NovelToon NovelToon
Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Pengasuh / Pengawal / Putri asli/palsu
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Wahyu Kusuma

Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.

Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14 Suasana

Di siang hari yang cerah.

Herald dan Clara masih duduk bersama, menikmati makanan mereka. Lebih tepatnya, mereka makan bersama, bukan sekadar Herald yang menyuapi Clara. Ini sudah menjadi kebiasaan sejak Herald mulai mengantarkan makanan ke kamarnya, tanpa sadar mengambil alih tugas Susan. Hubungan mereka berkembang, dari interaksi yang canggung menjadi kebersamaan yang terasa alami.

Saat menyuapi Clara, pikiran Herald mulai dipenuhi rencana baru. [Kurasa ini saat yang tepat untuk membawanya keluar dari kamar ini.] Matanya berkeliling, mengamati kamar yang selama ini menjadi dunia Clara yang terbatas.

Dia sudah cukup memahami Clara dan yakin bahwa kedekatan mereka sudah cukup untuk mencoba sesuatu yang lebih. Meski ia belum menanyakan langsung, dia merasa Clara membutuhkan perubahan.

Setelah suapan terakhir, Herald menarik napas dalam dan bertanya, "Clara, ada sesuatu yang ingin kutanyakan."

Clara mengangkat wajahnya sedikit, menunggu pertanyaannya. "Apa itu?"

"Ee... apakah kamu memang tidak pernah keluar dari kamar ini? Sejak aku pertama kali bekerja di sini, aku tidak pernah melihatmu keluar."

Clara terdiam. Kepalanya tertunduk, ekspresinya berubah suram. Herald bisa merasakan perubahan suasana, seperti udara di dalam ruangan tiba-tiba menjadi lebih berat. [Oh tidak, apa aku menyinggung sesuatu yang seharusnya tidak kutanyakan?]

Setelah beberapa saat, Clara akhirnya berbicara. Suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya. "Aku sangat jarang keluar dari kamar ini. Kamu tahu soal keadaanku, kan...?" Jarinya perlahan menunjuk ke matanya yang kosong. "Aku tidak bisa melihat, Herald. Untuk apa aku keluar jika dunia luar hanya kegelapan bagiku? Tidak ada bedanya dengan di sini. Yang aku lihat hanyalah kehampaan. Lagipula... dunia luar itu menakutkan. Banyak orang membenciku hanya karena aku tidak bisa melihat. Lebih baik aku tetap di sini, daripada terluka di luar sana."

Kata-katanya menusuk hati Herald. Ada luka mendalam di balik ucapannya, luka yang tak terlihat namun begitu nyata. Herald merutuki dirinya sendiri karena telah mengorek luka lama itu tanpa berpikir panjang.

Dia mengepalkan tangannya, menatap Clara dengan tekad. "Nona Clara... Aku tidak tahu persis seperti apa masa lalu yang telah kamu lalui, tapi jangan berpikir seperti itu. Dulu, ketika pertama kali bertemu denganmu, aku sempat berpikir kalau kamu hanya berpura-pura polos. Aku mengira kamu adalah orang yang dingin dan tidak peduli. Tapi setelah mengenalmu lebih dalam, aku sadar bahwa aku salah besar. Kamu bukan orang seperti itu. Kamu hanya... kesepian. Kamu butuh seseorang untuk mengekspresikan perasaanmu."

Clara mengernyit, ekspresinya berubah dari suram menjadi kesal. "Herald... Jadi selama ini kamu menganggapku seperti itu?"

Herald tersentak. [Sial, aku terlalu jujur!] Dia segera mengangkat tangannya, berusaha menenangkan Clara. "Nona Clara, tunggu dulu! Dengarkan aku sampai selesai!"

Clara mendesah pelan, lalu menyilangkan tangannya di dada. "Baiklah, lanjutkan."

Untung saja Clara dapat menenangkan emosinya yang sempat naik. Herald menghela napas lega, merasakan ketegangan yang perlahan mengendur.

"Jadi intinya adalah, jangan selalu berpikiran buruk tentang dunia luar. Memang, ada sisi gelap dari dunia ini, tetapi di sisi lain, ada juga keindahan yang bisa ditemukan. Itulah yang menciptakan keseimbangan dalam hidup."

Dia berhenti sejenak, memastikan Clara mendengarkan. Kemudian, matanya menatap langsung ke arah gadis itu.

