Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15~ TUNGGU PAPA, NAK
"Maura, ini beneran?" tanya salah satu karyawan saat Maura baru saja tiba di lobi kantor, memperlihatkan sebuah video berdurasi 30 detik di ponselnya dengan judul "Dua pimpinan perusahaan besar sebentar lagi akan menjalin hubungan keluarga" dalam video tersebut memperlihatkan kedua orang tua Vano yang sedang makan malam bersama dikediaman orang tua Indri.
Maura seketika memasang ekspresi terkejut. Ia benar-benar tidak tahu mengenai itu. "Kapan video ini di unggah?" tanyanya menatap karyawan wanita tersebut.
"Baru satu jam yang lalu. Langsung viral, loh. Kamu pasti tahu, kan? Kamu kan sekretarisnya Pak Vano yang selalu tahu apapun tentang beliau. Jadi ini beneran, Pak Vano dan Bu Indri akan menjalin hubungan selain hubungan kerjasama?"
Maura tak menjawab, ia berlalu begitu saja tanpa menghiraukan karyawan tersebut. Berjalan cepat menuju ruang kerjanya, setelah duduk ia pun langsung menghubungi Vano.
Sementara itu, Vano yang tengah bersiap-siap untuk menjemput Cinta yang hari ini akan kembali masuk kerja, mengalihkan perhatiannya pada ponselnya yang berdering di atas nakas. Ia lekas meraih benda pipih itu dan langsung menjawab panggilan dari sekretarisnya.
"Halo, Pak?"
"Ya, Maura, ada apa?" tanya Vano.
"Pak, maaf mengganggu pagi-pagi. Saya juga gak bermaksud untuk kepo, tapi saya cuma ingin memastikan kebenaran tentang video yang viral pagi ini."
Vano mengerutkan keningnya. "Video viral, video apa?" tanyanya bingung sekaligus penasaran.
Maura pun menceritakan tentang video yang diperlihatkan salah satu karyawan kantor tadi. Mendengar itu, Vano seketika menarik sudut bibirnya membentuk seringai tipis. Siapa lagi yang menyebar video tersebut kalau bukan Indri.
"Indri, terima kasih banyak karena kamu sudah membantuku. Tanpa aku harus repot lagi, kamu sudah mulai bekerja mempermalukan dirimu sendiri. Tinggal tunggu saja waktunya tiba. Aku ingin lihat, apa kamu masih akan punya muka di hadapan publik," gumam Vano dalam hati.
"Maaf, Pak. Apa itu benar? Lalu bagaimana dengan Cinta?" tanya Maura.
"Menurutmu, saya yang selalu berusaha menghindari Indri dan melarang keras kamu untuk memberikan nomor ponselku padanya. Apa bisa setiba tiba itu untuk menjalin hubungan dengannya?" Bukannya menjawab, Vano justru memberikan pertanyaan pada sekretarisnya itu.
Di sisi lain...
Mama Ratih memperlihatkan video yang diunggahnya satu jam lalu pada putrinya. Dimana video tersebut ternyata langsung viral, ada banyak sekali dari kalangan pebisnis yang berkomentar memberi selamat.
Meski sedikit terkejut mengetahui sang mama ternyata mengunggah video makan malam mereka semalam, tapi Indri turut merasa senang melihat respon yang berkomentar.
"Lihat ini, Indri. Belum apa-apa mereka sudah memberikan selamat. Mama yakin, pernikahan kamu dan Vano nanti, akan menjadi pernikahan paling meriah tahun ini."
Indri tersipu malu membayangkan hal tersebut. "Tapi, Ma. Apa Vano akan setuju?" Senyumannya berganti ekspresi cemas.
"Kamu gak usah cemas begitu. Mama sangat yakin Vano akan setuju kalau orangtuanya yang meminta."
.
.
.
Setelah menitipkan Laura pada mbok Darmi. Cinta bergegas keluar dari rumah. Beberapa saat lalu Vano menelpon dan memintanya untuk keluar dan menunggu di pos satpam penjaga komplek sekitar, sebab tak ingin bertemu dengan Indri.
Beberapa menit menunggu, pria itupun akhirnya datang. Cinta yang sedang mengobrol dengan satpam penjaga komplek pun berpamitan dan segera menghampiri Vano.
