Follow IG @ersa_eysresa
Bagaimana jika kekasih yang kamu cintai ternyata bermain hati dengan adikmu. Dan di hari pertunanganmu dia membatalkan pertunangan kalian dan mempermalukanmu dengan memilih adikmu untuk dinikahi.
Malu sudah pasti, sakit dan hancur menambah penderitaan Rayya gadis berusia 23 tahun. Gadis cantik yang sudah mengalami ketidakadilan di keluarganya selama ini, kini dipermalukan di depan banyak orang oleh adik dan kekasihnya.
Namun di tengah ketidakadilan dan keterpurukan yang dia alami Rayya, muncul sosok pangeran yang tiba-tdi berlutut di depannya dan melamarnya di depan semua orang. Tapi sayangnya dia bukanlah pangeran yang sebenarnya seperti di negeri dongeng. Tapi hanya pria asing yang tidak ada seorangpun yang mengenalnya.
Siapakah pria asing itu?
Apakah Rayya menerima lamaran pria itu untuk menutupi rasa malunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Menemui Putra
Setelah beristirahat selama satu hari di rumahnya, Livia akhirnya memutuskan untuk keluar. Pagi itu, udara masih terasa sejuk, dan langit sedikit mendung, seolah menyesuaikan dengan suasana hatinya yang berat. Livia berpamitan kepada kedua orang tuanya dengan senyum yang dipaksakan dan mencari alasan untuk keluar dari rumah.
"Aku ke rumah Nia sebentar, Bu," katanya singkat.
"Apa tidak sebaiknya kamu di rumah dulu, Liv. Agar kabar miring itu mereda dulu, "
Arin masih terlihat cemas dengan keadaan Livia pasca kejadian memalukan yang sudah dilakukan oleh Livia beberapa hari terakhir, yang membuatnya sampai mendekam di dalam penjara selama beberapa hari. Livia tahu ia sedang diawasi, dibicarakan, dihakimi karena perbuatannya. Apalagi sekarang video permintaan maafnya pasti sudah dilihat oleh semua orang.
Tapi ia tak peduli, Mau tidak mau suka tidak suka dia harus pergi untuk menemui Putra dan mendengar semuanya. Dengan berbekal masker yang menutup wajahnya, Ia melangkah cepat menuju sebuah rumah megah di kawasan elit, rumah milik keluarga Putra. Dia ingin memastikan sesuatu.
Dengan napas memburu, ia berdiri di depan pintu tinggi berlapis kayu jati, dan mengetuk dengan keras pintu tersebut. Ketukan penuh amarah, kecewa yang dia rasakan. Tak berapa lama, pintu itu terbuka.
Namun bukan Putra yang menyambutnya. Melainkan yang muncul adalah seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan, bibir merah menyala, dan sorot mata dingin menatap dirinya
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya wanita itu dengan nada sinis.
"Mama Aya," Livia menunduk sebentar lalu menatap balik dengan mata yang sama tajamnya. "Aku ingin bertemu Putra. Aku ingin tahu apakah yang aku dengar itu benar atau omong kosong."
Mama Aya mendengus, melipat tangannya di dada. "Kau tidak tahu malu datang ke sini setelah semua yang terjadi? Seharusnya kau tahu diri. Kami sudah bilang kepada orang tuamu kemarin, pertunangan itu dibatalkan. Mau tidak mau, suka tidak suka. Titik."
"Tapi aku ingin dengar langsung dari Putra!" Livia tak mau mundur. "Kami yang menjalin hubungan, bukan Mama yang berhak memutuskan semuanya sepihak!"
Mama Aya terlihat tidak suka mendengar ucapan Livia yang seperti menantangnya. Dia tidak ingin wanita seperti ini menjadi menantunya. Karena dia harus bersaing dengannya jika menjadi istri Putra nantinya. Yang dia inginkan sebagai menantu adalah wanita penurut yang tidak pernah membantahnya.
Perdebatan itu makin memanas. Suara mereka mulai naik, saling memotong dan menuduh. Hingga akhirnya terdengar suara langkah kaki cepat dari arah tangga. Seorang pria dengan wajah tampan namun penuh ketidaksenangan muncul dari balik dinding ruang keluarga.
"Ada apa ribut-ribut ini?" tanya Putra dengan nada malas, matanya langsung tertuju pada Livia.
Mata Livia berbinar sejenak melihat pria itu, tapi binar itu segera pudar melihat ekspresi dingin yang ditunjukkan Putra.
"Putra..." suara Livia bergetar. "Kau benar-benar ingin memutuskan pertunangan kita?"
Putra menghela napas panjang, seolah menyiapkan jawaban yang sebenarnya sudah ia pikirkan matang-matang.
