Amrita Blanco merupakan gadis bangsawan dari tanah perkebunan Lunah milik keluarganya yang sedang bermasalah sebab ayahnya Blanco Frederick akan menjualnya kepada orang lain.
Blanco berniat menjual aset perkebunan Lunah kepada seorang pengusaha estate karena dia sedang mengalami masalah ekonomi yang sulit sehingga dia akan menjual tanah perkebunannya.
Hanya saja pengusaha itu lebih tertarik pada Amrita Blanco dan menginginkan adanya pernikahan dengan syarat dia akan membantu tanah perkebunan Lunah dan membelinya jika pernikahannya berjalan tiga bulan dengan Amrita Blanco.
Blanco terpaksa menyetujuinya dan memenuhi permintaan sang pengusaha kaya raya itu dengan menikahkan Amrita Blanco dan pengusaha itu.
Namun pengusaha estate itu terkenal dingin dan berhati kejam bahkan dia sangat misterius. Mampukah Amrita Blanco menjalani pernikahan paksa ini dengan pengusaha itu dan menyelamatkan tanah perkebunannya dari kebangkrutan.
Mari simak kisah ceritanya di setiap babnya, ya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 Momen Tak Terlupakan
Denzzel sangat perhatian sekali pada Amrita Blanco yang kesakitan karena kakinya terkilir sewaktu berjalan di tanah perkebunan Luhan.
Keduanya tampak duduk akrab dengan Denzzel sedang membantunya mengurut pergelangan kakinya yang keseleo.
Amrita terlihat sangat malu-malu saat dia mendapatkan perhatian dari Denzzel Lambert yang begitu perhatiannya pada dirinya.
"Tahanlah sebentar meski rasanya agak sakit sekali", kata Denzzel sembari meletakkan salah satu kaki Amrita ke atas pangkuannya.
"Auwhhh..., sakit...", erang Amrita sembari memegangi kakinya.
"Tahanlah sebentar...", kata Denzzel yang mengurut kaki Amrita.
"Aduh... Pelan...", ucap Amrita saat kakinya mulai dipijit.
"Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan lagi rencana untuk melihat-lihat perkebunan Luhan", kata Denzzel.
"Maaf...", sahut Amrita murung.
"Tidak masalah bagiku lainkali aku bisa melihatnya lagi asal kamu mau menemaniku kesini", sambung Denzzel.
"Ya, baiklah", sahut Amrita.
"Apa disini tidak ada tempat untuk memeriksa kesehatan bagi pekerja kebun ?" tanya Denzzel.
"Ada, kami menyediakannya di bangunan lainnya, dekat gudang pengelolaan makanan bagi pekerja disini", sahut Amrita.
"Mari kita kesana saja, supaya kakinya mendapatkan penyembuhan !" ajak Denzzel.
"Mmm..., ya, baiklah...", sahut Amrita seraya mengangguk pelan.
"Aku ingin menggendongmu sekarang sampai kesana, apakah tempat kesehatan jaraknya jauh dari sini", ucap Denzzel.
Denzzel memalingkan mukanya ke arah lain, dia memperhatikan dengan seksama area sekitar perkebunan Luhan sembari melihat-lihat letak tempat kesehatan berada disini.
"Lumayan jauh jaraknya dari sini...", kata Amrita yang masih meringis kesakitan.
"Hmmm..., seandainya ada kereta dorong, mungkin akan lebih mudah sampainya disana karena jika aku menggendongmu akan membutuhkan waktu lama untuk mencapai lokasi kesehatan", ucap Denzzel.
Denzzel memperhatikan ke arah kaki Amrita yang memerah, ada warna biru tampak membayang pada pergelangan kakinya.
"Tapi aku akan menggendongmu", ucapnya seusai berpikir serius.
"Maaf telah merepotkanmu...", sahut Amrita sembari tersipu malu.
Krek... Krek... Krek...
Terdengar suara roda berputar mendekati bangku kayu di bawah pohon rindang.
Tampak mandor Tobin sedang mendorong kereta gerobak ke arah bangku, tempat Amrita duduk sekarang.
Amrita menoleh ke arah suara berasal, dia melihat mandor Tobin telah membawakannya kereta untuk mengangkut buah sembari berdiri disisi kereta.
"Pakai saja kereta buah ini, akan lebih memudahkan kalian sampai ke tempat kesehatan", kata mandor Tobin.
"Oh, Tobin, maafkan aku karena telah membuatmu repot", ucap Amrita.
"Tidak apa-apa, Amrita", sahut mandor Tobin dengan senyumannya.
"Terimakasih...", kata Amrita.
"Sama-sama...", sahut mandor Tobin seraya tersenyum ramah.
Amrita melirik pelan ke arah Denzzel, mencoba melihat ekspresi yang ada pada wajah suaminya atas perhatian mandor Tobin kepadanya.
Namun Denzzel terlihat tidak suka dengan perhatian dari mandor Tobin yang membawakan kereta buah untuk Amrita agar istrinya itu memakainya ke tempat kesehatan.
"Tidak usah, sebab aku akan menggendong Amrita kesana, benda apakah itu, sangat kotor serta tidak layak", selanya ketus.
"Oh, maaf, ini adalah kereta pengangkut buah-buahan yang ada disini, semua memakainya untuk membawa buah, hasil kebun saat musim panen lalu kami akan menyimpannya dalam lumbung penyimpanan", sahut mandor Tobin.
"Dan kau menyuruh Amrita naik benda kotor itu ?" tanya Denzzel bersikap dingin.
