Good! Moza, kamu benar-benar bintang kelas,” puji Miss Gem.
Tak berhenti sampai di situ, satu pertanyaan lagi dilontarkan. Kali ini mengenai jenis-jenis batuan.
“Jenis batuan beku terbentuk karena proses apa?” tanya Miss Gem.
Dan lagi-lagi, tangan Moza terangkat.
“Karena pendinginan magma, Bu. Bisa terjadi di dalam bumi, disebut intrusif, dan bisa di permukaan, disebut ekstrusif,” jawabnya lagi.
“Excellent! Tiga kali berturut-turut. Ini baru namanya murid unggulan!” seru Miss Gem sambil tepuk tangan.
Satu kelas ikut bertepuk tangan—meski ada yang sekadar formalitas.
"Jadi, gak salah kalo Moza emang dipilih jadi calon menantunya Tuan Jonathan." Tambah Miss.Gem
Prok!
Prok!
"Gue bilang apa, Miss. Gem aja dukung. Lo masak melempem sih pas tau tunangan sama si Elden! Gak masuk akal tau, Za!"
"Berisik lo, Jia."