Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Hasil Tes DNA
Alvian pulang ke rumah dengan perasaan yang campur aduk. Marah, kesal, gelisah dan cemas menjadi satu. Marah dan kesal jika benar Mama Veny datang menemui Ajela dan mengancamnya. Kemudian gelisah dan juga cemas memikirkan nasib Ajela dan juga Baby Boy yang sampai detik ini tidak diketahui keberadaannya.
Alvian begitu sangat cemas memikirkan Ajela yang belum pulih sepenuhnya tetapi sudah pergi dari rumah sakit. Ia juga cemas dengan putranya,bagaimana jika sekarang putranya berada di tempat yang tidak layak?
"Cepat!" pekik Alvian.
Galih tak menjawab, ia semakin menekan pedal gas melajukan mobil hampir diatas rata-rata.
Sepanjang jalan suasana mencekam mendominasi, karena Galih merasa berada di bawah tekanan Alvian. Seumur hidup belum pernah sekalipun ia melihat Alvian dalam keadaan semarah ini.
Sesampainya di rumah, Alvian segera mencari mamanya, dilihatnya Mama Veny yang duduk bersantai di sofa ruang keluarga dengan mata melihat ke arah TV yang menyala.
"Ajela pergi dari rumah sakit, apa itu karena Mama?" Tanpa berbasa-basi Alvian langsung bertanya pada sang mama. "Apa Mama menemui Ajela dan mengancam dia?" tanyanya lagi.
Alvian menunggu jawaban dari Mama Veny. Dan awas saja jika benar bahwa mama menemui Ajela dan menjadi penyebab kepergiannya. Demi apa pun Alvian tidak akan pernah memaafkan dan akan membuat perhitungan.
Baby Boy kini adalah prioritasnya, siapa pun yang berani mengusiknya, ia akan melawannya. Tidak peduli jika orang itu adalah ibu kandungnya sendiri.
Mama Veny terlihat terkejut mendengar kabar kepergian Ajela, ia langsung beranjak dari duduknya dan berdiri tegak di depan Alvian.
Ada rasa senang dan juga lega yang terbesit dalam hatinya mendengar kepergian Ajela. Alvian akan terbebas dari wanita yang ia anggap sebagai wanita murahan itu. Demi apapun Mama Veny tidak sudi jika harus menerima Ajela sebagai menantunya dan menerima anak yang berasal dari rahim wanita yang kotor itu sebagai cucunya.
"Mama sama sekali tidak menemui dia, Al," sangkal Mama Veny. "Lagipula kalau dia pergi ya sudah biarkan saja dia pergi. Itu bagus, kan? Kamu jadi tidak perlu bertanggung jawab atas sesuatu yang belum tentu perbuatan kamu ."
Gigi Alvian menggertak kesal.Sorot matanya tajam menghujam.
"Kamu jangan bodoh, Al!
Untuk apa sibuk mengurusi wanita itu? Belum tentu anak yang dia lahirkan itu anak kamu! Sudahlah, biarkan saja dia pergi, Mama akan mencarikan perempuan berkelas yang sepadan dengan kita. Tidak seperti wanita murahan itu!"
"Berhenti menyebut Ajela wanita murahan! Harus berapa kali aku mengatakan kalau dia bukan wanita seperti itu! Ajela wanita baik-baik!" sarkas Alvian pada sang mama.
Ia mulai naik pitam. Hatinya meradang setiap kali mendengar seseorang menghina Ajela.Mama Veny menelan saliva.
Seumur hidup belum pernah satu kalipun Alvian membentaknya. Dan sekarang ia mendengar sendiri saat Alvian berbicara sarkas padanya. "Hanya karena membela perempuan itu kamu berani berteriak pada mama seperti ini, huh? Mama tidak mau tahu, kamu tidak boleh berurusan dengan perempuan murahan itu lagi!"
"Aku tidak mungkin membiarkan Ajela dan anakku hidup dalam kesulitan, Mah!"
