Empat tahun berlalu, Jagat Hartadi masih larut dalam perasaan cinta tak berbalas. Dia memilih menjalani hidup sendiri, hingga suatu malam dirinya membantu seorang wanita yang pingsan di pinggir jalan.
Jenna, itulah nama wanita tersebut. Siapa sangka, dia memiliki kisah kelam menyedihkan, yang membuat Jagat iba.
Dari sana, timbul niat Jagat untuk menikahi Jenna, meskipun belum mengenal baik wanita itu. Pernikahan tanpa dilandasi cinta akhirnya terjadi.
Akankah pernikahan yang berawal dari rasa kasihan, bisa menjadi surga dunia bagi Jenna dan Jagat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19 : Bingkisan Istimewa
“Jangan terlalu berlebihan, Sayang,” tegur Haris. “Kata-katamu bisa saja membuat Pak Jagat dan Bu Jenna takut,” ujarnya, mencoba sedikit berkelakar.
“Bu Viviana terdengar sangat bersemangat,” ucap Jagat menanggapi tenang.
“Saya tergabung dalam organisasi aktivis pembela hak-hak perempuan di Amsterdam. Banyak visi dan misi yang kami emban. Satu yang paling utama adalah masalah perselingkuhan,” jelas Viviana anggun dan penuh wibawa, dengan tatapan tertuju lurus kepada Jagat.
“Seperti yang Anda katakan tadi, Pak Jagat. Perselingkuhan menjadi penyakit kronis yang sangat ditakuti oleh setiap pasangan. Kenyataannya, di dunia ini ada banyak sekali yang mengabaikan janji suci pernikahan, hanya demi memenuhi nafsu belaka. Padahal, dampak dari apa yang mereka lakukan sangat buruk. Satu catatan penting bagi kita semua. Kepercayaan tidak akan diberikan dua kali.”
“Tuhan saja memberikan kesempatan bertaubat. Kenapa sesama manusia harus saling menghakimi?” ujar Haris menanggapi tenang. Padahal, dalam hatinya ada rasa berkecamuk akibat sindiran-sindiran halus yang dilontarkan sang istri.
“Jawabannya mudah sekali, Sayang.” Viviana mengalihkan perhatian kepada Haris. “Manusia bukanlah Tuhan.” Wanita dengan sanggul rapi itu tersenyum lembut.
Seketika, raut wajah Haris dan Jenna terlihat kian tegang. Jenna bahkan sudah benar-benar gelisah. Dia tak nyaman berada terlalu lama di sana.
“Anda benar, Bu Jenna. Manusia bukanlah Tuhan. Hati dan pikiran kita terbatas oleh ego. Saya bisa menangkap baik semua penjelasan Anda. Ini akan saya dan istri jadikan pemahaman, untuk memaknai lebih pernikahan kami.”
Jagat menoleh kepada Jenna, yang sejak tadi hanya diam membisu. Disentuhnya punggung tangan wanita muda itu sehingga membuat Jenna langsung menoleh.
“Bukankah begitu, Sayang?” Jagat tersenyum kalem.
Jenna yang sudah hilang konsentrasi sejak tadi, memaksakan diri tersenyum. “Tentu saja, Sayang. Aku sangat setuju,” ucapnya.
Jagat kembali tersenyum, kemudian mengembuskan napas pelan. “Ini merupakan perbincangan yang sangat menarik dan mengasyikan. Namun, kami tidak bisa terlalu lama. Jenna sudah gelisah sejak tadi karena memikirkan Sakha.”
“Kapan-kapan, saya ingin sekali melihat bayi Anda dan Bu Jenna,” ucap Viviana.
“Mampir saja ke rumah kami. Anda pasti akan disambut baik di sana.” Jagat menanggapi tenang.
“Terima kasih, Pak Jagat. Saya pasti akan mampir,” balas Viviana, kemudian menoleh kepada sang suami, “bersama Mas Haris,” lanjutnya.
“Kita bisa makan malam bersama,” ucap Jagat, seraya berdiri dan langsung diikuti Jenna.
“Terima kasih sebelumnya, Pak Jagat.” Viviana ikut berdiri. Begitu juga dengan Haris.
“Maaf karena kita tidak sempat membahas masalah kerja sama.” Haris berpindah ke sebelah Jagat, lalu berjalan berdampingan menuju halaman depan.
“Masih banyak waktu dan kesempatan. Jika cuaca mendukung, kita bisa bermain golf bersama.”
“Ide bagus. Lagi pula, saya akan tinggal beberapa hari di sini, sebelum kembali ke Belanda.”
Jagat dan Haris terus berbincang ringan. Mereka berjalan lebih dulu.
Sementara itu, Jenna berjalan berdampingan dengan Viviana.
“Bagaimana rasanya menjadi Nyonya Hartadi?” tanya Viviana, dengan nada bicara terdengar agak aneh.
“Maaf?” Jenna menoleh, menatap Viviana tanpa menghentikan langkah.
