dengan gemetar... Alya berucap, "apakah kamu mau menjadi imam ku?? " akhirnya kata kata itu pun keluar dari lisan Alya yg sejak tadi hanya berdiam membisu.
"hahhh!!! apa!!... kamu ngelamar saya? "ucap afnan kaget
sambil menunjuk jari telunjuknya ke mukanya sendiri.
dengan bibir yg ber gemetar, Alya menjawab" i ii-iya, saya ngelamar kamu, tapi terserah padamu, mau atau tidaknya dgn aku... aku melakukan ini juga terpaksa, nggak ada pilihan.... maaf kalo membuat mu sedikit syokk dgn hal ini"ucap Alya yg akhirnya tidak rerbata bata lagi.
dgn memberanikan diri, afnan menatap mata indah milik Alya, lalu menunduk kembali... karna ketidak kuasa annya memandang mata indah itu...
afnan terdiam sejenak, lalu berkata "tolong lepaskan masker mu, aku mau memandang wajahmu sekali saja"
apakah Alya akan melepaskan masker nya? apakah afnan akan menerima lamaran Alya? tanpa berlama-lama... langsung baca aja kelanjutan cerita nya🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
suruhan seseorang
Afnan akhirnya tiba di hotel yang telah disiapkan panitia acara. Dengan napas berat, dia berdiri sejenak di depan pintu, mengatur ritme tubuhnya yang lelah. “Huhhh, alhamdulillah… akhirnya sampai juga,” gumamnya, sebelum membuka pintu dan masuk.
“Assalamu’alaikum, bro,” ucapnya sambil melepaskan sepatu dengan pelan.
“Wa’alaikumussalam!” sahut Ziyan, yang langsung menoleh. Wajahnya menyiratkan rasa lega bercampur godaan. “Tuh, Gam! Lihat, Afnan akhirnya datang juga. Lama banget!” serunya.
Agam, yang tadinya berbaring santai, mendadak bangkit. “Afnan!” panggilnya dengan nada setengah teriak. Ia menghampiri Afnan dengan langkah tergesa. “Akhirnya! Lama banget, lu ke mana aja?” lanjutnya, meski nada khawatir sudah bercampur menutupi nya.
Ziyan, seperti biasa, tak bisa menahan untuk menyindir. “Hahaha, tuh kan nan, dari tadi khawatir banget sama lu, Nan. Jangan-jangan dia rindu nih,” celetuknya sambil terkekeh.
“Apaan sih lu, Yan!” sahut Agam, melotot sebal ke arah Ziyan.
Ziyan masih tertawa kecil. “Iya, iya, penasaran. Tapi kok khawatir gitu mukanya? Hehehe,” godanya lagi.
Afnan, yang sudah kelelahan, hanya mengangkat kedua tangannya, mencoba menenangkan mereka. “Tadi aku ada urusan mendadak, makanya telat. Udah deh, nggak usah ribut,” jawabnya dengan nada sedikit kikuk.
Ziyan tak mau menyerah. “Urusan mendadak? Urusan apa, tuh? Hayo, jujur aja, Nan. Jangan-jangan ada yang spesial?” tanyanya sambil menyeringai lebar.
Afnan menggaruk belakang kepalanya, jelas merasa terganggu oleh godaan itu. “Udah ah, mending kita tidur. Besok jam 10 kita ada jadwal penting di Banjarbaru, kan?” katanya sambil menaruh tas di sudut kamar.
Agam mengangguk setuju. “Iya, bener tuh. Aku nggak mau gara-gara kurang tidur, besok pas diacara kalian ngantuk,aku mah...tenang tenang aja ".
mereka pun tertidur setelah perjalanan jauh.
# # #
......................
Pagi itu, setelah sholat Subuh dan membaca wirid, Alya membereskan kamar kost kecilnya. Udara pagi yang segar membuatnya bersemangat untuk keluar membeli soto Banjar kesukaannya.
Dengan langkah ringan, ia berjalan ke warung langganannya, membayangkan kelezatan kulit ayam yang selalu menjadi topping favoritnya.
Namun, perjalanan pulang kali ini terasa berbeda.
