Delvia tak pernah menyangka, semua kebaikan Dikta Diwangkara akan menjadi belenggu baginya. Pria yang telah menjadi adik iparnya itu justru menyimpan perasaan terlarang padanya. Delvia mencoba abai, namun Dikta semakin berani menunjukkan rasa cintanya. Suatu hari, Wira Diwangkara yang merupakan suami Delvia mengetahui perasaan adiknya pada sang istri. Perselisihan kakak beradik itupun tak terhindarkan. Namun karena suatu alasan, Dikta berpura-pura telah melupakan Delvia dan membayar seorang wanita untuk menjadi kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Astuty Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saling menyesal
Waktu makan siang telah berlalu, Dikta bergegas meninggalkan ruang operasi, dia bahkan tidak sempat mengganti baju jaga (Scrub) dan bergegas menuju restoran yang berada di dekat stasiun. Berulang kali Dikta memeriksa jam yang membingkai pergelangan tangannya, dia berharap tidak melewatkan waktu bertemu Delvia.
Dengan langkah cepat Dikta masuk ke dalam restoran, mata elangnya menelisik setiap sudut, namun dia tak menemukan sosok yang dia cari. Dikta lalu berusaha menghubungi Delvia, ponselnya aktif namun Delvia tak menjawab.
“Permisi,” Dikta menghampiri kasir, bertanya pada pegawai yang berjaga. “Apa tadi anda melihat gadis ini datang kemari?” tanya Dikta seraya menunjukkan foto Delvia yang tersimpan di ponselnya.
“Ah, kakak cantik ini. Benar mas, tadi kakaknya datang kemari dan sudah pergi sekitar 20 menit yang lalu,” jawab pegawai itu, sosok Delvia yang begitu cantik tidak mudah di lupakan, dia langsung ingat begitu melihat foto Delvia.
Dikta meraup wajahnya kasar, andai dia sempat menjawab telefon Delvia dan memohon pada Delvia agar gadis itu menunggu.
“Oh ya mas, apa mas Dokter Dikta?” tanya pegawai itu.
“Ya, saya Dikta!”
“Tadi kakaknya menitipkan ini untuk Dokter Dikta,” pegawai tersebut memberikan papper bag beserta ponsel kepada Dikta. “Ponsel kakaknya juga tertinggal di sini.”
“Terima kasih,” Dikta mengambil papper bag dan ponsel milik Delvia lalu keluar dari restoran tersebut. Di dalam mobil, Dikta memastikan jika ponsel tersebut benar milik Delvia. Dikta lalu membuka papper bag tersebut, di dalamnya terdapat kotak kecil berwarna hitam serta debit card miliknya. Perlahan Dikta membuka kotak tersebut, pria itu tertegun melihat sebuah jam tangan mahal di dalamnya. “Delvia, Delvia. Apa yang harus aku lakukan, aku menyesal melewatkanmu!”
Sesal tak hanya menguasai hati Dikta, selama perjalanan menuju Jakarta Delvia pun merasakan hal yang sama. Hanya saja sesal Delvia berbeda dari apa yang Dikta rasakan.
Terlalu larut dalam pikirannya, Delvia baru menyadari jika dia kehilangan ponselnya. Gadis itu merutuki dirinya sendiri karena begitu ceroboh.
Jakarta, disinilah Delvia sekarang berada. Kota metropolitan dengan sejuta kesibukannya. Tak ada pemandangan alam, sepanjang mata memandang, hanya ada gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan dan perkantoran.
Delvia berdiri di sebuah halaman yang cukup luas, gadis itu menatap rumah berlantai dua bergaya khas Eropa. Delvia menghela nafas panjang, dia sungkan untuk kembali, namun rumah itu satu-satunya tempat untuk pulang.
Rumah yang begitu besar namun tampak sunyi seolah tak ada kehidupan di dalamnya. Delvia segera pergi ke kamarnya, untuk mengistirahatkan tubuh dan hatinya yang terasa lelah.
Delvia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, di tatapnya langit-langit kamar yang temaram, mengingatkannya pada langit malam di Ranu Kumbolo, lalu terbersit senyuman Dikta di pikirannya. “Lupakan Delvia!”
