Maula, harus mengorbankan masa depannya demi keluarga.
Hingga suatu saat, dia bekerja di rumah seorang pria yang berprofesi sebagai abdi negara. Seorang polisi militer angkatan laut (POMAL)
Ada banyak hal yang tidak Maula ketahui selama ini, bahkan dia tak tahu bahwa pria yang menyewa jasanya, yang sudah menikahinya secara siri ternyata...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Aku melangkah santai meskipun sudah terlambat satu jam. Tak peduli juga dengan ponsel yang sedari tadi berdering.
Sebuah panggilan masuk dari nomor yang sama sejak satu jam lalu.
Tepat pukul 17:25, langkahku akhirnya sampai di unit milik si pria itu. Karena aku juga memiliki kunci cadangan, jadi tak perlu menekan bel. Aku bisa langsung masuk begitu pintu terbuka.
"Assalamu'alaikum"
Sunyi, sepi, tak ada respon dari siapapun. Ruang tamu kosong, namun ku dengar suara televisi dari ruang tengah.
Sosok pria yang selalu membuatku gagal fokus pun tak ada di sana.
"Kemana dia?" Ku edarkan pandanganku, lalu meraih remot tv.
"Kenapa membiarkan tv menyala? Buang-buang listrik"
Aku lantas menekan tombol power di remot yang ku pegang.
Aku bisa menebak kalau pria itu mungkin sedang ada di kamar.
Menggelengkan kepala, ku lanjutkan langkahku menuju dapur untuk meletakkan barang-barang yang ku beli sebelum kesini.
Aku sedikit heran, sebab apartemen ini justru tampak bersih padahal tidak di huni selama tiga bulan.
"Sudah datang?" Aku yang tengah mengeluarkan barang belanjaan dari kantong kresek, spontan berbalik dan langsung bertemu pandang dengan pria yang tengah membawa ember berisi alat pel.
"Sudah" Sahutku. "Maaf telat, tadi antri panjang pas mau bayar belanjaan, lama juga nunggu taxi"
"Kenapa nggak angkat telfon"
"Lagi kerepotan" Atensiku jatuh pada alat pel yang sepertinya baru di pakai.
"Kamu habis ngepel?"
"Kamu? Nggak sopan!"
"Ya aku nggak tahu namamu" Aku mencebik sebal, kembali berbalik untuk mengeluarkan sisa barang dari kantong.
"Mungkin cuma aku doang yang nggak tahu nama suaminya. Ya meskipun suami siri"
"Buat apa tahu namaku, kan sudah di bilang panggil mas, saja!"
Aku tak menyahut. Dia sendiri jalan menuju tempat pencucian baju untuk meletakkan ember.
Sungguh hatiku seakan hancur, aku merasa di tarik ulur olehnya. Aku yang sudah memiliki perasaan padanya, otomatis merasa tersakiti dengan posisiku ini. Aku juga merasa kalau dia datang hanya karena ada maunya.
Jika dia membutuhkanku, dia akan datang padaku, jika tidak, jangankan mendatangiku, menelfonku saja, tidak.
Tiga bulan berpisah pun hanya menelfonku sebanyak tiga kali. Pasti dia lebih sering menelfon anak istrinya.
Mengisi udara ke paru-paru lebih banyak dari normalnya, berharap rasa sesak di dada sedikit berkurang, tapi tidak. Nyerinya kian terasa kuat setiap kali ku tarik napas panjang.
Ku mulai aktivitasku di dapur.
Memasak makanan untuk makan malam nanti.
Selagi memasak, entah kenapa terbersit keinginan untuk memilikinya seutuhnya. Pikiranku seolah ingin merebut dia dari istri sahnya.
"Pelakor" lirihku. Lalu menggelengkan kepala.
Lebih baik aku yang terluka dari pada harus melukai orang lain. Akan aku nikmati hubungan ini, tak peduli seperti apa perasaannya padaku, yang jelas aku ikhlas menjalaninya sampai waktunya selesai.
***
Usai makan malam dan membersihkan semua peralatan dapur, aku langsung ke kamar untuk membersihkan diri. Mengabaikan pria yang kini tengah menonton televisi di ruang tengah.
Sekitar lima belas menit aku menghabiskan waktu di kamar mandi, aku keluar dengan hanya mengenakan bathrobe.
Canggung sekaligus gugup, aku menghampiri pria yang sudah terlentang di atas kasur.
Dia langsung menarik tanganku saat aku berjalan hendak melewatinya.
"Awh.." Desisku. Tubuhku jatuh telungkup di atas tubuh kekarnya.
"Tidak menemui pria manapun selama aku pergi kan?"
Dalam posisi seperti ini, jelas aku gerogi bukan main. Untuk menelan ludahku saja aku kesulitan karena saking gugupnya.
"Aku sibuk kerja, lagi pula dalam kamusku nggak ada pria lain selama aku masih berstatus istri orang"
Dia mengatupkan bibirnya, satu tangannya yang melingkari pinggangku, memberikan sentuhan-sentuhan kecil di balik punggungku. Sementara satu tangannya yang lain melepaskan handuk yang membungkus rambutku.
