Buku kedua dari Moonlight After Sunset, bercerita tentang Senja, seorang gadis yang terlilit takdir membingungkan. Untuk mengetahui rahasia takdir yang mengikatnya, Senja harus membuang identitas lamanya sebagai Bulan dan mulai menjalani petualangan baru di hidupnya sebagai putri utama Duke Ari. Dalam series ini, Senja aka Bulan akan berpetualang melawan sihir hitam sembari mencari tahu identitas aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riana Syarif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesuruh
"Saat rasa curiga mulai menyayat hatimu, disaat itulah kamu harus bertindak."
****
"Ugh...!"
Senja seketika memegangi perutnya saat aroma sedap makanan tercium sampai ke kamarnya. Aroma itu sangat lezat, dengan rasa manis dan asam yang tercium dengan harumnya.
"Apa ini?" batin Senja seraya membuka kedua kelopak matanya dengan malas.
Perlahan mata itu dengan sayup melihat sekeliling area kamar. Ia seperti sedang mencari asal aroma manis tersebut. Hidungnya mendengus berulang kali untuk memastikan makanan tersebut berada.
"Aku lapar," gumam Senja sebelum berdiri dari tidurnya. Ia dengan pasti melangkah menuju aroma manis tersebut, setelah memastikan masakan apa yang sedang di masak oleh pelayannya.
Beberapa saat setelah Senja sudah sampai di meja makan. Ia melihat begitu banyak makanan yang dihidangkan di atas meja. Semuanya terlihat begitu lezat dan menggiurkan, bahkan tanpa di sadari nya, air liurnya sudah mengalir keluar.
"Astaga...!!" pekik Senja dalam hatinya. Ia begitu senang dengan hidangan yang ada di hadapannya itu. Tanpa pikir panjang, Senja segera duduk dan menyantapnya.
Dari kejauhan, sebuah mata dengan tajam memperhatikan Senja yang sedang asyik makan. Ia mencemooh Senja dengan cibiran yang licik.
"Sangat rakus," lirihnya dengan sudut bibir yang melengkung sinis.
Ia tidak pernah melihat seorang bangsawan makan dengan cara seperti itu, sangat tidak sopan dan tidak memiliki etika. Meski ia tahu bahwa Senja tidak pernah mendapatkan pembelajaran etika, namun ini sangatlah parah.
Ia seperti melihat seekor anjing hutan yang dengan rakus menyantap makanan. Sungguh pemandangan yang merusak mata.
"Nona silahkan."
Salah seorang pelayan tiba-tiba mendatangi Senja. Ia dengan sengaja memberikan Senja sebuah minuman yang baru saja ia bawa dari dapur. Minuman itu tampak begitu segar dan lezat, namun Senja hanya melihatnya dengan pandangan datar.
"Oho, jadi ini dia," batin Senja sambil mengambil minuman tersebut.
"Siapa kiranya dibalik pelayan ini?" lanjut Senja sembari meminum air tersebut. Ia sadar jika di dalam air itu terdapat racun yang bisa menghambat aliran mana miliknya.
Namun Senja tidak merasa khawatir karena ada Ristia di sampingnya yang bisa menetralkan segala macam racun, sehingga Senja dengan percaya dirinya meminum air tersebut.
Setelah memastikan bahwa Senja sudah meminumnya, pelayan itu pun tersenyum dengan licik. Ia kemudian kembali ke dapur dan melanjutkan aktifitasnya.
"Hah, sial. Apa begini cara mereka menyingkirkan setiap orang?"
Senja entah mengapa memikirkan Dira yang dengan sengaja meracuninya dengan cara yang sama.
Mereka datang dengan baik sambil memberikan makanan ataupun minuman, namun sesungguhnya di dalam makanan dan minuman itu terdapat racun yang merusak.
Jika Dira menggunakan racun Gu untuk membunuh Senja secara perlahan, sedangkan si pelayan tadi menggunakan racun opium untuk membuat aliran mana Senja menjadi rusak dan berantakan.
