"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketiduran
“Malam ini kita akan mengulang beberapa materi Bahasa Indonesia yang dulu diajarkan di sekolah. Jadi, siapkan buku catatan kamu.”
“Hah?” Aku mengerjapkan mata, nyaris tak percaya. “Belajar? Malem-malem gini?”
Dia mengangguk, wajahnya tanpa ekspresi.
“Om, kok tiba-tiba banget? Mana gak kasih tau saya dulu!” Aku melontarkan protesku, berharap dia berubah pikiran.
“Siapkan buku dan alat tulis kamu, Jihan,” katanya, suaranya tegas.
Aku melipat tangan di dada, mencoba melawan. “Om—”
“Segera,” potongnya tajam, membuatku langsung bungkam.
Anjirlah! Dalam hati aku sudah teriak-teriak. Katanya killer-nya cuma di kampus, terus ini apa? Kenapa dia berlagak jadi guruku juga di rumah?!
“Om, saya ngantuk!” ujarku dengan nada memelas.
Dia tak peduli. “Pertama kita akan mempelajari dasar-dasar Bahasa Indonesia. Pembentukan kata, pengucapan yang benar, dan tata kalimat.”
Aku memutar bola mata. “Om, besok aja kenapa, sih? Saya males banget malem-malem gini belajar pelajaran yang teksnya panjang-panjang itu!”
Om Lino mencondongkan tubuh ke depan, menatapku dengan tajam. “Jihan, ini bukan soal suka atau tidak. Kamu butuh ini. Jadi, mulai sekarang, kita fokus.”
“Tapi tetap aja saya gak suka, Om!”
Wajah Om Lino tiba-tiba mendekat lagi, membuatku refleks mundur sedikit. Tatapannya tajam, serius, seolah menembus pikiranku.
“Ternyata benar ...,” katanya, nyaris berbisik.
“B-benar apa?” Aku menelan ludah, waspada dengan jarak yang terlalu dekat ini.
“Kamu tidak suka pelajaran ini?” tanyanya lagi, nadanya semakin menekan.
Aku terdiam sejenak. Jujur, aku tidak tahu harus jawab apa. Tapi akhirnya aku memberanikan diri. “E-enggak terlalu ....”
“Kenapa?” Dia mengangkat satu alis, masih menatapku lekat.
“Karena materinya banyak ... dan teksnya panjang-panjang,” jawabku pelan.
Om Lino menyipitkan matanya. “Hanya itu?”
Aku mengangguk, meski sebenarnya aku masih punya alasan lain. Tapi sebelum aku bisa menyuarakannya, dia sudah bicara lagi.
“Jadi kamu menganggap pelajaran ini membosankan?”
“Terus terang, iya,” jawabku dengan nada rendah, berharap dia tidak tersinggung. “Menurut saya, fisika, kimia, dan biologi itu jauh lebih seru. Ada rumus, ada logika yang bisa dipakai buat menyelesaikan soal. Sementara Bahasa Indonesia ... ya, gitu deh.”
Om Lino mendesah, lalu bersandar di kursi. Tapi bukannya mereda, dia malah melanjutkan, “Kalau begitu, menurut kamu, mata kuliah saya juga membosankan?”
Aku tertegun, bingung harus menjawab. “I-iii ... ya—Om, mundur dikit, coba,” pintaku cepat. Dekat banget, sumpah.
Tapi dia tidak peduli. “Kamu tahu, Jihan? Bahasa Indonesia itu adalah kunci untuk segala hal.”
Aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan kosong, tidak paham ke mana arah pembicaraan ini.
“Percuma kamu pintar dalam fisika, kimia, biologi, atau matematika kalau kamu tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar,” lanjutnya dengan nada lebih tegas.
Aku mengerutkan kening, mulai merasa terpojok. Tapi sepertinya pembahasan ini semakin jauh, ya?
“Om ....”
“Asal kamu tahu, pengetahuan kebahasaan itu penting untuk semua hal,” potongnya. “Makalah, proposal, laporan, bahkan skripsi. Tanpa kemampuan Bahasa Indonesia yang baik, kamu tidak akan bisa membuatnya.”
Aku meremas ujung rokku, mencoba tetap tenang meski hatiku mulai ciut.
“Bahasa Indonesia itu melibatkan tanda baca, penyusunan kalimat, dan struktur yang benar. Kalau kamu malas mempelajarinya, kamu tidak akan pernah lulus,” tambahnya.
“Om, saya—”
“Bahkan untuk menjadi perawat pun, kamu memerlukan ilmu kebahasaan karena kamu harus cakap saat menghadapi pasienmu kelak,” sergahnya lagi.
