"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Aku merasa bersyukur. Menunggu Arzio tidak seperti menunggu Dani. Dia selalu memberiku kabar tanpa aku mengemis untuk dikabari. Dia juga selalu memberi apapun yang aku butuhkan tanpa perlu aku memintanya.
Namun, mendadak aku takut satu hal. Bagaimana jika dia menghilang?
***
"Assalamu'alaikum!" Salam yang tidak biasa aku dapati dari seorang Arzio Fabelino.
Aku sampai lupa bahwa hari ini adalah Sabtu. Malam Minggu yang selalu mengantar Arzio ke rumahku.
"Wa'alaikumussalam," jawabku.
"Kamu mau jalan-jalan apa beli makan bawa pulang?" tanyanya.
"Beli makan aja deh, lagi males juga ke mana-mana," jawabku yang langsung ditarik Arzio ke luar rumah. Aku kembali untuk mengunci pintu.
Akan kuingat-ingat apa saja yang ia sukai dan kebiasaannya. Aku juga sudah mulai mengumpulkan semua barang yang pernah Arzio beri padaku. Kubuat kotak memori seperti yang dulu aku lakukan untuk Dani.
Kami membeli banyak jajanan dan makan di rumahku. Dia juga menyalakan TV untuk menonton Boboiboy bersamaku.
"Nomor 1, jangan main kotor!" Suara Papa Zola yang keluar dari speaker televisi. "Nomor 2, jangan main gune kuase! Dan yang ke tigeeeeeee, jangan sesekali permainkan perasaan seorang lelaki."
Seketika itu aku dan Arzio tertawa sambil menyantap cilok.
"Absurd banget," ucap Arzio memberiku selembar tisu.
Aku langsung tau maksudnya adalah untuk mengelap mulutku. Mungkin aku sudah cemong dibuat kuah kacang cilok.
"Pemenangnye ialaaaaaaaah! Cikgu Papa sendiriiiiii!" ucap Papa Zola yang membuatku tersedak. Arzio menancapkan sedotan pada jus yang kami beli.
Setelah aku minum. "Ga jelas banget. Yang lomba kan Fang sama Boboiboy, kenapa Papa Zola yang menang? Kan Papa Zola wasitnya," ocehku.
"Namanya juga gila, maklumin aja," ucap Arzio membuatku terkekeh.
"Bagi saye Pembaris Cikgu Papa!" ucap Gopal yang mencoba merayu Papa Zola.
"Ape nihhhh!" teriak gurunya itu dengan penuh amarah. "Cikgu dah penat belari, kamu pula yang nak Free?!"
Tawa Arzio pecah saat itu juga. Kutatap dia yang sedang tertatw tersebut. Awalnya dia tidak sadar bahwa aku sedang memerhatikannya. Hingga akhirnya dia berhenti tertawa dan melihat ke arahku.
"Kenapa?" tanyanya.
Aku menggeleng.
Tiba-tiba dia menyuapiku cilok terakhir miliknya. Siapa yang mau menolak cilok? Tentu saja aku santap.
"Masih mau?" Arzio menancapkan sedotan pada jus miliknya. Seharusnya kami sudah mendapatkan jus dengan sangat adil yakni masing-masing satu jus. Tapi dia tak ingin keadilan itu ditegakkan. Arzio malah menyodorkan jus miliknya untukku, sebab punyaku sudah habis.
Aku menggeleng. "Aku mau sosis," ucapku membuka bungkusan sosis bakar.
"Dulu pas sekolah kamu jarang jajan, kenapa sekarang suka jajan?" tanya Arzio.
"Dulu kan ga punya duit. Gimana mau jajan?" balasku
"Sekarang udah banyak duit berarti," godanya.
"Sekarang ga punya duit, tapi punya pacar. Jadi kalo mau jajan, tinggal bilang, ha ha!" balasku.
Dia malah tertawa. "Padahal kan ada duit yang aku kasih, kalo mau jajan, beli aja. Jangan nunggu aku ke sini," balasnya.
"Oowww!" Aku pura-pura marah. "Jadi ga suka kalo aku mau jajan sambil diboncengin naik motor keliling-keliling gitu, kamu ga suka? Mending aku beli sendiri aja?" tanyaku dengan nada sarkas.
"Loh bukan gitu! Maksudnya kalo kamu mau jajan kan biar ga harus nungguin aku. Nanti kamu kebiasaan gitu. Untung kita belum nikah. Kalo udah nikah, terus kamu hamil, kamu ngidam, malah nungguin aku beli, gimana? Kesian dong anak kita." Arzio memang ahli dalam hal semacam ini.