Jika aliran mana yang dimiliki seorang mage rusak ataupun hancur, maka tamatlah sudah riwayatnya. Ia bahkan tidak bisa lagi menggunakan kekuatan sihirnya hanya untuk hal kecil. Ia hanya akan menjadi mage yang terbuang tanpa kekuatan.
Beberapa saat kemudian, Eza datang menghampiri Senja. Ia terlihat tenang sama seperti biasanya dan dengan santai ia berjongkok di samping Senja sambil membisikkan suatu hal.
"Baiklah, aku mengerti."
Setelah Senja mengatakan hal itu, Eza lalu menaruh sebuah surat di atas meja makan, ia kemudian kembali membungkuk untuk memberikan salam perpisahan.
"Selamat tinggal Nona," lirih Eza sebelum berjalan pergi meninggalkan paviliun. Ia terlihat buru-buru sehingga membuat beberapa pelayan berbisik pelan mengenai dirinya.
Senja hanya melihat sekilas ke arah nama pengirim surat tersebut. Ia kemudian bergumam ringan sambil menyebutkan nama 'Luna' di ujung bibirnya. Dengan acuh, Senja terus saja melanjutkan makan siangnya.
Melihat hal itu, si pelayan yang sebelumnya memberikan Senja air kemudian kembali mendatangi meja makan. Kali ini ia membawa makanan penutup bagi Senja. Saat hendak menaruh makanan itu, ia dengan sengaja menumpahkannya ke salah satu pergelangan tangan Senja.
"Kya...!!"
Teriak Senja sambil berdiri dari duduknya. Seluruh pelayan yang tersebar di seluruh paviliun seketika mendatangi Senja. Mereka terlihat panik namun ada juga yang hanya sekedar datang untuk melihat sebelum kembali lagi dengan acuh.
"Maaf Nona, saya tidak sengaja."
Pelayan itu terlihat panik, wajahnya memerah dengan air mata yang mulai menetes. Senja yang melihatnya merasa jijik, ia tanpa sadar menampar wajah pelayan itu sehingga membuatnya terjatuh ke lantai.
"Apa kau buta?" bentak Senja dengan kesal.
"Huhuhu, maafkan saya Nona."
Pelayan itu dengan aneh bersujud di kaki Senja dan itu malah membuat Senja semakin kesal. Ia tahu saat melihat senyum aneh di balik air mata si pelayan tersebut.
"Menjauhlah!"
Sekali lagi Senja berteriak sehingga membuat beberapa pelayan yang masih meyaksikan hal tersebut menyeret si pelayan tadi. Mereka memaksanya untuk berdiri, namun pelayan itu dengan keras kepalanya tetap bersujud di lantai.
"Sial, kau membuat selera makan ku hilang."
Senja yang tidak bisa menahan emosinya, kemudian berjalan pergi meninggalkan ruang makan setelah memasukan surat ke dalam saku pakaiannya.
Setelah Senja pergi, pelayan itu dengan santainya berdiri dari sujudnya dengan senyum yang tampak begitu puas. Meski salah satu pipinya memerah, namun ia tidak merasakan sedikit pun sakit darinya.
"Apa kau sudah gila? Kenapa kau berbuat senekat itu?" tanya salah satu pelayan yang bernama Nita, saat sedang membersihkan meja makan.
"Itu benar. Apa kau lupa apa perintah Duke pada kita?" lanjut si pelayan yang sebelumnya menarik rekannya itu dari sujudnya.
Pelayan yang bernama Iza itu hanya diam, ia menatap kedua rekannya dengan pandangan dingin.
"Hei...!" Nita berteriak kesal saat Iza mengabaikan nasihatnya dan memilih untuk pergi meninggalkan paviliun.
"Jangan pedulikan dia," lirih pelayan pria yang bernama Rindra. Ia tampaknya sudah tahu bahwa Iza bukanlah bagian dari mereka, namun ia terlihat acuh dan tidak peduli dengan hal itu.