“Om!” Aku menaikkan suaraku sedikit, tapi dia tetap lanjut.
“Jangan mengangap sepele kebahasaan. Bidang ini tidak sesederhana yang kamu kira. Fonologi, morfologi, sintaksis, semantik—”
“OM!” Aku hampir berteriak, mencoba menghentikannya. “Tolong, inget saya bukan anak bahasa dan sastra, Om. Saya gak ngerti Om ngomong apa.”
Om Lino terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. “Maaf,” ucapnya akhirnya, suaranya mulai melembut. Dia menegakkan tubuhnya kembali.
“Saya terbiasa seperti itu saat mengajar. Dan saya juga lupa, tidak ada mata kuliah linguistik di prodi kamu. Saya sedikit kelepasan.”
Aku menatapnya dengan pandangan pasrah. Dalam hati, aku menggerutu, Makanya, Om. Kalau marahin orang tuh kira-kira dulu kek.
Tapi aku terlalu takut untuk mengucapkannya. Jangan sampai dia makin marah dan aku yang kena imbasnya.
Setelah hening beberapa saat, aku akhirnya membuka suara. “Om.”
“Iya?” Dia menoleh dengan ekspresi lebih tenang.
“Saya punya saran,” kataku sambil menatapnya hati-hati.
Om Lino mengangguk. “Apa itu?”
“Om tahu gak, Om kelihatan kaku banget kalau ngomong. Saya ngerti sih, Om dosen bahasa Indonesia, jadi bahasanya baku. Tapi kalau terlalu kaku gitu, Om jadi keliatan gak asik,” tuturku terus terang.
Om Lino menyipitkan matanya, tapi tidak memotong. Aku melanjutkan, “Kalau nanti Om suka sama seseorang gimana? Kalau ceweknya ilfil karena Om kaku banget, kan, kasian. Bisa-bisa Om susah cari cewek.”
Dia menatapku lama tanpa ekspresi, lalu membalas dengan nada datar, “Untuk apa saya mencari perempuan lagi? Saya sudah menikah dan memiliki seorang istri.”
“UHUK!” Aku tersedak. Air liurku nyangkut di tenggorokan gara-gara jawabannya yang tiba-tiba.
Dia tidak peduli dan malah mengambil buku di meja. Sementara aku, masih terbatuk-batuk sambil membatin, gila ya, nih orang. Ngomongnya nggak kira-kira banget. Mentalku dikira sekuat baja apa? Aku kan hanya manusia biasa yang bisa baper juga!
Aku memalingkan wajah, berusaha mengatur napas. Dalam hati, aku hanya bisa berdoa semoga kewarasanku tetap terjaga.
Aku menatap Om Lino yang masih berdiri di sampingku. Posisi tubuhnya condong ke arahku, sementara aku duduk di kursi depan meja belajar. Rasanya sesak—bukan karena ruangan ini kecil, tapi karena keberadaannya yang terasa terlalu mendominasi.
“Terus sekarang gimana dong, Om?” tanyaku akhirnya, mencoba memecah keheningan.
“Bagaimana belajar—”
“Ih, bukan!” potongku cepat, sedikit kesal.
Dia terdiam, mengangkat alis dengan ekspresi bingung.
“Belajar mulu dipikiran Om tuh,” gerutuku. “Maksud saya, sekarang gimana nasib kita? Gimana caranya tidur nanti?”
Dia menghela napas panjang, lalu menjawab santai, “Ya tidur saja. Saya akan tidur di kamar tamu.”
Aku menatapnya dengan tatapan tidak percaya. “Aish, di rumah saya mana ada kamar tamu, Om!” sergahku.
Om Lino tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kalau begitu, saya akan tidur di ruang tamu saja.”
“Oom!” Aku membulatkan mata, frustrasi dengan caranya merespons. “Om tuh gak ngerti ya maksud saya sebelumnya?”
Dia hanya menatapku, diam, seperti menunggu aku melanjutkan.
“Kita gak bisa bebas pisah tempat tidur gitu kalau di rumah Bunda! Apalagi kalau Om tidurnya di ruang tamu. Kalau kepergok Bunda, ya habis kita, Om!” Aku mendramatisir kalimatku sambil mengangkat tangan, menambahkan efek tegas.
Om Lino menatapku lagi, kali ini dengan raut serius. “Lalu bagaimana?” tanyanya datar.
“Makanya tadi saya bilang ayo pulang ke rumah Om aja! Kabur sebelum Bunda datang! Tapi Om gak dengerin saya!” Aku melipat tangan di dada, menghembuskan napas keras. “Om tuh!”
Dia tidak merespons. Malah tetap berdiri dengan wajah datar yang entah kenapa membuatku makin kesal.
