Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan yang Mulai Retak
Pagi menjelang dengan perlahan. Cahaya mentari menelusup pelan melalui celah tirai yang belum sepenuhnya tertutup. Udara di dalam kamar terasa hangat, namun tidak sehangat malam yang baru saja berlalu. Malam yang sunyi, penuh pelukan bisu, dan percakapan tanpa suara antara dua jiwa yang saling menggenggam tanpa tahu esok akan seperti apa.
Hana terbangun lebih dulu. Matanya terbuka perlahan, lalu mengerjap saat cahaya pagi menyentuh wajahnya. Di sampingnya, Ren masih terlelap, napasnya tenang dan beraturan. Ia terlihat damai. Seolah dunia di luar tak pernah mampu menyentuhnya.
Tanpa suara, Hana menggeser tubuhnya sedikit, membalikkan badan menghadap Ren. Ia menatap wajah pria itu dalam-dalam, seperti ingin merekam setiap lekuk dan garis yang mungkin tak bisa ia lihat lagi suatu hari nanti. Dengan tangan gemetar, ia mengulurkan jari-jarinya, menyentuh pipi Ren yang hangat.
"Andai waktu bisa berhenti sekarang," bisiknya pelan, "aku ingin tetap di sini. Di sisimu."
Tangannya tetap berada di sana beberapa detik, sebelum akhirnya ia menarik diri dan bangkit perlahan. Ia melangkah menuju meja rias di sudut ruangan. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara. Di hadapan cermin, ia berdiri lama, membiarkan pantulan dirinya mengisi pandangan.
Namun pagi itu, cermin memperlihatkan sesuatu yang tak biasa.
Wajahnya terlihat... pudar. Bagian tubuhnya, terutama lengan kirinya, tampak samar. Seperti kabut yang belum sepenuhnya menguap. Ia menatap lekat, mencoba mengedipkan mata, berpikir mungkin itu hanya efek cahaya.
Tapi tidak.
Di balik pantulan itu, Ren masih terbaring dengan damai di tempat tidur. Namun Hana… tampak tak utuh.
Seketika ia mundur. Napasnya tercekat. Jantungnya berdegup kencang, namun tidak seperti biasanya—kali ini degup itu disertai dengan rasa nyeri yang sulit dijelaskan.
"Jadi... yang memudar itu bukan Ren... Tapi–tapi aku?" Suara itu lirih, hampir tak terdengar. Namun kata-kata itu menggema dalam pikirannya.
Ia mencoba menenangkan diri, berusaha menolak kenyataan yang baru saja menyentaknya. Tapi pikirannya berputar. Ia harus tahu. Harus memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Langkahnya membawanya pada sebuah kotak biru tua yang tersembunyi di dalam laci meja. Kotak itu adalah peninggalan ibunya. Ayahnya pernah mengatakan bahwa di dalamnya ada kenangan mereka—foto-foto lama, potongan kecil kehidupan yang pernah ada.
Dengan jari yang gemetar, ia membuka kotak itu.. Dan ternyata, tak ada foto masa kecil, yang di katakan ayah nya. Tak ada bukti bahwa ia pernah hidup seperti yang ia ingat. Hanya ada satu foto yang tersisa. Satu lembar kenangan yang warnanya telah memudar oleh waktu.
Foto keluarga.
Di dalamnya, ayahnya berdiri di tengah, mengenakan kemeja putih dengan senyum yang khas. Namun dua sosok di sisinya—yang seharusnya adalah dirinya dan ibunya—tidak memiliki wajah. Seolah gambar itu rusak. Atau... memang dari awal tidak pernah ada.
"Tidak... Ini tidak mungkin..."
Tangan Hana menutup mulutnya. Air matanya jatuh begitu saja, tanpa bisa ia tahan. Tubuhnya gemetar, kepalanya terasa berat. Sebuah rasa sakit merambat perlahan dari pelipis hingga ke tengkuk.
Kemudian, ingatan itu datang.
Potongan-potongan samar yang semula tak jelas, kini muncul seperti gelombang yang menghantam keras.
Ia melihat dirinya duduk di kursi belakang bersama ibunya. Ayah nya mengemudi yang mengemudi, tampak bercanda ria saat ibunya yang duduk di belakang, merekam mereka bersama dengan kamera kecil. Mereka sedang dalam perjalanan liburan, menuju pantai yang jauh dari kota.
Langit kala itu kelabu, namun tawa mereka tetap hangat. Hana menyanyi kecil, menggoda ibu nya yang sibuk merekam video. Ayahnya ikut tertawa, menyuruh mereka sembari menoleh sesaat ke arah kamera.
Lalu... suara rem. Ban tergelincir. Hujan turun tiba-tiba.
Mobil berputar. Teriakan terdengar. Tubuhnya terlempar Tak karuan. Ayah nya yang berusaha mengendalikan kemudi, pada akhirnya sia-sia. Mobil menghantam pembatas jalan. Bagian samping mobil menghantam keras hingga ayahnya terpental keluar.
Sedetik setelah itu... mobil mereka terjun bebas ke laut, dengan hana dan ibunya yang masih pingsan di dalam mobil.
Sunyi.
Air yang masuk ke dalam mobil. Wajah ibunya yang tenang. Tangan Hana yang berusaha meraih sesuatu. Gelap. Dingin.
Lalu, tak ada lagi.
Hana terjatuh ke lantai, memegangi kepalanya yang terasa hendak pecah. Tangisnya pecah, namun hanya berupa isakan terpendam. Tak ada jeritan. Hanya air mata yang jatuh perlahan.
“Kenapa aku masih di sini…?” bisiknya sambil menggenggam ujung kain bajunya erat. “Kalau memang aku sudah mati… kenapa aku bisa mencintainya lagi?”
Ia memaksa dirinya berdiri, berjalan kembali ke depan cermin. Kali ini, ia tidak mundur.
Ia menatap pantulan dirinya yang kini terlihat lebih kabur. Seperti kabut pagi yang enggan pergi.
“Apakah aku hanya sistem… ciptaan Ayah…?”
Suara itu rapuh. Terlalu rapuh untuk diucapkan.
Namun Hana tidak ingin membebani siapa pun. Ia tidak ingin membuat Ren bersedih. Tidak setelah semua ini.
Dengan napas yang masih berat, ia menyeka air matanya, lalu berjalan kembali ke ranjang. Ren masih tertidur, meski kini tubuhnya mulai bergerak kecil, tanda akan terbangun.
Hana duduk di sisi ranjang, lalu kembali menyentuh pipi Ren dengan lembut. Ia memejamkan mata.
"Tuhan… kalau ini semua hanya sementara, biarkan aku tetap di sisinya meski hanya sekejap."
Ren membuka mata perlahan. Senyum mengembang di wajahnya saat melihat Hana.
“Hana… kau sudah bangun?”
Hana menoleh dan membalas senyumnya. “Iya. Sudah sejak tadi.”
Ren menarik selimut, lalu menggenggam tangan Hana. “Jangan pergi. Di sini saja, sebentar lagi.”
Hana mengangguk pelan dan membiarkan dirinya tenggelam kembali dalam pelukan Ren. Hangat. Nyata. Tapi juga rapuh.
Dalam hatinya, ia tahu… dunia ini bukan miliknya sepenuhnya.
Namun selama ia masih bisa merasakan pelukan ini, ia akan bertahan.
Ia akan terus tersenyum… bahkan jika pada akhirnya, ia harus menghilang perlahan, sendirian.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.