"Anak itu belum tentu anak kamu, Alvian! Bisa saja itu anak dari benih laki-laki lain!" pekik Mama Veny tak mau kalah.
Alvian memejamkan mata, gerah terus berdebat dengan sang mama. Berbicara dan menjelaskan panjang lebar jika Baby Boy adalah putranya tanpa ada bukti tertulis dirasa akan percuma saja. Hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga. Mama Veny pasti akan tetap pada pendiriannya dengan beranggapan jika Ajela bukan wanita baik dan anak yang baru saja Ajela lahirkan bukanlah cucunya.
Alvin enggan berlama-lama membuang waktu dengan terus menanggapi sang ibu. Sedangkan ia harus mencari keberadaan Ajela dan juga putranya yang saat ini mungkin sedang dalam kesulitan.
Tanpa menjawab ucapan Mama Veny, Alvian langsung berbalik dan melangkahkan kaki pergi.
"Mau kemana kamu?" tanya Mama Veny mengikuti langkah kaki Alvian yang berjalan cepat.
"Tidak perlu menjawab, aku rasa Mama tahu aku akan kemana,"jawab Alvian.
"Mencari wanita murahan itu? Mama tidak mengizinkan!"
Alvian menghentikan langkah sejenak saat Mama Veny kembali menghina Ajela. Amarah terasa membuncah di ubun-ubun, tetapi karena enggan berdebat lagi. Alvian membuang muka dan kembali berjalan meninggalkan Mama Veny. Bibirnya merapat, giginya menggertak menahan amarah di dada.
"Alvian!" pekik Mama Veny saat Alvian masuk ke dalam mobil dan tak memerdulikannya.
"Jalan!" ucap Alvian pada Galih yang duduk di kursi kemudi.
"Tapi mama kamu!"
"Aku bilang jalan!" bentaknya dengan keras. Mau tak mau, Galih menuruti keinginan sang bos.
Meninggalkan Mama Veny yang berdiri di ambang pintu dengan amarah meledak-ledak.
**
**
Sinar matahari pagi mulai memasuki celah-celah jendela rumah kontrakan yang kini Ajela tinggali.
Pagi tadi sebelum langit berubah warna, Ajela sudah sibuk mengumpulkan baju-baju bayi dan mencucinya. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga kebersihan dan kesehatan bayinya, terlebih karena bayinya terlahir prematur. Beruntung Alvian sempat membeli perlengkapan untuk Baby Boy dan menyimpannya di kamar rumah sakit. Kemarin sebelum pergi Ajela sempat mengambilnya.
Saat Ajela sedang menjemur pakaian, sepasang mata tengah memandanginya. Bayu, anak Bu Rina yang baru pulang setelah sekian minggu di luar kota itu terpaku di tempat sambil memperhatikan Ajela.
Bayu baru tahu jika rumah sebelah yang selama beberapa waktu kosong itu kini sudah mempunyai penyewa baru. Ia menyetandarkan motor besarnya di depan rumah. Pandangannya tak pernah lepas dari Ajela.
Wanita berparas ayu itu berhasil menarik perhatiannya.
Ajela yang sadar jika sepasang mata sedang memperhatikannya merasa takut dan tidak nyaman. Ia langsung berbalik dan masuk ke dalam rumah, kemudian mengunci pintu dari dalam. Meskipun belum pernah bertemu sebelumnya, Ajela tahu itu adalah Bayu, anak Bu Rina yang sering ia ceritakan. Kebetulan Ajela juga pernah melihat fotonya di ruang tamu.
Kini perhatian Ajela tertuju pada bayinya yang masih tidur lelap. Ia bersyukur karena Baby Boy tidak rewel semalaman meskipun kamar yang mereka huni sempit dan pengap.
Kebahagiaan Ajela semakin sempurna menjadi seorang ibu dan memiliki bayi mungil yang sangat menggemaskan. Tidak peduli jika bayinya lahir bukan atas dasar cinta kedua orang tuanya. Ajela tetap merasa bahwa menjadi ibu adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupnya, dan ia akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk putranya.