“Huft ... kesel bangetkan jadinya,” gumamku pelan sambil memalingkan wajah. Mana Om Lino kayak gak merasa bersalah sama sekali.
“Baiklah, maafkan saya,” ucapnya akhirnya.
Aku meliriknya. “Terus Om mau gimana?”
“Kamu tidur saja,” katanya singkat.
Aku mendengus. “Terus Om Lino gimana? Tidurnya di mana?”
“Saya sedang tidak ingin tidur,” jawabnya, masih dengan nada santai. “Lagipula, ada beberapa hal yang belum saya kerjakan.”
Aku mengerutkan kening. “Maksudnya Om Lino mau lembur aja semalaman? Emang Om gak capek?”
“Tidak.” Dia menatapku sebentar sebelum berkata, “Saya pinjam laptop kamu, boleh?”
Aku mengangguk. “Boleh. Pakai aja.”
Aku bangkit dari kursi, memberi ruang untuknya. Om Lino lalu duduk di tempatku tadi, langsung fokus pada laptop. Aku tetap berdiri di belakangnya, memperhatikan apa yang dia lakukan.
“Om mau ngapain? Nyiapin materi buat ngajar besok?” tanyaku iseng.
“Iya,” jawabnya tanpa menoleh.
Aku mengangguk pelan. Tangannya mulai sibuk mengetik. Aku menduga dia sedang membuat PPT atau semacamnya.
“Besok Om ngajar di kelas mana? Jam berapa?” tanyaku lagi.
Dia berhenti mengetik sejenak, menoleh ke arahku. “Besok pagi saya akan mengajar kelas linguistik umum.”
“Oh ...,” gumamku, mengangguk kecil.
“Kenapa?” tanyanya, menatapku dengan sedikit rasa ingin tahu. “Ingin belajar linguistik juga?”
Aku mendelik. “Om kira saya mau belajar linguistik juga? Ya enggaklah, Om! Bahasa Indonesia aja saya udah mumet, apalagi itu.”
Dia tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. “Kalau begitu, kamu tidur saja. Tidak perlu menemani saya lembur.”
“Dih, siapa juga yang mau nemenin Om Lino.” aku mendengus sambil melangkah menjauh.
“Ya udah, saya tidur duluan,” ucapku pelan sambil melirik Om Lino yang masih fokus di depan laptop.
Aku beranjak dari kursi dan melangkah menuju ranjang. Setelah duduk, aku menarik selimut dan menutupi tubuhku, berusaha membuat diri lebih nyaman. Punggungku terasa pegal setelah seharian, dan ruangan yang sudah cukup gelap semakin memberikan kesan sepi. Sambil mengatur posisi, aku menatap punggung Om Lino yang masih tertunduk pada layar laptop.
Aku melirik jam dinding. Setengah sepuluh malam.
Om Lino nggak ngantuk apa? Nggak sakit tuh matanya natap layar segitu lama?
“Om, saya tidur duluan ya,” ucapku lagi dengan suara lebih jelas kali ini.
“Iya,” jawabnya singkat, tanpa menoleh ke arahku.
Sebenarnya, aku ingin menawarkan lebih banyak, tapi entah kenapa kata-kata itu terhenti begitu saja. Aku menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan, “Kalau nanti … Kalau nanti Om capek dan ngantuk... Om boleh kok tidur di sini juga.”
Dia akhirnya berhenti mengetik, lalu menoleh sebentar. “Iya,” jawabnya datar, tanpa ekspresi yang bisa kubaca.
Aku merasa agak kecewa dengan balasan yang singkat itu. Rasanya aku sudah mengumpulkan keberanian untuk menawarkan, tetapi dia tidak memberikan respons lebih. Dengan perasaan sedikit kesal, aku pun langsung merebahkan tubuhku dan menutupi seluruh badan dengan selimut.
Mungkin Om Lino memang nggak butuh tidur. Tau ah. Aku nggak peduli.
00.14
Aku terbangun dan rasa kantuk yang sedari tadi menghinggapi, sekarang seolah menghilang begitu saja. Mataku terjaga lebar, meskipun tubuhku seakan masih ingin beristirahat.
Kok aku nggak bisa tidur?
Aku mencoba memejamkan mata kembali, tetapi selalu saja kelopak mataku terbuka sendiri. Padahal tubuhku pegal, dan mataku sudah terasa berat. Rasanya seperti ingin tertidur, tetapi ada sesuatu yang mengganjal. Aku menggeleng pelan, berusaha membuang rasa gelisah itu.