Pandangan kami lekat saling menatap, sekian detik berlalu, kami pun saling mempertemukan bibir kami.
Ciuman yang terasa begitu lembut, yang membuatku justru menjadi wanita tebal muka. Tanpa malu aku membalas kecupannya.
Lewat bermenit-menit, pria ini kemudian melepaskan tautan bibir kami dan langsung membalikkan posisi kami.
Aku yang sebelumnya ada si atas tubuhnya, kini ganti dia yang ada di atas tubuhku.
"Sekarang sudah lebih pintar ternyata" Pungkasnya yang langsung membuat keningku mengerut karena kebingungan.
"Maksudnya?" Tanyaku. Mungkin karena tadi aku membalas lumatannya, jadi dia menganggapku seperti itu.
"Suka?"
Aku mengangguk. Sudah paham kemana arah pertanyaannya.
"Maksudku aku suka dengan caramu menciumku" Ralatku sedikit malu. Wajahku pasti sudah berubah warna.
Ku gigit bibir bawahku saat dia tak membalas kalimatku. Yang dia lakukan hanya diam sambil menatapku dalam-dalam.
Menyingkirkan rasa malu, kali ini aku berinisiatif menciumnya lebih dulu. Dia bergeming menerima kecupanku, karena tak ada balasan, aku bermaksud melepas tautan bibirku.
Baru saja hendak melakukanya, dia malah menahanku. Alhasil bibir kami tetap saling menempel.
Hampir satu menit bibir kami saling berpagutan, aku akhirnya menyerah karena kehabisan nafas.
Nafasku terengah, pun dengan pria yang berada di atasku.
"Apa jatah dari istrimu kurang, sehingga kamu datang menemuiku?" Tanyaku di sela-sela tatapan kami.
"Aku belum pulang ke rumah"
Dan jawabannya membuatku terkejut.
"Belum pulang ke rumah?" Tanyaku memastikan, barang kali aku yang salah dengar karena tak fokus di tatap olehnya.
"Dari dinas aku langsung kesini"
"Kenapa tidak pulang ke rumah dulu? Istri dan anak-anakmu pasti menunggumu"
"Ingin istirahat di sini dulu"
"Apa nafsumu lebih penting dari pada keluargamu?" Tanyaku dengan nada ketus. Ada secercah rasa cemburu sebenarnya.
"Jangan lagi-lagi bertanya seperti itu, aku nggak suka" Setelah mengatakan itu, dia kembali mengecup bibirku, beralih ke leher lalu tulang selangka.
"Jangan di sini" Cegahku ketika dia hendak memberikan tanda merah di leherku.
Dia berhenti, kemudian menatapku.
"Kenapa?"
"Nanti kelihatan, aku nggak enak"
Dia tak menjawab tapi langsung mengecupi area dada dan membuat kissmark di sana.
Aku mend..esah, merasakan gelenyar aneh yang membuatku seperti tersengat listrik.
Tepat saat bibirnya beralih mengecupi area dadaku yang menonjol, di situ otakku seperti berhenti berfungsi. Aku lupa diri tapi terus menikmati sentuhan lembut darinya.
Sungguh pikiranku benar-benar terasa acak-acakan dan ruwet di dalam sana. Mencoba mengurai satu demi satu tentang semua yang terjadi di antara kami. Pernikahan siri kami, hutangku padanya, penyatuan tubuh kami yang entah di landasi oleh apa, juga tentang istri dan anak-anaknya.
Ternyata sudah sejauh ini dengan sadar aku menyakiti mereka.
Sampai kemudian dia bergerak bangkit lalu bertumpu pada kedua lututnya namun masih berada di atasku, dia melepas kaosnya, memperlihatkan dada bidangnya yang kekar, dan kembali mendekatkan wajahnya padaku.
"Jangan memikirkan sesuatu yang rumit, jalani saja seperti air mengalir" Ujarnya, mungkin dia menyadari ekspresi di wajahku yang tak begitu fokus karena memikirkan sesuatu.
"Aku ada masalah" Jawabku spontan.
"Masalah?" Salah satu alisnya terangkat. "Masalah apa?" Lanjutnya bertanya.
"Aku butuh uang"
Dia diam sambil mengunci netraku.
"Buat apa?"
"Ayah harus operasi, biayanya kurang lebih dua puluh lima juta, aku cuma pegang dua belas juta"
Bukannya menjawab, si F ini malah langsung beraksi untuk menuntaskan hasratnya.
Aku sendiri hanya bisa pasrah, berusaha memberikan kepuasan karena tak ingin membuatnya kecewa. Selain itu gairahku juga seakan memuncak setiap kali dia menyentuhku.
Entah cinta atau nafsu...
Ah entahlah...
semoga cepet ada petunjuk buat menjebloskan Airin ke penjara
biar ga makin banyak korban dari keiblisan Airin
semoga kebusukan Airin cepet ke bongkar