Di tengah keheningan pagi, Alya menyadari ada seseorang yang mengikutinya. Bayangan pria ber hoodie hitam dengan masker yang menutupi wajahnya terus berada di belakangnya, membuat langkah Alya semakin cepat. Jantungnya berdegup kencang, rasa takut mulai menjalar.
"Aduh, ya Allah... siapa sih ini?" gumam Alya dalam hati, mencoba tetap tenang meski rasa panik sudah menyelimuti dirinya.
Ketika hampir sampai di depan kost, pria itu tiba-tiba mempercepat langkah dan menghadangnya. Sebilah pisau tajam mengkilap terlihat di tangannya, diarahkan langsung ke Alya.
"Aaaahh!!!" jerit Alya tertahan, tubuhnya gemetar tak berdaya. Tapi dalam sekejap, seseorang muncul dari arah belakangnya. Sosok tegap tinggi dengan cepat menahan tangan pria itu, melumpuhkannya hanya dengan beberapa gerakan.
"Berani-beraninya lu nyakitin dia!" suara tegas itu membuat Alya mendongak.
Sosok itu adalah Saka. Dengan tubuhnya yang tinggi 180 cm dan kekuatan yang jelas tak tertandingi, ia mencengkeram pria tersebut hingga tak berdaya.
Alya masih terguncang. "Bang Saka!" serunya, suaranya bergetar antara lega dan terkejut.
Saka tidak langsung menjawab. Amarah terlihat jelas di matanya. Dengan kasar, ia mencengkeram kerah baju pria itu, mendekatkan wajahnya. "Siapa yang nyuruh lu? Hah?!" bentaknya, suaranya penuh kemarahan yang dingin.
Pria itu hanya meringis tanpa menjawab. Alya, meski masih takut, merasa iba. Dengan suara lemah, ia berkata, "Udah, Bang... Kasihan dia."
Saka menoleh ke Alya, matanya tajam dan penuh kekhawatiran. "Al, orang ini hampir nyakitin kamu, dan kamu masih bisa kasihan?!" ucapnya dengan nada keras.
Saka melonggarkan cengkeramannya sedikit, lalu berteriak, "Roby!"
Dari sebuah mobil hitam yang terparkir tak jauh, Roby, tangan kanan Saka, segera menghampiri. Dengan perintah singkat dari Saka, Roby menginstruksikan anak buah lainnya untuk membawa pria itu ke mobil. Alya hanya bisa melihat dengan bingung.
"Bang, abang mau ngapain ke sini? Dan orang itu mau abang bawa ke mana?" tanyanya dengan nada heran.
Saka akhirnya menoleh ke Alya, senyumnya tipis namun penuh arti. "Abang cuma kebetulan lewat, terus abang lihat ada yang ngikutin Alya. Yaudah, abang berhenti dan pastikan kamu aman. Orang ini mau abang interogasi dulu," jawabnya santai.
Alya menghela napas lega. "Makasih, ya, Bang Saka," ucapnya tulus.
Namun, Saka segera menatap Alya serius. "Tapi mulai sekarang, Alya nggak boleh keluar sendirian lagi, ngerti?"
Alya mengernyit, merasa keberatan.
"Lah, terus gimana kalau Alya mau pergi sekolah atau pengajian? Hari ini aja jam 10 Alya mau ke gedung serialus"
Saka tersenyum tipis lagi, kali ini lebih dingin. "Abang udah atur semuanya. Mulai sekarang, ada pengawal perempuan abang yang bakal nemenin Alya."
Dari belakang, seorang perempuan berpakaian serba hitam maju mendekat. Dengan sopan, ia memperkenalkan diri. "Perkenalkan, nama saya Shella. Saya akan menjadi asisten pribadi Anda dan memastikan keselamatan Anda."
Alya membulatkan mata, menatap Saka dengan ekspresi protes. "Bang, apaan sih? Alya nggak perlu dijagain segala. Alya bisa kok jaga diri sendiri."
Saka terkekeh kecil, lalu berkata dengan nada menyindir. "Oh, bisa? Tadi aja hampir celaka."