"Udah lama nunggu?" tanya Vano sembari memberikan helm pada Cinta.
"Enggak, kok. Aku baru aja beberapa menit sampai sini," jawab Cinta.
"Ya udah, kita berangkat sekarang."
Cinta mengangguk. Ia memakai helm lalu duduk di belakang Vano.
Ketika akan menyalakan mesin motor, ponsel Vano berdering. Ia pun mengeluarkan benda pipih itu dari saku jaketnya. Kedua matanya melebar ketika melihat petugas laboratorium rumah sakit yang menghubunginya.
Setelah beberapa detik berpikir, ia mengangkat panggilan itu dengan mengecilkan volume suara agar tak terdengar oleh Cinta.
"Pak, hasil tes DNA nya sudah keluar. Bapak bisa ke rumah sakit sekarang untuk mengambilnya."
Vano merasakan dadanya seketika berdebar. "Baik, sebentar lagi saya akan sampai di sana."
Panggilan pun berakhir. Vano menyimpan kembali ponselnya ke saku jaket lalu dengan cepat melajukan motornya. Ia berhenti di sebuah persimpangan yang biasa banyak dilalui taksi.
"Stev, kenapa kita berhenti di sini?" tanya Cinta bingung.
Vano tak menjawab, ia melirik ke kanan dan kiri dan langsung menyetop sebuah taksi yang lewat.
"Pak, tolong antar Teman saya ke Cafe Rindu. Pastikan Teman saya sampai dengan selamat," ucapnya sembari membuka dompet. Mengambil tiga lembar uang ratusan dan memberikan pada supir taksi itu.
"Baik, Mas."
Cinta terperangah melihat apa yang dilakukan Stev. Ia langsung menarik lengan pria itu.
"Stev, kalau kamu ada keperluan mendadak lagi dan gak bisa antar aku ke Cafe, ya udah gak apa-apa biar aku naik ojek aja. Kamu gak perlu nyetop taksi untuk aku."
"Iya, aku memang ada keperluan mendadak lagi. Tapi gak apa-apa, kamu naik taksi aja. Aku sudah bayar dan gak mungkin aku ambil lagi, kan?"
"Tapi tadi kamu ngasih uangnya kelebihan, Stev. Aku benar-benar gak enak kalau kamu gini terus sama aku."
"Gak apa-apa, anggap aja rejeki Pak supir Taksi. Lagipula kamu akan lebih aman kalau naik taksi. Ayo buruan naik." Vano membuka pintu taksi, dan menyuruh Cinta masuk dengan sedikit paksaan.
Setelah taksi yang ditumpangi Cinta telah berlalu, Vano pun naik ke motor dan bergegas menuju rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit, ia langsung menemui petugas laboratorium. Tangannya bergetar menerima amplop putih berlogo rumah sakit yang berisi hasil DNA dirinya dan Laura.
"Pak, apa hasilnya benar-benar akurat?" tanya Vano untuk meyakinkan dirinya terlepas apapun hasil DNA itu nanti.
"Tes ini memiliki akurasi yang sangat tinggi, yakni mencapai 99.9%," jawab petugas laboratorium tersebut.
"Baik, Pak. Terima kasih." Vano pun berlalu dari sana. Berjalan dengan lunglai menuju parkiran. Saat berada di koridor ia berhenti dan memilih duduk di sebuah kursi tunggu.
Sejenak menatap amplop putih di tangannya dengan perasaan berkecamuk. Bagaimana kalau ternyata Laura bukan anaknya? Sementara ia sudah jatuh hati pada anak itu.
Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. Kemudian membuka amplop tersebut, membaca setiap tulisan dengan seksama.
Kedua matanya seketika berkaca-kaca ketika mendapat hasil DNA itu positif. Ternyata Laura benar-benar berasal dari benihnya malam itu.
"Laura, anakku." Suaranya bergetar, setetes air matanya jatuh. Ia memasukkan kembali hasil DNA itu ke dalam amplop, mengeluarkan ponsel dari saku jaket dan ganti menyimpan amplop tersebut di dalam sana.
Membuka galeri dan mencari foto Laura. Mengusap pipi anaknya itu di layar ponsel. "Laura, tunggu papa, Nak. Papa akan segera membawa kamu dan Mamamu keluar dari rumah itu."