"Apa yang Dipisahkan Tuhan takkan pernah bisa disatukan oleh manusia. Begitu pula kita, antara lonceng yang menggema, dan adzan yang berkumandang."
- Ayana Bakrie -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Venus Earthly Rose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selasa 30 Agustus 2016
"Rumah. Rumah yang menjadi tempat melepas penat, dimana bisa berlindung dari kerasnya dunia. Rumah sebagai tempat untuk beristirahat dari segala macam kesesakan hati yang disebabkan dari luar. Tempat dimana kita mulai bermimpi, tempat dimana kita tidak mengkhawatirkan apapun. Tempat ternyaman saya untuk memejamkan mata dan melupakan sejenak hingar-bingar dan lelahnya pikiran saya. Rumah saya hancur. Saat saya bangun dari tidur saya, semua kenyataan itu langsung menghujam tepat di depan mata dan hati saya. Rasanya begitu sakit." Ucap Andra. Suaranya parau, terisak.
Sungguh, hatiku terasa pilu. Aku menceritakan hal ini kepada Steven dan seketika matanya berair. Andra dan saudaranya begitu tegar. Mereka hanya ingin keluarga yang utuh dan bahagia, dimana kedua orang tua mereka bisa saling mencintai satu sama lain, selayaknya orang tua pada umumnya. Sudah berapa lama mereka menginginkan hal ini dari mereka kecil, impian mereka hanya sesederhana itu. Andra tak butuh uang orang tuanya, ia tak butuh itu. Mereka begitu tegar, mereka begitu dewasa, mengorbankan keinginan mereka yang memang seharusnya menjadi hak yang mereka dapatkan demi kebahagiaan orang tua mereka. Mereka tahu, meski dipaksakan pun, orang tua mereka tetap akan bahagia dengan orang-orang lain itu. Jadi bagi mereka, cukuplah mengetahui orang tua mereka sehat dan bahagia, sangat cukup. Perihal bagaimana hancurnya hati mereka, biar mereka yang menanggungnya. Andra bilang, dia takkan membentuk keluarga seperti orang tuanya, takkan pernah. Ia lebih memilih untuk kehilangan semua uang dan aset itu daripada menjadi seperti mereka.
Ia perlu memenangkan diri. Perlu sekali. Semua drama ini membuatnya benar-benar kelelahan baik secara fisik dan mental. Ditambah lagi drama dari keluarga besarnya, yang langsung kelimpungan mengurus masalah ini. Kedua keluarga mereka bertikai seketika saling menyalahkan. Orang tua Andra takkan pernah rujuk karena ketiga anak mereka membuat mereka bersumpah atas itu. Kebahagiaan dan cinta yang dimiliki oleh ibu Andra bukan ayahnya, begitu pula sebaliknya. Namun, ayah Andra berjanji akan tetap menjalin hubungan bisnis yang baik dengan keluarga ibu Andra. Andra tak peduli lagi akan hal itu. Ia bahkan tak tahu kapan pastinya tanggal persidangan perceraian orang tuanya akan diselenggarakan. Dia hanya ingin menepi, beristirahat, dunianya sedang hancur.
Andra masih pergi ke sekolah seperti biasanya, dia aktor yang baik. Menyembunyikan segala perasaannya di balik topeng. Ia bilang ia sengaja menyibukkan diri agar melupakan tentang rumahnya dan begitu pula kedua kakaknya. Dia sudah tak memiliki kantong mata lagi, dia mengonsumsi obat tidur tepat setelah makan malam, sehingga ia terlelap sampai fajar menyingsing. Ia berkonsultasi dengan psikiater untuk hal itu. Dia masih menangis, meneleponku. Menceritakan semua risau di hatinya. Ia kelelahan dengan semua ini. Jiwanya lelah. Aku tak bisa melakukan apapun selain terus memberikannya semangat. Dia harus kuat demi dirinya sendiri. Aku kadang menangis mengingat apa yang terjadi pada Andra. Orang tuanya bukannya tidak berusaha untuk menolak keinginan anak-anaknya yang memaksa mereka bercerai. Namun, anak-anak mereka tahu dan ingin yang terbaik bagi mereka. Meskipun itu mungkin mengorbankan kebahagiaan mereka. Mereka ikhlas.