"Dan tentang penglihatanmu..." katanya, suaranya sedikit lebih lembut. "Kamu masih bisa merasakan keindahan dunia ini, meskipun tidak bisa melihatnya. Kadang, saat aku kabur dari rumah, aku suka mampir ke tempat-tempat yang memiliki suasana khas, hanya untuk berbaring dan menikmatinya. Aku menggunakan indra perasa, penciuman, dan pendengaranku untuk benar-benar meresapinya. Itu sangat menyenangkan dan membuatku rileks. Kamu juga bisa merasakannya, Clara."

Herald lalu berdiri dari tempatnya, mengulurkan tangan ke arahnya. "Sekarang, berdirilah dan berjalan sedikit ke kiri."

Clara ragu sejenak, tetapi akhirnya menurut. Beberapa saat kemudian, mereka berdiri bersebelahan di tengah ruangan.

"Nah, sekarang coba jawab, bagaimana suasana di dalam kamar ini?" tanyanya.

Clara terdiam, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Hm... ruangan ini terasa dingin dan lembab, dan ada sedikit aroma makanan yang tersisa."

"Hanya itu saja?" Herald menggoda.

Clara mengerutkan kening. "Ya, memang hanya itu."

Dia masih bingung mengapa Herald menanyakan hal ini, tetapi memilih untuk mengikuti alurnya saja.

"Sekarang, bagaimana dengan ini?" Tanpa menunggu jawaban, Herald menggeser tirai yang menutup jendela.

Seketika, cahaya matahari membanjiri ruangan, menyelimuti mereka dengan kehangatan. Clara merasakan perubahan itu—suasana yang tadinya dingin perlahan menghangat, sinar matahari menyentuh kulitnya dengan lembut. Dia menghela napas pelan.

"Sekarang suasananya... cukup hangat," gumamnya, memejamkan mata sejenak untuk menikmati sensasi tersebut.

Herald tersenyum kecil. "Bagus. Dan sekarang, bagaimana dengan yang ini?"

Dia membuka jendela lebar-lebar. Angin sepoi-sepoi segera menyelinap masuk, mengisi ruangan dengan udara segar yang menenangkan. Aroma samar dari rerumputan dan bunga liar terbawa ke dalam, menggantikan bau pengap yang sebelumnya ada. Clara merasakan angin lembut menerpa wajahnya, berpadu dengan kehangatan matahari yang menyelimuti tubuhnya. Udara yang tadinya terasa berat kini berubah menjadi ringan dan menyenangkan.

Clara tersenyum tanpa sadar. Perasaan nyaman ini... sudah lama sekali sejak terakhir kali dia merasakannya.

[Ah... sudah lama aku tidak merasakan suasana seperti ini. Nyamannya~]

Saat melihat Clara yang begitu larut dalam kenyamanan suasana baru ini, Herald tersenyum puas. Sepertinya inilah saat yang tepat untuk melangkah ke tahap selanjutnya.

"Nah, sekarang kamu tahu betapa menyenangkannya merasakan sesuatu yang baru. Dan percayalah, ini belum seberapa dibandingkan dengan keindahan di luar sana. Kamu pasti akan menyukainya."

Clara mengangguk pelan. Wajahnya tampak lebih hidup, seolah-olah baru saja menyadari sesuatu yang sebelumnya tersembunyi darinya.

"Mm! Ini sangat menyenangkan... Ah, kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Aku bisa menikmati hidup ini, meski aku tidak bisa melihat. Dan... aku ingin merasakan suasana lain yang kamu ceritakan itu."

Herald hampir tak bisa menahan rasa senangnya. Itu adalah kata-kata yang ia tunggu-tunggu. Satu kalimat sederhana, tapi memiliki makna yang begitu besar.

"Kalau begitu, apakah kamu ingin keluar?" tanyanya dengan nada penuh harap.

Clara terdiam. Ekspresinya berubah sedikit ragu, dan ia menggigit bibirnya, seakan sedang bergulat dengan pikirannya sendiri. [Aku ingin pergi keluar... tapi aku juga takut.] Bayangan masa lalunya kembali menghantuinya, mengingatkannya pada pengalaman pahit yang membuatnya menutup diri selama ini.

"Herald... Aku memang ingin keluar, tapi... bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk padaku? Aku tidak mau terluka lagi..." ucapnya lirih.

Herald menatapnya dengan penuh keyakinan, lalu tanpa ragu meletakkan tangannya di pundak Clara, memberinya kehangatan yang menenangkan.