Alya hanya bisa terdiam, merasa kalah. Saka mendekat dan menepuk bahu Alya lembut. "Pokoknya ini keputusan abang. Nggak ada negosiasi."
Setelah memastikan semuanya aman, Saka bersiap pergi. "Udah, abang pulang dulu. Jaga diri baik-baik, ya," katanya sambil berjalan menjauh, meninggalkan Alya yang masih kesal dengan keputusannya.
Alya menghentakkan kakinya dengan sebal. "Ihh, ngeselin banget sih, Bang Saka!" gumamnya, lalu masuk ke kost, meninggalkan Shella yang hanya tersenyum tipis, menunggu tugas barunya.
_________
Alya meletakkan sendoknya dengan gerakan pelan, mencoba menenangkan diri meski rasa kesalnya masih menguasai. Dengan suara pelan tapi penuh keluhan, ia berkata, "Apaan sih, Bang Saka! Nggak asik banget. Masa aku diikuti sama cewek itu terus, kayak tawanan aja."
Ia menatap sekilas ke arah Shella, pengawal yang ditugaskan Saka, yang berdiri di luar pintu kost dengan wajah dingin dan profesional. Alya menghela napas berat, lalu membuka kotak soto Banjar kesukaannya. Ia menyendok potongan kulit ayam dengan sedikit lebih kasar dari biasanya, seolah sedang melampiaskan rasa frustrasinya.
Ting!
Notifikasi ponsel Alya berbunyi. Ia langsung meraihnya dan membaca pesan yang baru saja masuk. Itu dari Kak Sarah, teman seperjuangan saat mondok dulu.
"Al, kamu berangkat juga kan ke pengajian di Gedung Serialus itu? Penceramahnya Gus Afnan lohhh!"
Alya tersenyum tipis. Nama itu, Gus Afnan, mengingatkannya pada cerita-cerita inspiratif yang dulu sering ia dengar saat mondok. Namun senyumnya perlahan memudar ketika pikirannya kembali mengingat masa sulit keluarganya.
Dulu, Alya mondok di salah satu pesantren terbaik di Jawa Timur. Namun, kehancuran karier abinya akibat ulah orang-orang jahat membuat perekonomian keluarganya terpuruk.
Akhirnya, Alya terpaksa pindah ke pondok yang lebih dekat di Kalimantan Selatan agar biaya perjalanan dan kebutuhannya lebih terjangkau.
Dengan cepat, Alya membalas pesan Kak Sarah, mencoba menyembunyikan perasaan sedih yang sempat muncul. "Ouhhh iya, baru ingat. Alya tadi mau ngajak kakak juga. Eh, keduluan."
Tak lama, balasan Sarah masuk. "Iya, Al. Pokoknya kita harus datang lebih awal, ya! Kita harus duduk di depan, biar bisa lihat Gus Afnan secara langsung."
Alya terkekeh kecil membaca pesan itu. Dengan nada menggoda, ia membalas, "Disana nanti juga ada Gus Ziyan loh, Kak."
Balasan Sarah tak kalah cepat. "Idiiih... Gus Ziyan memang ganteng, tapi dia itu playboy! Aku nggak srek sama cowok macam dia."
Alya tertawa kecil membaca respons Sarah. Ia tahu temannya itu sebenarnya menyimpan sedikit kekaguman pada Gus Ziyan, meskipun mencoba menyangkalnya.
Tapi, tak ingin berdebat lebih jauh, Alya hanya mengetik, "Hehe, ya udah. ntar kita datang lebih awal, ya, Kak."
Setelah itu, Alya melirik lagi ke arah Shella di luar. Ia menghela napas sambil bergumam, "Hadeuh, gimana caranya bilang ke Bang Saka kalau aku nggak butuh penjagaan begini. Mana pengajian nanti pasti ada Shella lagi buat ngawasin."
Namun, rasa semangat bertemu Kak Sarah dan mendengar tausiyah Gus Afnan membuat Alya tak ingin terlalu larut dalam kesal. Ia kembali menikmati sotonya, mencoba melupakan rasa jengkel untuk sementara waktu.
baper