Viviana tersenyum simpul. “Pasti sangat menyenangkan bila kita bisa berbincang berdua. Pembahasan antar wanita akan lebih seru, tanpa adanya pria yang ikut menyimak.”
“Saya punya bayi, Bu Viviana. Jadi, tidak leluasa bepergian sesuka hati.” Jenna langsung menolak dengan halus.
Viviana kembali tersenyum simpul. “Tidak perlu berkata seperti itu, Bu Jenna,” ucapnya, seraya menghentikan langkah. “Saya tahu Anda punya bayi. Bayi tampan seperti ayahnya.”
Jenna tertegun, lalu menoleh. Ditatapnya Viviana dengan sorot tak dapat diartikan. Sejak awal, dia sudah merasakan gelagat kurang mengenakan dari istri Haris tersebut. Apalagi, Viviana terus melontarkan sindiran-sindiran halus, tetapi terasa tajam menusuk jantung.
“Apa Anda punya masalah?” Jenna memberanikan diri menghadapi Viviana.
“Masalah?” ulang Viviana tenang. “Ya.” Dia mengangguk, tanpa melepaskan kesan anggun.
Viviana menghadapkan tubuh sepenuhnya kepada Jenna. Meskipun cara bicaranya begitu tertata dan terdengar halus, tetapi ada kemarahan yang berusaha disamarkan agar tidak membuatnya citranya jadi buruk.
“Kamu tahu apa yang menjadi masalahku, Jenna.” Kali ini, Viviana tak lagi menyertakan sebutan ‘Bu’ di depan nama Jenna. “Jangan kira saya tidak tahu, atas apa yang kamu lakukan dengan Mas Haris."
“Apa maksud Anda? Aku tidak mengerti.” Jenna bermaksud pergi dari hadapan Viviana, tak ingin melanjutkan perbincangan itu.
“Silakan menghindar. Namun, jangan pikir saya akan tinggal diam,” gertak Viviana, meski dengan nada bicara terdengar santun.
Jenna langsung tertegun, lalu menoleh. “Kita tidak punya masalah, Bu Viviana. Aku sudah menikah dengan Jagat Hartadi. Dia menerimaku apa adanya,” balas Jenna, seolah tidak terpengaruh oleh ucapan istri Haris tersebut.
Viviana melangkah ke hadapan Jenna, yang hampir tiba di pintu keluar. Dengan begitu, dia bisa bicara menggunakan intonasi yang tetap terjaga.
“Sejujurnya, saya sangat bahagia melihatmu dipersunting Pak Jagat. Itu membuat perasaan wanita lain jadi ikut tenang. Namun, urusan di antara kita harus diselesaikan dengan baik. Tak bisa berakhir begitu saja, tanpa ada pertanggungjawaban yang berarti darimu.”
Jenna benar-benar dibuat jengkel oleh sikap serta kata-kata Viviana. Namun, dia harus tetap menahan diri. “Maaf, Bu Viviana. Suamiku sudah menunggu di luar,” ucapnya, berusaha menghindar.
“Saya yakin Pak Jagat tidak mengetahui seperti apa masa lalumu, Jenna. Dia pria terhormat. Tak mungkin memilih wanita murahan sepertimu.”
Ucapan pedas Viviana kembali membuat Jenna tertegun. Namun, kali ini dia hanya berdiri membelakangi, tanpa menanggapi.
“Kisah tentang pria kaya yang jatuh cinta pada seorang pela•cur, hanya ada dalam novel dan film. Ini kehidupan nyata, di mana seseorang yang baik, pasti disandingkan dengan yang baik pula.”
“Terserah apa pun yang Anda katakan,” ucap Jenna, tak mau ambil pusing.
Viviana tersenyum. Pembawaannya tetap tenang, meskipun berkali-kali melontarkan kata-kata pedas terhadap Jenna. Istri Haris tersebut mengambil bungkusan dari bufet, yang terletak tak jauh dari pintu masuk.
“Ambilah ini. Hadiah untukmu. Saya sengaja membelinya dari Belanda.” Viviana menyodorkan bungkusan itu kepada Jenna, meskipun masih membelakangi.
Jenna menoleh, menatap Viviana dengan sorot aneh, lalu beralih pada bungkusan yang disodorkan wanita itu. Namun, dia tak segera mengambilnya.
“Ambilah. Kamu pasti akan menyukai hadiah ini,” ucap Viviana lagi.
Bersamaan dengan itu, Jagat yang sudah menunggu di halaman, masuk lagi bersama Haris. “Sayang,” panggilnya lembut.
“Ah, maaf membuat Anda menunggu,” ucap Viviana, diiringi senyum ramah. “Saya menyiapkan hadiah ini untuk Bu Jenna. Bukan barang mahal, tetapi pasti berkesan untuk istri Anda.”
Jenna langsung tersenyum, kemudian menerima bungkusan dari Viviana. “Terima kasih banyak."
“Sampai bertemu lagi, Bu Jenna." Viviana tersenyum penuh arti.