"Panggil Bee aja seperti biasa. Gak ada akan ada yang curiga kan kalau kita in relationship, namaku kan Bilqis keluarga panggil aku Bi."
"We have no relationship."
Samapai kapanpun aku akan mengingat kalimat itu.
>_<
Bahkan hubungan yang aku pahami, lain dari hubungan yang kamu pahami.
Kamu tidak salah.
Aku yang salah mengartikan semua kedekatan kita.
Aku yang begitu mengangumimu sejak kecil perlahan menjelma menjadi cinta, hingga salah mengartikan jika apa yang kamu lakukan untukku sebulan terakhir waktu itu adalah bentuk balasan perasaannku.
Terima kasih atas waktu sebulan yang kamu beri, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasakan layaknya seorang kekasih dan memilikimu.
Tolong jangan lagi seret aku dalam jurang yang sama, perasaanku tulus, aku tidak sekuat yang terlihat. Jika sekali lagi kamu seret aku kejurang permainan yang sama, aku tidak yakin bisa kembali berdiri dan mengangkat kepala.
This is me, Bee Ganendra.
I'm not Your Baby Bee Qiss anymore
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Unik Muaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bahaya
Aku menunduk dalam dibawah tatapan nyalang Bang Ar, Bang As, Bang Je dan Bang Al, Raja. Empat Abangku langsung menyidangku saat itu juga.
Setelah aku mencegat langkah Bang Ar didepan pintu Restoran An Angel, Bang Ar langsung menarik lenganku menaiki lantai tiga gedung An Angel, mengunci pintu lantai tiga itu dan mendorongku berdiri tepat didepan mereka berempat.
"Aku mohon jangan libatkan dia" ucapku lirih.
"Kamu tahu sejauh mana?" Tanya Bang Je.
"Sejauh kalian membuka informasi untuk dapat diakses lawan."
Terdengar dengusan jelas dari Bang Ar.
Kepalaku semakin menunduk dalam, senakal dan sebebalnya aku, jika sudah berhadapan dengan lima Abangku yang menatapku dengan tatapan tajam dan penuh keseriusan mereka, nyaliku pasti akan menciut. Aura mereka bukan lagi aura seorang pemimpin, tetapi lebih mendominasi dan menakutkan dari itu.
Tak ...
Bang Ar menepis tanganku yang mempertahankan ponselku agar tidak diambilnya.
Tidak ada harapan lagi, kali ini semua akan benar-benar Bang Ar sita.
"Bi."
Aku menoleh kesamping, Bang As sudah berdiri disampingku dan tersenyum segaris, tangannya terulur menyentuh rambutku dan mengelus rambutku dengan lembut. Diantara Abangku yang lain, Bang As yang paling dekat denganku dan masih memiliki sisi lembut.
"Tidak untuk kasus yang ini" ucap Bang As lembut.
"Tapi kenapa dia Bang."
"Karna teman yang Elio percayai hanya Sagara, dan Sagara mampu untuk menjadi seperti kamu, Bang Ar dan Bang Je. Otak dia cukup mampu untuk menjadi seorang hacker."
"Dia kembaran Sakura, bagaimana jika nanti dia rahu kalau Ayah kandung Elio adalah mafia?. Sakura dan Elio masih saling menci ..."
"Dia sudah tau siapa Ayah Elio Bi" Potong Bang Je, "justru bagus kalau dia yang gabung. jadi Sagara bisa membuat pertimbangan tentang hubungan Sakura dan Elio."
"Tapi Bang ...."
"Bilqis!" Desis Bang Al penuh penekanan, "tidak ada tapi-tapi Bi!."
Nyaliku kembali menciut.
Kupasang wajah puppy eyes andalanku dan menatap takut-takut pada Bang Al.
Bukannya kasihan Bang Al malah memelototiku sehingga aku meringis, Bang Al memang lebih menakutkan dari pada Bang Ar, secara dia adalah anak mafia dan pernah ikut terjun menjalankan organisasi itu, sebelum menjadi seorang aktor.
"Kalau ... Semisal butuh bantuanku ... Aku ..."
"Tidak butuh" potong Bang Je dengan tegas.
Aku langsung cemberut mendengarnya.
^-^
Bosan ....
Aku berguling-guling diatas lapangan basket setelah bermain basket bersama Daniel dan Chaka di lapangan belakang rumah.
Gara-gara semua peralatan teknologi milikku Bang Ar sita, aku jadi bosan dan selalu mengganggu mereka berdua untuk menemaniku bermain basket atau sekedar nonton film.
"Laparrr ...." seru Daniel.
"Kedapur aja sana" suruh Chaka.
"Gendong" pintaku sembari mengangkat kedua tanganku.
"Ogah" tolak Chaka.
Chaka dan Daniel sudah berjalan lebih dulu memasuki rumah, meninggalkanku yang masih berbaring diatas lapangan basket.
Kubiarkan cahaya matahari sore menyinari wajahku, menikmati hembusan angin dengan mata tertutup, mencoba untuk menenangkan diri dan membuang semua pikiran negatifku.
Senyumku terukir lebar kala merasa cahaya matahari yang menyinari wajahku terhalang sesuatu, pasti Chaka atau Daniel kembali menghampiriku dan akan menggendongku sesuai permintaanku.
"Gendong" pintaku lagi.
Hal yang sering aku pinta pada mereka dan Abang-Abangku.
Masih dengan mataku yang memejam, tanganku digenggam Chaka atau Daniel, lalu menariku agar berdiri.