"Ya. Aku setuju dengan Mama. Kita sudah tidak cocok lagi, Livia. Apalagi setelah kasus itu, kau benar-benar memalukan. Aku sudah mempermalukan Rayya di hari pertunangan kami dan lebih memilihmu, berharap kamu bisa lebih baik dari Rayya. Tapi ternyata kau lebih parah darinya." ucap Putra dengan kesal
"Tapi, Itu–, "
"Kau bodoh. Kenapa kamu sampai melakukan hal licik seperti itu. Aku benar-benar tidak menyangka, kebencianmu kepada Rayya sangat memuakkan. "
Putra memalingkan wajahnya. "Dan sekarang lihatlah hasil dari perbuatan mu. Nama baik keluarga kami ikut tercoreng. Mama tidak bisa menerimanya. Dan aku–, Aku sudah tidak ingin berurusan lagi denganmu,"
Livia merasa seluruh dunianya runtuh mendengar kata-kata kasar dari Putra. Tapi ia tidak datang sejauh ini untuk menyerah.
"Tapi kita tidak bisa berakhir sampai disini Putra–, "
"Apanya yang tidak bisa, pokoknya aku ingin hubungan kita berakhir, " Putra masih tetap pada pendiriannya.
"Tidak bisa, karena aku sekarang sedang hamil anakmu, " Ucap Livia mematahkan semua keinginan Putra.
Seketika Ruangan langsung terasa senyap. Mama Aya menatap Livia seolah gadis itu baru saja menurunkan petir dari langit dan Putra membeku di tempatnya.
"A– Apa kau bilang?" tanya Putra pelan, matanya melebar.
"Aku hamil. Anakmu." Livia mengulang dengan penuh keberanian, meskipun hatinya bergetar hebat.
Putra melangkah pelan ke arahnya. Wajahnya sulit ditebak, terkejut, marah, takut, atau bingung.
"Kau jangan main-main, Liv. Ini bukan hal sepele."
"Aku tidak sedang main-main," jawab Livia cepat. Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya, lembaran hasil USG dan surat keterangan dokter yang pernah dia lakukan sebelum hari pertunangan mereka untuk jaga-jaga jika Putra lebih memilih Rayya.
Putra mengambilnya, menatapnya lama. Mama Aya merebut kertas itu dari tangannya dan membacanya sendiri. Ekspresi wajahnya berubah seketika, antara terkejut dan terguncang.
Mama Aya mendekat, matanya menyala penuh emosi. "Kalau kau pikir anak ini bisa membuatmu kembali dalam keluarga kami, kau salah besar! Kami tidak bisa menerima perempuan sepertimu!"
"Mama!" bentak Putra tiba-tiba. "Cukup!"
Mama Aya terdiam, kaget dengan reaksi anaknya.
Putra menatap Livia lama. Ia tahu semua ini rumit. Tapi ia juga tahu anak itu, kemungkinan besar adalah darah dagingnya karena mereka pernah melakukan hubungan terlarang itu beberapa kali di belakang Rayya.
"Berikan aku waktu, Liv. Aku butuh waktu memikirkan semua ini," ucap Putra pada akhirnya.
Livia menatap Putra, mencoba membaca isi hati pria itu.Tapi tidak ada apapun yang bisa dia temukan. Akhirnya ia mengangguk.
"Aku akan beri waktu. Tapi jangan terlalu lama. Karena aku tidak akan menunggu selamanya. Dan aku tidak akan membuat hidupmu tenang."
Livia membalikkan badan dan berjalan pergi dari rumah itu, meninggalkan dua orang yang masih berdiri dalam diam. Hatinya masih sakit, tapi setidaknya hari ini ia telah berani memperjuangkan apa yang ingin dia miliki dan sudah dia rebut dari Rayya.
Dia tidak ingin Rayya tersenyum penuh kemenangan saat melihat dirinya terpuruk karena kegagalan menikah dengan Putra. Sedangkan wanita itu bisa bahagia dengan pria asing yang menikahinya.
"Aku tidak akan menyerah. aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan. Selama ini aku sudah mampu menindasmu, aku tidak akan berhenti menghancurkan hidupmu Rayya. Persetan dengan perjanjian itu. " ucap Livia dengan penuh kemarahan.
Dia menganggap semua kesialan yang dia alami adalah karena Rayya. Andai kedua orang tuanya tidak pernah membawa Rayya pulang ke rumah, semua ini tidak akan pernah mungkin terjadi.
Saat dalam perjalanan pulang dengan taksi online yang dia pesan, Livia menoleh kesamping jendela saat akan melewati toko Rayya dan melihat kerumunan orang tengah berkumpul di depan toko roti itu. Entah apa yang mereka lakukan disana, namun sebuah pemandangan mengusik hatinya.
"Ada apa ini? " gumamnya.
Karena penasaran dia langsung meminta Sopir untuk menghentikan mobilnya
"Pak stop. " pintanya kepada sopir.
Dia langsung berjalan mendekat dan ikut bergabung dengan kerumunan orang itu dan melihat apa yang terjadi disana. Matanya membulat sempurna saat melihat layar lebar yang dipajang di depan toko Roti Rayya.
"Rayya, Apa-apaan ini. "