Memberikan kasih sayang yang sempurna, terlebih karena sejak kecil Ajela tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Jadi putranya tidak boleh merasakan hal yang sama.
Sedangkan Bayu masih mematung di tempat ketika Bu Rina datang dari dalam rumah dan menyambutnya.
"Sudah pulang, Bay?"
Pertanyaan itu tak langsung dijawab oleh Bayu. Ia terfokus pada wanita yang tadi dilihatnya.
"Perempuan di sebelah siapa, Bu? Penghuni baru?"
"Ah, Ajela ya? Iya, dia baru beberapa minggu di sini. Dia tinggal berdua dengan bayinya yang baru lahir," jawab Bu Rina.
Sudut mata Bayu memicing." Berdua? Lalu suaminya?"
"Ibu tidak tahu."
"Hemmm ...." Bayu mengangguk. Ia masuk ke rumahnya dengan sudut bibir yang terangkat ke atas bak bulan sabit.
Ucapan sang ibu yang menyebut Ajela hanya berdua dengan bayinya membuat Bayu menarik kesimpulan bahwa Ajela adalah seorang janda muda yang baru saja bercerai dengan suaminya.
Ia masuk ke kamar dan membaringkan tubuh lelahnya.Membayangkan paras ayu alami Ajela.
"Janda muda memang selalu menawan," gumam Bayu tersenyum sinis.
**
Waktu berlalu, sudah satu minggu Alvian mencari keberadaan Ajela dan juga putranya, namun masih belum membuahkan hasil.
Ada perubahan drastis dalam diri Alvian sejak Ajela dan putranya menghilang. Ia banyak diam, mudah marah, dan tidak bisa menerima kesalahan sedikit pun.
Kini ia sedang terduduk di samping Galih yang mengemudikan mobilnya dengan kecepatan normal. Mereka hendak ke rumah sakit untuk meminta salinan rekaman CCTV saat Riana datang ke rumah sakit dan memukul Ajela dengan membabi buta. Itu akan dijadikan sebagai bukti untuk memberatkan Riana.
Suara dering ponsel terdengar.
Alvian menatap layar melihat siapa yang menghubunginya.
"Siapa?" tanya Galih.
"Dokter Andreas," jawab Alvian sambil menggeser panel hijau di layar ponsel.
Sang dokter memberi kabar bahwa hasil tes DNA antara dirinya dan Baby Boy sudah keluar.
Kebetulan Alvian memang sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.
"Cepat! Dokter Andreas bilang hasil DNA-nya sudah keluar. Aku harus membuktikan kalau dia memang anakku atau bukan."
"Mau taruhan? Aku yakin dia adalah anakmu," sahut Galih terkekeh.
Mata Alvian memicing tajam, jujur saja ia juga sangat yakin jika Boy kecil adalah putranya. Bukan hanya karena wajah yang mirip dengannya, tetapi Alvian merasa mempunyai ikatan batin yang sangat kuat sejak pertama kali menimang bayi itu. Alvian bahkan pernah mengalami Couvade Syndrome alias kehamilan simpatik. Yaitu ngidam yang juga dirasakan ayah si bayi.
"Kalau aku menang, belikan aku mobil sport yang baru saja kel -" Galih tak meneruskan ucapannya saat melihat mata Alvian semakin tajam menatapnya.
"Woles, Bro! Woles ...."
"Cih!" Alvian mengalihkan pandangannya ke arah lain mendesah sinis. Kemudian melihat jalanan yang sangat ramai.
**
**
Walaupun sebelumnya tidak ada keraguan dalam hati Alvian tentang siapa ayah biologis Baby Boy, namun tak dapat dipungkiri hasil tes DNA yang ada di genggamannya sekarang benar-benar melegakan hati Alvian.