"Mmm, maaf ?" sahut mandor Tobin heran. "Memangnya kenapa jika saya menawarkan kemudahan pada Amrita, akan lebih cepat sampai ke tempat kesehatan kalau memakai kereta buah", sambungnya.
"Tidak, aku melarangnya, lebih baik aku menggendong Amrita sampai ke tempat kesehatan", ucap Denzzel lalu beranjak berdiri dari bangku kayu.
"Tapi menurut saya akan lebih mudah bagi anda jika membawa Amrita dengan menggunakan kereta angkut buah ini, bos", sahut mandor Tobin.
"Tidak disarankan lagi", ucap Denzzel yang bersikukuh menggendong Amrita.
Denzzel mebungkukkan setengah badannya ke depan lalu meminta pada Amrita untuk naik ke atas punggungnya.
"Naiklah ke atas punggungku, Amrita !" pinta Denzzel kepada istrinya.
''Apa tidak masalah bagimu harus menggendongku lama sampai ke tempat kesehatan, kau akan lelah, Lambert ?!" ucap Amrita.
"Jangan membantah, naiklah, Amrita !" perintah Denzzel.
"Tapi...", sahut Amrita bimbang.
"Cepatlah naik ke atas punggungku !" perintah Denzzel yang masih membungkukkan badannya di depan Amrita.
"Lebih baik aku naik kereta buah saja, tidak masalah untukku meski kotor", kata Amrita.
"Jangan banyak membantah, cepat naik sekarang !" sahut Denzzel dengan mimik wajah serius.
"Mmm..., baiklah...", ucap Amrita seraya mendongak ke arah mandor Tobin.
Mandor Tobin hanya terdiam saja di tempatnya berdiri sembari memperhatikan ke arah dua orang didepannya yang sedang sibuk berdebat tanpa memperdulikan kehadirannya disini.
Laki-laki dewasa dengan garis wajah tegas itu lalu memalingkan mukanya seraya menghela nafas panjang kemudian dia mendorong pergi kereta buah dari bawah pohon dimana Amrita dan Denzzel berada disana serta membawa kembali kereta itu ke tempatnya semula.
Rupanya mandor Tobin jengah harus mendengar suara dari dua orang berselisih itu sehingga dia terpaksa memutuskan pergi dan menjauh dari mereka saat ini.
"Kau membuatnya pergi, Lambert", ucap Amrita.
''Biarkan saja dia pergi, apa itu sangat mengganggumu,', kata Denzzel.
"Bukan seperti itu yang kumaksudkan melainkan kita menjadi kehilangan momen naik kereta buah, bukankah kita bisa meminta pada mandor Tobin, untuk mendorongkannya", terang Amrita.
"Rupanya kau lebih suka naik kereta kotor itu agar laki-laki menarik itu mendorongkannya untukmu daripada kau menerima perhatianku ini, Amrita", kata Denzzel.
"Bukan begitu maksudku, hanya saja kamu akan lebih ringan menolongku, Lambert", sahut Amrita.
"Oh, begitu, ya..., anggap saja aku ini orang baru yang bisa dibodohi oleh orang lain yang tertarik terhadap wanita milikku", kata Denzzel.
"Kau salah paham akan maksud ucapanku", sahut Amrita.
"Jelas-jelas kau peduli padanya", kata Denzzel.
"Peduli apa ?" sahut Amrita keheranan atas sikap Denzzel terhadapnya.
"Mau digendong atau tidak ?" ucap Denzzel.
"Mmm...", gumam Amrita ragu-ragu.
"Naik atau tidak, jangan diam saja", kata Denzzel.
"Baiklah, aku naik", sahut Amrita lalu naik ke punggung Denzzel.
"Yah, begitu, baru benar", ucap Denzzel.
Denzzel menghela nafas pelan seraya mempererat gendongannya pada Amrita yang berada pada punggungnya.
"Pegang erat-erat pundakku, Amrita !" perintahnya seraya beranjak berdiri sembari menggendong Amrita.
Amrita menyentuh pelan-pelan ke arah pundak Denzzel ketika suaminya itu membawanya di punggungnya.
Kedua tangan Amrita memegang erat-erat dua pundak milik Denzzel yang berjalan pergi dari bawah pohon dan membawanya serta bersamanya.
Amrita mempererat pegangan tangannya ke arah dua pundak Denzzel kemudian dia menyandarkan kepalanya.
Denzzel terlihat menoleh sekilas ke arah samping ketika Amrita menyandarkan kepalanya lalu menolehkan kepalanya menghadap lurus ke depan seraya berjalan kembali.
Pasangan pengantin baru itu terlihat menjauh pergi, Denzzel berjalan pelan dengan menggendong Amrita dibelakangnya, dia berada ditengah-tengah area jalan dari ubin yang ada di tanah perkebunan Luhan.
Tanah perkebunan Luhan terasa sejuk dengan pemandangan indahnya yang asri.
Barisan tanah hijau yang lapang menambah keindahan tanah perkebunan dimana Denzzel dan Amrita pergi kesana serta dipercantik oleh adanya lahan-lahan penuh buah berbagai jenis tanamannya seperti buah cheri yang mungil tapi cantik, ada buah apel yang berwarna merah ceria serta buah anggur yang menjuntai indah berwarna ungu disepanjang area perkebunan.
Selain itu juga, ada deretan buah khas tanah perkebunan Luhan berupa buah strawberry yang sangat terkenal akan kesegaran bentuknya serta warnanya yang khas berwarna merah menarik mata dan ada pula buah kiwi yang didatangkan langsung bibit unggulnya dari Selandia Baru.
Pemandangan elok serta sangat asri membentang luas terhampar di area tanah perkebunan Luhan yang berhektar-hektar luasnya itu.