"Ga mau! Aku maunya belinya sama kamu aja. Kalo aku beli sendiri, ntar aku ga butuh kamu lagi, aku bisa semuanya sendiri," balasku.
"Iya juga sih, ya udah deh. Nunggu aku aja kalo kamu mau apa-apa. Jangan sendiri!"
Aku tersenyum-senyum sebab dia menuruti mauku lagi.
Saat aku selesai mengelap mulut dengan tisu, tiba-tiba Arzio menempelkan pipinya ke bibirku dan membuatku terkejut. Dia malah tersenyum kaget. "Dih, biar apa coba nyium-nyium pipi orang kayak gitu?" omelnya.
"Dih, kamu yang nempelin pipi sendiri!"
"Apaan! Bibir kamu, berarti kamu yang nyium!" omelnya.
"Pak Dokter," panggilku dengan lembut. "Yuk berobat ke dokter kejiwaan, biar sembuh Pak Dokter," ejekku.
"Ya wajar lah kalo aku gangguan jiwa. Separuh jiwanya ada di kamu," balasnya membuatku tertawa.
Aku tidak suka digombali oleh laki-laki. Tapi Arzio ..... Ha ha!
"Sayang," panggilnya.
"Hum," sahutku yang kembali fokus pada film Boboiboy.
"Kamu pilih aku atau Dani?" Kalimat yang agak mengejutkan.
"Kok nanya gitu?" tanyaku.
"Mau tau aja, kamu pilih aku atau Dani."
"Pilih kamu lah! Kan Dani udah meninggal," jawabku.
"Kalo seandainya Dani masih hidup?"
Aku terdiam sejenak. Padahal baru beberapa detik yang lalu aku masih merasa bahagia dan biasa saja. Entah kenapa, aku mendadak tidak suka jika Arzio membahas Dani. Terlebih-lebih Dani sudah tidak ada di dunia ini lagi.
"Kamu," jawabku singkat.
"Aku ga yakin sih. Secara kamu nungguin dia 8 tahun," balasnya.
"Kalo pun sekarang Dani bangkit dari laut dan dinyatakan selamat dari kecelakaan pesawat waktu itu, apakah dia bisa gantiin posisi kamu? Apakah dia bisa memperlakukan aku sebaik kamu? Apakah keluarga dia bisa sebaik keluarga kamu ke aku? Aku ga sebodoh itu. Bukan cuma karena dia first love aku, yang aku butuh sekarang adalah orang yang bikin aku ga takut. Aku ga perlu over thinking lagi kalo sama kamu," jelasku.
"Kalo misalnya Dani ga kecelakaan pesawat di waktu itu, gimana?" tanyanya lagi.
"Kamu! Tetap aku pilih kamu! Ada banyak alasan kenapa aku pilih kamu, tapi aku ga bisa jelasin satu-satu!" tegasku.
Dia tersenyum penuh kemenangan. "Makasih," ucapnya.
"Makasih kenapa?"
"Makasih udah pilih aku. Tapi aku ga yakin sih kalo itu beneran kejadian, kamu bakalan pilih aku."
"Apa sih? Kan aku udah jawab pilih kamu!" omelku. "Lagian Dani udah meninggal juga. Malah dijadiin bahan berantem!"
"Misalnya suatu saat ada orang yang mirip sama Dani, apakah kamu bakalan pilih Dani?" tanyanya.
"Kamu salah kalo nanya gitu. Dani yang aslinya aja aku ga pilih, apalagi orang lain yang cuma mirip?"
Tiba-tiba dia memelukku dengan erat. "Semoga kamu jujur," ucapnya membuatku mendadak bad mood.
Apa dia mengira aku berbohong? Atau dia mengira aku hanya memanfaatkannya selama ini? Apa dia mengira aku tidak benar-benar mencintainya selama ini?
Sejak hari itu, Arzio selalu mengeluarkan pertanyaan pertanyaan yang tidak masuk akal. Dia terus membandingkan dirinya dan Dani yang sudah jelas-jelas berbeda. Kenapa dia melakukan hal semacam ini? Membandingkan dirinya yang selalu bersamaku dengan orang yang sudah meninggal dunia? Bahkan tidak lagi ada ruang di hatiku untuk Dani. Setelah kedatangan mamanya di rumahku hari kemarin, aku semakin membenci keluarga itu.