Angka 99 persen identik yang tertera pada kertas putih itu membuktikan bahwa anak yang dilahirkan Ajela memang berasal dari benih Alvian. Tak ada lagi yang sanggup menyangkalnya.
Sudut mata Alvian mengeluarkan bulir bening kristal. Tak ingin terlihat oleh Galih, ia langsung menyekanya.
"Dia anakku," gumam Alvian. Ada perasaan yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Rasa haru membuncah di hati. Bayi yang sempat terbaring di dadanya, bergerak perlahan kemudian menangis keras itu ternyata adalah benar putra kandungnya.
Alvian tidak pernah menyangka bahwa malam 1 miliar itu ternyata menjadikannya seorang ayah. Lebih tepatnya Hot Daddy.
Sama seperti Alvian, Galih juga tidak terkejut dengan hasil Tess DNA itu. Sejak pertama kali melihat Baby Boy, ia juga yakin jika Boy memang anak Alvian.
"Kita ke ruang kendali, menyalin rekaman CCTV!"
Galih mengangguk.Setelah berada di sana, Alvian melihat kembali hasil rekaman CCTV dengan bantuan seorang petugas. Awalnya semua tampak biasa saja. Tak ada sesuatu yang aneh. Hingga akhirnya mata Alvian menangkap sosok wanita mirip Mama Veny sedang berjalan sendirian di lobi rumah sakit.
"Bukankah itu Tante Veny?" tanya Galih, seraya menunjuk ke layar monitor.
Alvian tak menjawab, ia hanya berkata pada petugas yang terduduk di sampingnya. "Bisa percepat sedikit? Lihat kemana arah wanita ini pergi!" pinta Alvian.
Petugas itu mengangguk dan melakukan permintaan Alvian.Dada Alvian pun bergejolak menahan amarah saat melihat Mama Veny melewati kamar Ajela dan berjalan menuju ruangan bayi. Setibanya di sana, ia tampak berbicara pada Ajela.
"Mama ...." Rahang Alvian mengetat menggumamkan nama mamanya. Sebab tempo hari saat ditanya, Mama Veny menyangkal dan mengatakan jika dirinya sama sekali tidak menemui Ajela apalagi sampai mengancamnya.
Lantas apa yang sekarang ia lihat? Sang mama datang menemui Ajela. Sekarang Alvian yakin jika kepergian Ajela bukan tanpa sebab. Apalagi dalam rekaman itu Mama Veny tampak menunjuk-nunjuk Ajela.
"Kan, benar dugaanku. Tante Veny habis mendatangi Ajela. Dia pasti mengancamnya. Makanya Ajela pergi," ucap Galih.
Lagi, Alvian tak menjawab ucapan Galih, tetapi tangannya mengepal kuat. Secara tidak langsung mama lah yang memisahkan dirinya dan Baby Boy. Amarah semakin memuncak. Ayah mana yang tidak marah jika dipisahkan dengan putranya?
Sedangkan Galih yang sedari tadi berbicara tetapi tak dijawab oleh Alvian itu mengerucutkan bibir. Matanya mendelik sinis.
"Oke fiks aku akan cosplay jadi batu saja!" gerutu Galih, merasa diabaikan.
"Salin rekaman itu ke ponselku!" perintah Alvian.
"Baik, Tuan," jawab si petugas dan mengikuti permintaan Alvian.
**
**
Setelah mendapatkan salinan rekaman CCTV. Alvian langsung bergerak ke rumah untuk memperlihatkan hasil CCTV itu pada Mama Veny.
Tak ada ampunan bagi siapapun yang telah mengusik Ajela dan putranya. Alvian benar-benar murka saat ini. Ia akan membungkam Mama Veny dengan dua bukti sekaligus. Satu bukti hasil tes DNA, dan satu lagi bukti rekaman CCTV
"Mama!" teriak Alvian sesaat setelah tiba di rumah.