Andra bilang dia baik-baik saja dan akan tetap baik-baik saja meskipun kini dunia yang selama ini baginya sudah rusak malah hancur. Ia tak masalah, ia dan kedua kakaknya tak mempermasalahkan hal itu. Orang tua mereka tetap yang terbaik bagi mereka, mereka sudah berjuang dengan mengalah melepaskan seluruh kebahagiaan mereka dan memilih kebahagiaan anak-anaknya. Yang pada akhirnya, menurut Andra, kini giliran ia dan saudaranya yang membiarkan kedua orang tua mereka bahagia.
Orang tua Andra akan berpisah secara baik-baik. Kemarin malam dia melakukan panggilan video dengan ayahnya, ia lalu mematikan sambungan ketika melihat Tante Maria yang muncul di belakang ayahnya. Ia bilang, ia membencinya. Sangat. Ia masih berpendapat jika Tante Maria adalah pencuri, yang mengambil salah satu penopang rumahnya. Aku tak bisa menyalahkan Andra untuk hal ini. Andra bilang dia sudah terbiasa sendiri di Jakarta, pulang ke Semarang dan makan malam bersama keluarga dan rekan bisnis ayahnya hanya untuk pencitraan, sebagai keluarga bahagia yang memiliki segalanya meskipun mereka hanya pura-pura bahagia. Kini ia rasa ia akan merindukan semua itu. Saat ayah dan ibunya akan benar-benar berpisah, kesendiriannya terasa begitu nyata. Ia dan kakak-kakaknya saling menguatkan satu sama lain. Hanya mereka bertiga. Hanya tersisa mereka bertiga. Jadi mereka harus saling melindungi satu sama lain.
Andra bilang dia akan Hiatus menulis untuk beberapa bulan ke depan, ia butuh waktu untuk menenangkan pikirannya. Ia juga mengatakannya ke Raditz Squad. Namun ia tak menceritakan alasannya. Dia sangat pandai menyembunyikan perasaannya, dia terdengar ramah dan ceria di pesan suara yang ia kirimkan ke grup. Aku tak berani menanyakan hal ini kepada Brian mengenai apa ia juga sudah tahu kabar keluarga Andra. Aku takut Andra tak menceritakan hal ini kepadanya. Dia dan Andra bercanda seperti biasa seperti tak ada beban sama sekali. Aku sering bertanya kepada Andra, apa ada hal yang bisa ku lakukan untuk membuatnya merasa lebih baik dan ia selalu menjawab cukup dengarkan saja cerita dan tangisnya, ia sangat berterima kasih untuk hal itu.
"Rumah saya selalu berbeda, dari awal pertama saya bisa mengingat, selalu berbeda dengan rumah lainnya. Saya baru menyadarinya saat melihat salah satu teman saya. Terasa berbeda. Saya awalnya mencoba berbohong ke diri sendiri, rumah saya seperti orang lain, kok. Sama. Hanya saya saja yang terlalu perasa. Namun seiring berjalannya waktu, fakta itu semakin terpampang di depan mata saya. Rumah saya berbeda, rusak, saya ingin rumah yang kokoh, baik, bagus, orang tua saya menyanggupi keinginan anak-anaknya, namun kini kami yang egois. Maka dari itu kami memutuskan untuk menghancurkan rumah kami. Setidaknya mereka memikirkan kebahagiaan kami dan akan mengorbankan kebahagiaan mereka. Jadi kini hanya tinggal kami bertiga. Rumah ini takkan pernah membuat penghuninya merasa bahagia, kami mungkin bahagia, tapi tidak dengan dua penopang utama rumah kami. Hanya kami." Kata Andra.
Aku menangis mendengar ucapannya. Andra begitu tegar. Dia selalu tegar. Ya Allah dia hanya anak kelas dua SMA. Aku tak bisa membayangkan seberapa lama dia memendam semua ini. Tak semua anak kuat menghadapi dan menjalani apa yang ia jalani. Jadi ini yang ia maksud saat itu, perihal rumah. Mengapa dia begitu tertarik dengan definisi rumah menurutku. Itu karena rumah yang ia miliki tak seperti yang ia harapkan, tak dapat ia jadikan tempat melepaskan diri dari seluruh penat dunia. Andra, semoga kamu selalu diberikan ketegaran dalam menghadapi semua yang terjadi ini. Semoga Tuhan melindungi semua langkahmu.