"Tugas kita hanyalah menjaga tempat ini, bukan pemiliknya." Lanjut Rindra sambil membantu Nita dan rekan satunya lagi untuk membersihkan kekacauan.
****
Saat di kamar Senja bisa melihat Iza yang dengan kencang berlari keluar dari paviliun. Air mata yang terus saja mengalir bersamaan dengan warna merah di pipinya membuat setiap pelayan yang melihat Iza berspekulasi buruk tentang Senja.
Senja yang menyaksikan semua itu dari balik jendela kamar hanya bisa menghela napas panjang. Bukannya marah, ia malah mencibir akting Iza yang tampak di buat-buat.
Tidak lama setelah Iza membuat keributan, Arina datang dan menenangkan Iza. Ia dengan hati-hati memberikan obat luka untuk mengobati wajah Iza yang memerah. Semua pelayan yang menyaksikan hal itu berseru senang dan memuji Arina.
"Jadi ini maksud dari kepergiannya," gumam Senja saat melihat Iza yang seakan menceritakan segalanya mengenai kejadian sebelumnya di ruang makan.
"Memuakkan sekali," lanjutnya sambil berjalan pergi meninggalkan jendela kamar tersebut. Ia kemudian duduk di atas sofa dengan surat di tangannya.
Perlahan Senja membuka isi surat tersebut dan melihatnya. Namun bukannya senang, Senja malah menatap surat tersebut dengan pandangan aneh. Seketika senyum licik pun muncul di sudut bibirnya.
"Hahaha... Apa-apaan ini?" tanya Senja dengan tawa misterius menggema di kamarnya. Ia lalu mengangkat surat tersebut dan mengibaskan nya dengan kasar.
"Berani sekali mereka mencuri dari ku!"
Senja menampakkan gigi taringnya yang tajam. Ia tampak kesal namun tetap terlihat tenang, matanya memerah dengan tatapan tajam yang mengarah langsung ke arah jendela dimana Iza dan Arina terlihat.
"Hahaha....!"
Tawa itu kembali terdengar, namun kali ini dengan nada suara yang lebih dingin dari pada sebelumnya. Itu mengisyaratkan bahwa Senja saat ini sedang marah besar terhadap siapapun yang berani mencuri suratnya.
"Ristia, cari tahu siapa dalangnya."
Perintah sudah dikeluarkan, dan dengan cepat Ristia berjalan pergi menjauh dari pergelangan tangan Senja. Ia merayap di dinding sebelum keluar melalui ventilasi udara yang ada di kamar tersebut.
Setelah Ristia keluar dari kamar, Senja dengan kesal melipat kertas surat tersebut dan membakarnya. Ia bahkan tidak perlu melihat isi surat tersebut lebih jauh karena itu bukanlah hal yang penting.
Mereka mungkin tidak tahu jika Senja sudah mengetahui isi dari surat yang dikirim oleh Luna. Surat tersebut tidak menuliskan hal yang penting namun isinya tidak lebih dari tiga halaman surat, namun yang ia terima tadi hanya terdapat satu lembar surat dan sisa duanya lagi tidak ada.
Mungkin saja saat ia sedang fokus dengan Iza, salah satu pelayan berhasil menukar suratnya. Mungkin mereka penasaran dengan isi surat tersebut, ya itu wajar saja namun mencurinya dari Senja adalah sebuah kesalahan.
Meski isinya hanyalah omong kosong dari Luna, namun tetap saja itu adalah surat pribadi milik Senja dan tidak sepantasnya mereka mencuri surat tersebut atau bahkan menukarnya.
"Aku ingin tahu kepada siapa surat itu akan ia berikan," lirih Senja sebelum meminum teh hijau di hadapannya.
"Aku juga ingin tahu.seberapa banyak pengintai di rumah ini." lanjutnya sinis saat hendak menaruh gelas teh kembali.