Mama Veny yang sedang bersantai di ruang televisi itu terlonjak mendengar suara Alvian meneriakkan namanya. Ia terheran, sebab selama satu minggu ini, Alvian tidak pulang dan memilih tinggal di apartemennya.
"Ada apa, Alvian?" Mama Veny menatap putranya kesal. "Kenapa berteriak seperti itu?"
Bukannya menjawab, Alvian langsung melempar hasil tes DNA dari rumah sakit pada Mama Veny.
"Apa-apaan kamu ini! Tidak sopan! Ini pasti gara-gara wanita murahan itu lagi!" ujar Mama Veny.
Ia mengambil lembaran kertas yang Alvian lempar padanya.
Seketika matanya terbelalak saat membaca goresan tinta yang tertera di sana. Keterangan yang menyatakan jika hasil tes DNA itu 9 9% identik dengan Alvian.
"Lihat kan, hasilnya identik! Tidak ada keraguan lagi kalau anak yang dilahirkan Ajela itu anakku!"
Mama Veny kehilangan kata-kata. Bola matanya berair.
Tak peduli reaksi Mama Veny, Alvian merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel, lantas memperlihatkan video yang memperlihatkan sang mama datang menemui Ajela.
"Jelaskan apa ini, Mah!" ujar Alvian dengan nada penuh tuntutan.
Mama Veny yang masih larut dalam rasa terkejut hanya terdiam. Lidahnya kaku. Bahkan kini tubuhnya terasa lemas tak bertenaga.
"Puas sekarang? Puas sudah memisahkan aku dengan anakku?" Bentakan Alvian menggema di ruangan luas itu. Netranya memerah menahan marah. Jika saja wanita di hadapannya itu bukan ibu yang melahirkannya, Alvian mungkin sudah menghancurkan hidupnya.
Mama Veny menelan salivanya saat melihat api kemarahan di mata Alvian.
"Alvian, Mama-"
"Masih berpikir Ajela wanita sialan yang murahan?" pekik Alvian menyela ucapan sang mama. "Kalau Ajela wanita rendahan, saat dia mengetahui kalau dia sedang mengandung anakku, dia pasti akan langsung menemuiku dan memerasku, Mah! Dia pasti akan memanfaatkan kehamilannya untuk mengeruk semua uangku!"
Mama Veny menggigit bibir bawahnya, ia menunduk tak berani menatap Alvian. Kedua bola matanya berkaca-kaca menahan tangis.
"Kalau dia wanita tidak baik, setelah melihat keberadaanku dia pasti akan meminta banyak uang. Tapi faktanya? Tidak, Mah! Dia pergi begitu saja tanpa membawa satu sen pun!" Kedua tangan Alvian mengepal keras. "Kenapa Mama bisa sejahat ini? Apa Mama tahu? Saat sedang mengandung anakku dia mengalami masa yang sulit. Tidur hanya beralas kasur yang tipis di lantai, memakan mie instan padahal anakku butuh makanan yang sehat. Ajela bahkan hampir diusir karena tidak sanggup membayar uang sewa kamarnya. Dia melewati semuanya sendirian, padahal dia bisa saja datang padaku!"
Semua tegang. Saat ini kemarahan Alvian benar-benar tidak terkendali. Bahkan Galih dan para ART hanya menjadi penonton. Tidak ada yang berani menyela atau membela Mama Veny.
"Bagaimana dengan nasib Ajela dan anakku sekarang? Apa mereka tidur di tempat layak? Atau malah sebaliknya? Kenapa Mama tidak memikirkan hal itu? Mama bisa tidur dengan nyaman di tempat tidur empuk. Sedangkan bayi yang rentan itu? Bagaimana dengannya? Bagaimana kalau kondisinya kembali menurun karena dia lahir prematur, bagaimana kalau Ajela tidak bisa makan dan ASI-nya terhambat? Dari mana dia bisa membeli makanan? Terakhir kali aku lihat di dompetnya hanya menyisakan uang 25 ribu. Cukup untuk apa uang segitu?".
Bersambung ~