Ser ...
Mataku seketika terbuka, saat semilir angin bertiup dan meniup parfum yang mulai aku kenal hingga tercium olehku.
"Hah!."
Aku hampir terjatuh karna sebelum benar-benar berdiri tegap, aku melepas genggaman tangan kami.
"Hati-hati."
Deg ...
Jantungku berdetak kencang dengan posisi kami sekarang, tangannya yang melingkari pinggangku, menahanku agar tidak terjatuh.
Perlahan kudorong tubuhnya menjauh, agar jatak kami tidak begitu dekat, lalu aku mulai mencoba untuk berdiri dengan tegap didepannya tampa gugup sedikitpun.
"Orang-orang seisi rumahku akan memarahiku jika membuatmu terjatuh" ucapnya.
Aku tidak langsung merespon ucapannya, aku masih terdiam meresapi dan berfikir kenapa dia berada disini, berada dirumah Ganendra dan kami berdua kembali berdiri dilapangan yang sama, dengan posisi yang sama, saling berhadapan, setelah sepuluh tahun.
Semua memori masalalu yang pernah aku habiskan dengannya dilapangan ini kembali berputar dikepalaku.
Aku menarik nafas dan membuang nafas secara perlahan, menenangkan diri.
"Kenapa disini?" Tanyaku.
Itu kalimat pertama yang keluar dari mulutku, sehingga dia mengerutkan kening. Tidak ada lagi senyum dibibirnya.
Aku tiba-tiba saja kembali mengingat apa yang pernah aku perdebatkan dengan para Abang, kuseka rambutku dan kugulung sebelum aku ikat cepol. Aku akan berbicara serius dengannya.
"Kesini untuk membantu Elio bukan?."
Keningnya semakin mengerut dalam.
"Bisa tidak jangan terlibat?."
Aku tahu, seharusnya untuk memohon nada bicaraku harusnya lembut bukan tegas, tetapi perasaan khawatir tidak biasa aku tahan.
"Kenapa?" Tanyanya lembut.
Si*l ...
Apa dia tidak bisa berbicara mengikuti nadaku saja?, kenapa malah memakai nada lembut begitu?. Jangan membiatku gugup saat ini, aku ingin berbicara serius!.
"Gue tahu semuanya dan itu berbahaya" jawabku, "jadi tolong jangan terlibat."
Aku sudah mencoba tegas dan berbicara seserius mungkin, malah dia sikapi dengan suara lembutnya dan tersenyum lebar.
Ah ... Jantungku tidak bisa diajak kompromi.
"Lo khawatir sama gue?."
Kugigit bibir bawah bagian dalamku, menahan diri agar tidak mengatakan iya.
Karna setelah menjawab satu kata itu, pasti akan muncul pertanyaan kenapa?, lalu aku akan menjawab apa?.
"Lagi-lagi gue gak menyangkan cewek seperti lo bisa begini juga" ucapnya dengan senyum tipisnya dan kepala sedikit miring menatapku sedemikian rupa.
Otakku yang sudah dipenuhi kekhawatiran bisa menepis gugup yang aku rasa.
Sekuat tenaga aku membalas tatapannya itu dengan wajah datar dan tatapan serius, untuk membuktikan perkataanku tidak main-main.
"Dekat dengan orang tampa memandang status, sukarela membantu pelayan, ramah dan perduli pada oran lain" ucapnya dengan senyum yang mengembang. "Gue rasa cuma gue yang tahu semua sisi lo itu, boleh lah gue merasa bangga."
"Enggak, gue bukan seseorang yang perduli pada orang lain, gue hanya perduli pada ..."
"Bukannya kita, bukan dua orang yang cukup dekat untuk ..."
"Tapi pernah dekat."
Kami saling potong perkataan.
Kami saling menatap tajam.
Kami ... Saling terdiam selama beberapa detik, hingga aku yang memutuskan tautan tatapan kita dan melangkah memasuki rumah terlebih dahulu, meninggalkannya yang berdiri di lapangan basket.
Baru saja masuk kedalam rumah, Daniel dan Chaka sudah berdeham-deham.
Aku tidak memperdulikan mereka berdua, terus melangkahkan kakiku hendak menaiki tangga sebelum mendengar celetukan Chaka dan Daniel.
"Tutup pintu kamar yang rapet, takutnya dia masuk lagi, wahhaaa ...."
"Gue ajak dia lewat balkon kamar."
Aku berbalik badan seketika, melangkah cepat kearah Chaka dan Daniel lalu melakukan tendangan samping yang langsung dihindari Chaka.
Kami bertiga terlibat perkelahian dan kejar-kejaran dari area ruang keluarga hingga keruang tamu. Perkelahian kami terhenti karna Bang Ar mengunci kedua tanganku kebelakang dan memelukku.
"Bilqis!" Seru Bunda marah.
Aku memberontak melepas pelukan Bang Ar, tidak memperdulikan apa yang Bunda dan yang lainnya katakan.
Aku pergi begitu saja.
Bahkan ketika aku berpapasan dengannya, aku hanya meliriknya dan terus melangkah menaiki tangga menuju kamarku, mengunci pintu kamar dan balkon sebelum akhirnya duduk dikursi tepat didepan meja belajarku.
Si*l ...
Aku hilang kontrol.
Kuputar kursi yang kududuki menghada poster yang tertempel di kamarku, menatap lekat poster itu dan menghela nafas sebelum mengeluarkan buku sketsaku dan mulai membuat goresan diatas kertas putih itu.
^-^