Akhirnya, aku duduk di atas ranjang. Mataku kembali beralih ke arah Om Lino. Dia masih duduk di meja belajar, wajahnya serius, namun tubuhnya sedikit membungkuk. Dia nggak lagi mengetik di PowerPoint, sepertinya dia beralih ke dokumen lain yang lebih panjang, seperti sedang membuat laporan entah laporan apa.
“Kenapa belum tidur juga?” Om Lino tiba-tiba bertanya tanpa menoleh.
Aku terkejut, seolah baru sadar kalau dia memperhatikan aku.
“Apakah karena saya ada di kamar ini? Saya mengganggu kamu?” lanjutnya, kini wajahnya berbalik menghadapku.
Aku buru-buru menggelengkan kepala. “Enggak, bukan karena Om Lino kok.”
“Kayaknya saya nggak bisa tidur karena sudah terbiasa tidur di rumah Om Lino deh,” kataku jujur. “Jadi kurang nyaman rasanya di sini.”
Dia berpikir sejenak. “Apa kita pulang saja?”
“Hah? Tengah malam gini? Males lah, Om. Besok pagi aja. Nanti juga lama-lama saya tidur sendiri.”
“Besok kamu ada kelas pagi?”
“Gak ada, Om. Tenang aja, besok saya kelas siang kok.”
“Baiklah,” jawabnya sambil mengangguk pelan.
“Om Lino sendiri emangnya nggak mau tidur? Gak ngantuk gitu?” tanyaku.
“Tidak ...,” jawabnya, sambil menatap layar laptop kembali.
Bohong banget. Orang matanya merah gitu, gumamku dalam hati.
“Om nggak mau tidur aja? Saya udah bilang, nggak papa kok kalau Om terpaksa tidur di samping saya. Lagian kasur saya nggak sempit-sempit banget.”
“Tidak perlu,” jawabnya pelan. “Saya tidak mau membuat kamu merasa tidak nyaman.”
“Lagipula kerjaan saya masih belum selesai.”
“Kamu tidur saja, Jihan. Kalau saya berisik, bilang aja. Saya akan keluar.”
Kata-kata Om Lino yang sederhana itu, entah kenapa, membuat aku terdiam. Rasanya ada yang berbeda. Dia benar-benar menghargai kenyamananku, sampai-sampai dia tidak ingin tidur di ranjangku.
“Ya udah, saya tidur, ya, Om.”
Aku akhirnya merebahkan tubuhku lagi. Rasanya dada ini penuh, entah kenapa. Mungkin karena tengah malam gini, suasananya jadi agak mencekam. Aku berusaha menenangkan diri dan berdoa supaya bisa tidur nyenyak.
02.35
Aku terbangun lagi. Ternyata aku sudah berhasil tidur dua jam lebih. Saat membuka mata, aku langsung teringat pada Om Lino dan mencari-cari keberadaannya di kamar.
Ternyata, dia masih di meja belajar. Namun, posisi tubuhnya sudah berbeda. Laptopnya sudah tertutup, dan sekarang dia tertidur dengan posisi duduk dan kepala terkulai di meja begitu saja.
Duh, tidur sambil duduk gitu bukannya bikin punggung sakit, ya?
Aku bangkit pelan, mengambil selimutku dan menghampirinya. Kasihan, dia tertidur di tempat yang nggak nyaman seperti itu. Aku memutuskan untuk menyelimuti tubuhnya.
“Om, yakin nggak mau pindah ke ranjang aja?” tanyaku dengan lembut. “Saya nggak akan keganggu kok, Om. Saya biasa-biasa aja.”
Aku menunggu jawaban, tetapi tidak ada. Dia tidur dengan sangat nyenyak, tubuhnya terbungkus dalam selimut yang kututupi tadi.
Om Lino kayaknya kecapean deh.
“Om ...,” panggilku pelan. Mengguncang bahunya agar tidurnya terusik.
Namun, tiba-tiba, dia menggenggam tanganku yang tidak sengaja tersentuh tangannya. “Jihan .…”
Aku terkejut. Tanpa sadar, aku hampir berteriak, tetapi aku segera menutup mulutku. Om Lino ngigau apa gimana?
“Maafkan saya …,” racaunya lagi, meski matanya tetap terpejam.
Aku bingung. “Hah? Minta maaf kenapa, Om?”
“Maaf ....”
“Iyaa, tapi minta maaf karena apa, Ooom? Karena tadi? Santai aja kali.”
“Jihan ....”
“Om? Ngapain ngigau sambil manggil saya, sih?”
Tapi dia tidak menjawab. Aku semakin penasaran, namun tiba-tiba saja tangannya terlepas dari tanganku disusul dengan dengkuran pelan darinya.
Dasar, malah gemesin gini jadinya.