"Tidak akan ada yang menyakitimu, Clara. Kamu punya aku. Aku akan menjagamu, kapan pun dan di mana pun." Suaranya begitu mantap, seakan memberikan janji yang tak mungkin ia ingkari.

Clara terkejut. Wajahnya memanas, dan ia segera memalingkan kepalanya untuk menyembunyikan rona merah di pipinya. Dia tidak tahu mengapa, tetapi kata-kata Herald barusan membuat dadanya berdegup lebih cepat.

[Apa yang terjadi!? kenapa aku salah tingkah begini. Kata-kata Herald seketika membuatku berdebar-debar.]

Crlara merasa berdebar-debar tetapi lain halnya dengan Herald. Dia hanya menatap aneh mengapa Clara malah memalingkan wajahnya.

[Kenapa lagi dengan dia? Apa dia masih takut...? Heh, kurasa kata-kata tadi kurang efektif. Aku harus memikirkan cara–]

Namun, sesaat Clara memberikan jawabannya.

"K-Kamu yakin?" tanyanya pelan.

Herald tersenyum lebar. Ternyata ucapannya efektif. "Tentu saja. Itu sudah menjadi tugasku, kan?"

Clara terdiam sesaat, lalu tiba-tiba berbalik dan mengambil beberapa langkah menjauh darinya, menjaga jarak. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu akhirnya berkata, "Mm... kalau begitu, besok pagi aku akan mencoba keluar dari kamar ini."

Jawaban yang telah dinanti-nantikan Herald akhirnya keluar. Kegembiraannya sulit disembunyikan. Ini adalah kemenangan kecil baginya—satu langkah lebih dekat menuju tujuan akhirnya.

"Uhuy!!! Aku berhasil! Akhirnya! Huh, perjuangan yang melelahkan," serunya dengan penuh kepuasan.

Clara mendengus geli. "Hei, jangan bersikap seperti itu. Seolah-olah kamu baru saja memenangkan perang saja."

"Hei, ini memang seperti perang! Perjuangan untuk membujuk seorang putri yang keras kepala keluar dari sarangnya."

Clara mendecak, tetapi ada senyum tipis di wajahnya. Herald pun kembali duduk dan menatapnya.

"Baiklah, kalau begitu, ayo kita selesaikan makan siang ini."

Clara mengangguk. "Mm, baiklah."

Mereka kembali menikmati makanan mereka. Hari ini, bagi Herald, adalah hari yang luar biasa. Sebuah kemajuan besar telah dicapai. Namun, ia tahu bahwa ini belum berakhir. Besok adalah hari baru, dengan tantangan baru yang menanti.

Saat makan, tiba-tiba Clara mengajukan pertanyaan yang tidak disangka-sangka.

"Hei, Herald, tadi aku mendengar kamu bilang bahwa kamu sering kabur dari rumah. Coba ceritakan bagaimana kamu kabur, dan setelah itu kamu pergi ke mana?"

Herald tersedak sedikit. "Eh? Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan itu?"

Clara mengangkat bahu. "Yah, aku selalu berada di dalam ruangan ini. Jadi, aku penasaran dengan ceritamu. Pasti menyenangkan bisa berkeliaran sesuka hati."

Herald menoleh ke arah lain, wajahnya tampak sedikit gelisah. "Tidak, tidak, tidak. Itu sangat memalukan untuk diceritakan."

Clara mencondongkan tubuhnya ke depan, tertarik. "Ayolah, ceritakan sedikit saja."

"Ah, tidak! Itu memalukan!"

Clara menyilangkan tangan di dadanya dan mengangkat dagunya dengan angkuh. "Herald, ini adalah perintah dari tuanmu. Sekarang ceritakanlah."

Herald mendengus frustasi. "Sudah kubilang, aku tidak mau! Itu adalah kisah memalukan!"

Kehangatan suasana makan mereka berubah menjadi ajang perdebatan kecil, dengan Clara yang terus mendesak dan Herald yang mati-matian menolak. Namun, bagi mereka berdua, ini bukan sekadar perdebatan. Ini adalah bagian dari hubungan yang semakin erat di antara mereka.

1
Hirage Mieru
.
Cindy
☕️ Untuk menambah semangat.
‎‎‎‎Wahyu Kusuma: uwawwww makasih 😆
total 1 replies
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Ada sedikit kesalahan pada bab 4😔 Jangan dibaca dulu
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Jangan lupa baca karya baru saya 😳 Ini adalah novel Romence pertama saya yang sudah melewati masa revisi. Kuharap kalian bakalan nyaman membacanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!