“Via, buka pintunya,” teriak seseorang seraya mengetuk pintu. “Delvia Mayuri, bangun!”
Delvia mendengus kesal, dia memaksakan diri untuk bangun dan membuka pintu. “Ada apa si mah?” Tanya Delvia seraya menatap wanita paruh baya yang kini berdiri di hadapannya.
“Hari ini temani mama ketemu sama temen mama,” jawab Maya Pratiwi, ibu dari Delvia.
“Delvia harus ke butik mah, mama pergi sendiri aja ya,” tolak Delvia, dia paling malas saat menemani para emak-emak rempong nongkrong.
“Ini perintah, bukan ajakan!”
Delvia memutar bola matanya jengah, melawan sang mama rasanya percuma. “Ya!”
Delvia tampil elegan dalam balutan jumpsuit berwarna cream, sebagai seorang perancang busana, berpenampilan menarik adalah sebuah keharusan.
Maya menggandeng tangan anak gadisnya dengan erat, takut kalau tiba-tiba Delvia melarikan diri. Ibu dan anak itu masuk ke dalam restoran, Delvia hanya pasrah dan mengikuti Maya. “Hay jeng, maaf ya aku telat,” sapa Maya pada wanita yang sebaya dengannya. Kedua wanita yang tak lagi muda itu saling berpelukan lalu cipika cipiki.
“Gak papa jeng, aku juga baru sampai.”
“Delvia, kenalin ini temen mama, namanya tante Nila,” ucap Maya memperkenalkan temannya.
Delvia tersenyum seraya menganggukkan kepala. “Hallo tante,” sapanya dengan sopan.
“Ya ampun, Via sudah besar ya. Cantik sekali,” puji Nila dengan tatapan kagum. “Oh ya jeng, aku sampai lupa. Hari ini aku datang bersama Wira, dia anak pertamaku jeng.” Nila menepuk pundak pria muda yang masih duduk, tak lama kemudian pria itu berdiri menyapa Maya dan Delvia.
“Siang tante, siang Via. Perkenalkan saya Wira,” pria bernama Wira itu memperkenalkan diri dengan senyum terpaksa.
Setelah berkenalan, mereka lalu duduk dan berbincang. Hanya emak-emak yang asik ngerumpi karena Wira dan Delvia sibuk dengan ponsel masing-masing. Sebelum ke restoran Delvia mampir membeli ponsel baru.
“Jeng, Wira dan Via kan sudah sama-sama dewasa, bagaimana kalau kita jodohkan mereka saja,” celetuk Nila tiba-tiba.
“Wah ide bagus jeng. Aku setuju banget kalau Wira yang jadi menantuku,” sahut Maya tak mau kalah.
Sementara itu Wira dan Delvia begitu terkejut dengan rencana gila ibu mereka.
“Mom, sekarang sudah tahun 2024, sudah tidak zaman dengan perjodohan,” secara tidak langsung Wira menolak rencana tersebut.
“Benar apa kata mas Wira mah. Lagi pula kita baru pertama kali bertemu,” sambung Delvia tak setuju.
“Mulai sekarang kalian harus saling bertemu, mama yakin kalian cocok satu sama lain,” jawab Maya bersikeras menjodohkan Wira dan Delvia.
“Usiamu sudah tidak muda lagi Wira, mommy rasa Delvia adalah gadis yang tepat untukmu,” Nila mencoba meyakinkan anaknya.
“Tapi mom...”
“Tidak ada tapi-tapian, mommy ingin kalian kenal lebih dekat!”
Delvia dan Wira saling melempar pandangan, terlihat jelas ketidaksetujuan di antara keduanya. Namun karena tak ingin memercik keributan di dalam restoran, mereka memilih setuju untuk mengenal satu sama lain. Hasil akhirnya tentu saja akan mereka pikirkan nanti.
Ry dukung Dikta tunggu jandanya Delvi
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada buat Dy
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada bersamanya bkn suaminya
Lagian suaminya sibuk selingkuh sesama jenis
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Suami mana peduli
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Devi di datangi pelakor yg merebut ayah nya lagi
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
jangan sampai Dikta terjerat oleh Hera
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan